Peningkatan infeksi HIV menghadirkan tantangan ganda terhadap pengendalian penyakit tuberkulosis secara global. Penanganan TB/HIV berstatus dua kali lebih berat, saat dua infeksi itu muncul bersamaan. Upaya eliminasi TB/HIV membutuhkan komitmen bersama di tengah pandemi Covid-19.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membagi kondisi tuberkulosis (TB) global dalam tiga kelompok, yaitu kasus total TB atau TB, TB/HIV, dan MDR-TB. Kelompok terakhir, yaitu MDR-TB, merupakan kategori pasien yang resisten dengan pengobatan TB. Berdasarkan WHO pada 2018, estimasi kasus positif tuberkulosis atau TB di seluruh dunia mencapai 10 juta jiwa. Sekitar 862.000 jiwa di antaranya juga terinfeksi HIV.
Estimasi total kematian penderita TB/HIV mencapai 251.000 jiwa. Berdasarkan data WHO, kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 845.000 jiwa pada 2018. Persentase penderita positif HIV cukup tinggi, sekitar 2,5 persen (21.000 jiwa) dari total kasus, dengan jumlah kematian sedikitnya 5.300 jiwa.
Status Indonesia digambarkan oleh WHO sangat mengkhawatirkan dan menjadi sasaran utama pengurangan TB secara global. Indonesia termasuk dalam 30 besar negara dengan persentase tertinggi di dunia, bahkan di seluruh klasifikasi kondisi TB oleh WHO. Tuberkulosis merupakan infeksi yang diakibatkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyerang tubuh manusia, khususnya organ paru-paru.
Organ tubuh lain yang dapat terinfeksi adalah selaput otak, pleura/selaput paru-paru, kelenjar getah bening, tulang belakang, dan organ perut. Seseorang yang terinfeksi tidak selalu menunjukkan gejala sakit, seperti batuk dan demam yang disertai penurunan berat badan. Beberapa kasus, bakteri TB tidak aktif menginfeksi, meskipun sudah masuk ke tubuh manusia, karena imunitasnya sangat baik.
Secara umum, orang yang terinfeksi bakteri penyebab TB dikategorikan dalam dua kondisi, yaitu TB aktif dan laten. Kondisi tersebut sangat tergantung dengan pergerakan infeksi di dalam tubuh. TB aktif menggambarkan kondisi bakteri yang bergerak menginfeksi organ tubuh manusia yang ditandai dengan gejala berupa batuk, demam, dan penurunan berat badan. Seseorang yang mengalami TB aktif dimungkinkan menularkan bakteri ke orang lain.
Adapun TB laten cenderung tidak menunjukkan gejala atau kondisi sakit. Bakteri di dalam tubuh dalam kondisi dorman atau tidak aktif sehingga tidak dapat ditularkan ke orang lain. Penderita dapat minum obat untuk mencegah terkena TB aktif. Apa pun status TB seseorang, pengobatan tetap harus diberikan hingga sembuh. Risiko kematian dan penularan ke orang lain sangat tinggi apabila tidak dilakukan tindakan pengendalian.
Status TB laten dapat berubah ke TB aktif saat imunitas turun dan jumlah bakteri berkembang banyak. Pengobatan yang saat ini direkomendasikan meliputi empat jenis obat, yaitu isoniazid, rifampicin, ethambutol, dan pyrazinamide. Seluruh tahapan pengobatan dilakukan dalam durasi enam bulan.
Perawatan TB/HIV
Infeksi oleh virus HIV atau bakteri penyebab TB dipengaruhi oleh tingkat imunitas seseorang. HIV mampu melemahkan sistem imunitas manusia sehingga mempermudah tubuh terinfeksi penyakit lain. Angka kematian TB dengan HIV sangat tinggi dibandingkan dengan kasus lain. Pada beberapa kasus, seseorang yang memiliki riwayat TB laten dan terinfeksi HIV berpeluang besar terkena TB aktif. Kombinasi dua patogen tersebut mampu menyebabkan penyakit pernapasan kronik hingga kematian.
Mempertimbangkan besarnya risiko penyakit kronik, maka diperlukan tes HIV terhadap orang yang menderita TB, demikian pula sebaliknya. Setidaknya ada tiga jenis tes umum, yaitu tes kulit tuberkulin (TST) atau tes Mantoux, sinar-X dada, dan sputum (dahak). Adapun tes HIV dilakukan dengan cara tes darah.
