Terkarantina Bertahun-Tahun, Warga Gaza Tetap Terancam Pandemi Covid-19
›
Terkarantina Bertahun-Tahun,...
Iklan
Terkarantina Bertahun-Tahun, Warga Gaza Tetap Terancam Pandemi Covid-19
Sebelum virus korona baru muncul, warga Gaza sudah terkarantina bertahun-tahun karena blokade Israel. Mereka mengetahui mengenai pandemi Covid-19 melalui liputan media. Mereka pun kini bersiap untuk yang terburuk.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Sebelum virus korona baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan penyakit Covid-19 muncul, warga Gaza sudah terkarantina bertahun-tahun karena blokade Israel. Kini mereka makin khawatir akan masuknya pandemi Covid-19 ke wilayahnya.
Dengan pergerakan masuk dan keluar wilayah yang sangat dibatasi sejak jauh sebelum pandemi Covid-19 muncul, Jalur Gaza mungkin adalah salah satu dari sedikit tempat di bumi yang berpeluang tetap bebas virus.
Namun para ahli memperingatkan, blokade yang melumpuhkan Gaza dan tingkat kemiskinan yang tinggi, bersama dengan populasi yang padat dan sistem kesehatan yang lemah, merupakan kondisi sempurna bagi penyebaran wabah. Risiko penularan Covid-19 bisa hampir sama dengan yang ada di kapal pesiar.
Di dapur kecilnya di Kota Gaza, Mariam al-Khatib yang berusia 80 tahun sedang menumpuk produk pembersih dan barang-barang lainnya. Dia mengatakan, meskipun hidup melalui enam perang, tetap saja dia takut menghadapi Covid-19.
"Semua orang takut. Ini lebih penting ketimbang perang. Tidak ada kejadian seperti ini sejak saya dilahirkan. Jika korona tiba di Gaza, banyak orang akan mati. Tidak ada perawatan selain berdoa kepada Tuhan," kata Mariam al-Khatib.
Sejak 2007
Israel telah memblokade jalur Gaza selama 13 tahun, yakni sejak 2007, ketika kelompok Islam Hamas menguasai Gaza. Menurut Israel, blokade perlu untuk mengisolasi Hamas yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh sebagian besar negara-negara Barat. Israel dan Hamas telah berperang tiga kali sejak 2008.
Para kritikus mengatakan, blokade yang dilakukan Israel dan memiskinkan semua penduduk Gaza, justru semakin memicu radikalisme. Satu-satunya akses Gaza yang berbatasan dengan Mesir telah ditutup selama dekade terakhir.
Sebagian akses itu dibuka kembali dalam dua tahun terakhir, tetapi penyeberangan ke Mesir terbatas, sebab untuk mencapai Kairo dan kota-kota lain membutuhkan perjalanan yang sulit melalui wilayah Sinai yang bergolak.
Gaza tidak memiliki bandara sejak dibom Israel pada awal 2000-an, yakni selama intifadah Palestina atau pemberontakan.
Putra Mariam al-Khatib, Mustafa (51), mengatakan, dia memahami perasaan orang dalam isolasi atau karantina di seluruh dunia karena mereka telah memiliki situasi seperti karantina sejak 2007.
Di Gaza, warga Palestina mengetahui mengenai pandemi Covid-19 melalui liputan media. Mereka pun kini bersiap untuk yang terburuk.
Meskipun tidak ada kasus positif Covid-19 di Jalur Gaza sejauh ini, sekolah ditutup dan lebih dari 2.700 warga Gaza mengkarantina diri di rumah masing-masing, sebagian besar warga Gaza tersebut telah kembali dari Mesir.
Menjaga jarak
Matthias Schmale, Direktur Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di Gaza mengatakan bahwa UNRWA sudah beroperasi di bawah kondisi wabah dan memberlakukan langkah-langkah seperti menjaga jarak untuk mencegah penularan Covid-19. UNRWA mengelola sekolah-sekolah yang diperuntukkan lebih dari 250.000 anak-anak di Jalur Gaza.
"Blokade mungkin dapat membantu menahan Covid-19, tetapi jika ada yang postif, saya akan menggunakan perbandingan dengan kapal pesiar dari Jepang, Diamond Princess, dimana yang positif ada 700 dari 3.700 penumpang dan awak kapal," kata Schmale.
Sebagian besar penduduk Gaza tinggal di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak bersama keluarga besar mereka. Menurut Schmale kondisi demikian mempersulit pencegahan Covid-19.
Gerald Rockenschaub, Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Palestina mengatakan bahwa pembatasan dan ketegangan politik antara Palestina dan Israel telah menyebabkan fasilitas kesehatan di Gaza makin memburuk selama dekade terakhir.
Jalur Gaza hanya memiliki 60 tempat tidur perawatan intensif (ICU) untuk dua juta orang dan tidak semuanya bisa dioperasionalkan karena kekurangan staf.
"Sistem kesehatan di Gaza telah menghadapi kemunduran selama beberapa tahun terakhir karena blokade Israel," kata Rockenschaub menunjuk kekurangan aliran listrik, obat-obatan dan sumber daya manusia.
"Lebih dari 90 persen air minum di Gaza pada dasarnya tidak layak untuk dikonsumsi manusia, dan selain itu, kepadatan penduduk di Gaza terlalu tinggi," tambah Rockenschaub.
Memfasiltasi
Sementara itu, Israel mengatakan bahwa mereka telah bekerja untuk memastikan pasokan medis ke Jalur Gaza, termasuk memfasilitasi pengiriman 500 alat uji virus Covid-19 yang didanai WHO.
Israel menyalahkan Hamas karena kurangnya pembangunan di Gaza. Otoritas Hamas sedang mempersiapkan untuk membangun 1.000 ruang isolasi di dekat perbatasan selatan yang berbatasan dengan Mesir. Pemimpin gerakan Islamis Gaza, Yahya Sinwar pada minggu ini mengawasi pembukaan jalan dimana ruang isolasi akan didirikan.
Warga Palestina yang menderita kanker dan penyakit serius lainnya diizinkan meninggalkan Gaza melalui Israel untuk berobat ke Israel atau di Tepi Barat.
Masih belum jelas apakah Israel, yang memberlakukan pembatasan ketat pada penduduknya sendiri, akan mengizinkan pasien yang terjangkit Covid-19 dalam kondisi parah untuk dipindahkan dari Jalur Gaza.
Schmale memperingatkan bahwa wabah apa pun jika terjadi di Gaza maka kemampuan tenaga kesehatan Gaza tidak akan bisa mengatasinya. Jika pasien Covid-19 di Jalur Gaza melebihi 60 orang untuk dirawat di ICU, maka hal tersebut bisa berubah menjadi bencana dengan skala yang lebih besar.(AFP)