Secara umum, diagnosis TB pada orang terinfeksi HIV tidak berbeda dengan orang tanpa HIV. Keluhan yang biasa muncul adalah batuk, sesak napas, demam, lemas, serta penurunan berat badan. Kondisi HIV lanjut, TB dapat menjalar hingga di luar organ paru-paru, seperti selaput paru (pleura), kelenjar getah bening, dan selaput meningen otak.
Kasus TB yang disertai HIV memiliki pola pengobatan tersendiri. Empat opsi pengobatan untuk TB adalah dosis mingguan rifapentine dan isoniazid selama tiga bulan, dosis harian untuk rifampicin ditambah isoniazid selama tiga bulan, dosis harian rifampicin untuk 3-4 bulan, serta dosis harian untuk isoniazid selama enam bulan.
Saat ini, setidaknya ada 23 obat dalam uji coba fase I, II, dan III yang dikembangkan untuk TB. Obat-obatan tersebut terdiri dari 13 senyawa baru, 3 obat baru (bedaquiline, delamanid, dan pretomanid), serta tujuh obat yang digunakan ulang.
Pilar pengendalian TB
Secara global, WHO menargetkan 40 juta jiwa bebas dari TB selama periode 2018-2020. Jumlah penderita sempat naik sebelumnya pada 2000-2009, kemudian stabil di angka 5,7 juta-5,8 juta jiwa pada 2009-2012. Kondisi tersebut tak bertahan lama karena terjadi kenaikan drastis di Indonesia dan India pada tahun 2013 hingga sekarang.
Kasus di India naik dari 1,2 juta jiwa pada tahun 2013 menjadi 2 juta jiwa tahun 2018 atau bertambah sekitar 60 persen. Di Indonesia, jumlah kasus naik 70 persen pada periode 2015-2018. Total notifikasi kasus tahun 2015 sebanyak 331.703 jiwa, sedangkan tahun 2018 mencapai 563.879 jiwa.
Persoalan TB menjadi prioritas Perserikatan Bangsa-Bangsa karena berpengaruh besar terhadap ketercapaian seluruh poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGDs). Pertemuan tingkat tinggi PBB khusus TB diadakan pada 26 September 2018. Pertemuan tersebut menghasilkan empat prinsip dan tiga pilar eliminasi TB secara global.
Prinsip pertama adalah penatalayanan dan akuntabilitas pemerintah dengan pemantauan serta evaluasi. Prinsip kedua fokus pada koalisi kuat antara organisasi dan komunitas masyarakat sipil. Prinsip ketiga adalah perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, etika, serta keadilan. Terakhir, adaptasi strategi dan target nyata di tingkat negara disertai kolaborasi global. Adapun tiga pilar eliminasi TB meliputi integrasi, regulasi, dan inovasi.
Secara kuantitatif, persentase jumlah penderita TB ditargetkan turun 90 persen pada 2035. Angka kematian juga diturunkan hingga 90 persen pada periode yang sama. Angka kesakitan dan kemiskinan ditargetkan hilang total. Setiap rumah tangga hingga tingkat individu diharapkan memiliki kapasitas cukup untuk menghadapi TB, bahkan di level pencegahan. Seluruh pihak di level nasional dan internasional berperan dalam usaha eliminasi TB, termasuk penderita dengan HIV.
Hal ini diperlukan mengingat selain TB dengan HIV, sekarang dunia juga menghadapi pandemi Covid-19. Status pandemi yang ditetapkan WHO menegaskan bahwa semua orang di dunia berisiko terinfeksi, khususnya kelompok usia lanjut. Warga usia lanjut (lebih dari 60 tahun) merupakan salah satu kelompok yang rentan saat terinfeksi Covid-19. Kelompok rentan berikutnya ialah individu yang memiliki penyakit kronis, seperti kardiovaskular, diabetes, pernapasan kronik, dan kanker.
Tidak dimungkiri, kerentanan ini juga menyasar pada penderita TB/HIV. Peningkatan risiko ini sejalan dengan kondisi imunitas seseorang yang cenderung menurun dibandingkan dengan individu yang memiliki kondisi badan sehat. Karena itu, komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat/komunitas, dan penderita diperlukan sebagai upaya eliminasi TB/HIV di tengah munculnya pandemi baru. (LITBANG KOMPAS)