Fase Penting Pemeriksaan Dahak, dari TBC hingga Covid-19
Penularan tuberkulosis terjadi melalui udara yang mengandung kuman. Satu percikan dahak penderita dapat menghasilkan ribuan kuman. Karena itu, pemeriksaan spesimen dahak perlu diperbanyak untuk menekan penularan TBC.
Dahak merupakan instrumen penting dalam lingkaran penyakit tuberkulosis atau TBC. Suspek tuberkulosis ditandai dengan gejala utama batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak jelas penyebabnya.
Gejala tambahan yang sering dijumpai adalah gejala respiratorik, seperti dahak bercampur darah. Dari aspek penyebaran, sumber penularan TBC adalah kuman dalam dahak pasien tuberkulosis.
Tidak heran jika pemeriksaan dahak menjadi instrumen penting dalam penanganan orang yang terduga terjangkit bakteri tuberkulosis. Selain penyakit TBC, pemeriksaan dahak juga dilakukan di beberapa penyakit, seperti MERS dan korona.
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk MERS-CoV, Kementerian Kesehatan mewajibkan spesimen dahak untuk diperiksa. Dahak yang diambil dari saluran pernapasan bawah yang merupakan spesimen terbaik untuk pemeriksaan diagnosis MERS.
Demikian juga pengujian spesimen penyakit korona Covid-19 yang sedang menjadi pandemi dunia saat ini. Spesimen yang harus disertakan dalam pemeriksaan Covid-19 antara lain dahak, usap hidung atau tenggorok, usap nasofaring, endotrakea, serta darah.
Khusus untuk penularan kuman tuberkulosis, dahak merupakan media yang harus diwaspadai. Pada waktu batuk atau bersin, pasien TBC menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet).
Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk, pasien tuberkulosis dapat menghasilkan sekitar 3.000 percikan dahak yang mengandung 3.500 kuman tuberkulosis. Bahkan, kalau bersin, kuman yang dapat dikeluarkan mencapai hingga 1 juta Mycobacterium tuberculosis.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TBC melalui mulut atau hidung, saluran pernapasan atas, bronkus, hingga mencapai alveoli.
Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, berarti makin besar pula risiko terjadi penularan. Selain itu, makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar risiko terjadi penularan tuberkulosis.
Wajib periksa
WHO mencatat kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 845.000 jiwa pada 2018. Indonesia diklasifikasikan dalam 10 besar negara dengan persentase kasus TBC tertinggi di dunia.
Mengingat prevalensi TBC di Indonesia saat ini yang masih tinggi, setiap orang yang memiliki gejala tuberkulosis perlu dilakukan pemeriksaan dahak. Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan dua contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak sewaktu-pagi dan sewaktu-sewaktu. Selain itu ada pula pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM) yang dilakukan untuk penegakan diagnosis.
Ada pula model pemeriksaan biakan. Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat dan media cair untuk identifikasi munculnya bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Pemeriksaan tersebut dilakukan di sarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Pemeriksaan bakteriologis merupakan pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TBC. Ini dilakukan baik pada kelompok umur dewasa maupun pada anak. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis merupakan cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Pemeriksaan dahak dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama rujukan mikroskopis TBC, yaitu puskesmas dengan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis dahak. Pemeriksaan juga dapat dilakukan di rumah sakit umum pemerintah.
Hingga 2019, terdapat 9.997 puskesmas; 2.671 rumah sakit pemerintah, swasta, dan balai kesehatan paru; serta 11.220 klinik swasta yang menyediakan layanan TB di Indonesia.
Pemeriksaan dahak ulang dilakukan hingga pada minggu terakhir bulan pengobatan untuk memantau hasil pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan.
Pengawas menelan obat
Selama menjalani pengobatan, pasien TBC harus dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala tuberkulosis berupa batuk berdahak, demam, dan berat badan menurun pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Namun, tidak semua pasien menjalani pengobatan dengan teratur. Ketika seseorang didiagnosa menderita penyakit tuberkulosis, pasien harus minum obat TBC paling sedikit 6 bulan. Perlu disiplin minum obat teratur selama 6 bulan dan tidak boleh terputus.
Yayasan KNCV Indonesia juga menemukan kendala-kendala lain dalam pengobatan TBC di Indonesia. Selain tidak teratur, banyak penderita juga berhenti minum obat.
Ini antara lain karena faktor ekonomi dan efek samping obat. Walau diberikan obat gratis, bagi sebagian pasien TBC dari kalangan ekonomi kurang mampu kendala biaya kerap dihadapi untuk mendapatkan obat di puskesmas.
Efek samping obat TBC, khususnya TB resisten obat (TB-RO), sering kali membuat pasien menyerah atas kondisinya. Penderita sering kali merasa obat yang diberikan malah membuat penyakitnya bertambah parah.
Hal ini pernah dialami Dewi (37), mantan penderita TBC resisten obat (TB-RO) yang menjadi pendiri Yayasan Terus Berjuang (Terjang). Semasa berobat TB-RO, ia merasakan mual, lemah/lesu, dan halusinasi.
Tidak hanya Dewi, pasien TBC lainnya yang berada di bawah pemantauan yayasannya juga merasakan efek samping obat. Ada yang mengalami hal yang sama dengan Dewi dan ada juga yang mengalami penurunan fungsi pendengaran, nyeri otot dan tulang, serta sakit kepala.
Karena itu, untuk memantau pengobatan, pasien TBC dapat dibantu pengawas menelan obat (PMO). Tugasnya, mengawasi pasien agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. Selain itu, mengingatkan pasien agar periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
Dari aspek penyebaran, sumber penularan TBC adalah kuman dalam dahak pasien tuberkulosis.
Idealnya, PMO berasal dari petugas kesehatan, misalnya bidan, perawat, dan juru immunisasi. Namun, jika tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, pengawas minum obat dapat berasal dari anggota keluarga, kerabat, atau bahkan tetangga.
Kepedulian masyarakat juga dapat membantu penanggulangan penularan penyakit tuberkulosis. Beberapa komunitas, LSM, dan swasta terlibat membantu mencegah penularan tuberkulosis di Indonesia.
Yayasan KNCV Indonesia melakukan kegiatan deteksi dini terduga TB, membantu pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TBC, serta melakukan pelatihan kader. Yayasan KNCV Indonesia juga membuat aplikasi Sobat TB. Isinya tentang penyakit TBC, cari fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, dan komunitas pejuang tangguh.
Program lain yang dijalankan adalah pengumpulan dahak terduga TBC. Hal ini dilakukan untuk menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian langsung ke laboratorium. Yayasan KNCV Indonesia memberikan solusi lewat aplikasi yang terhubung dengan Pos Indonesia untuk menjemput dan mengantarkan hasil laboratorium.
Baca juga: Upaya Eliminasi TB/HIV di Tengah Pandemi Covid-19
Rumah singgah
Partisipasi lain ditunjukkan Stop TB Partnership Indonesia yang juga terlibat dalam mengatasi tuberkulosis. Program dan kegiatannya dirancang untuk mendukung upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia.
Stop TB Partnership meluncurkan Rencana Global untuk Memberantas TBC 2018-2022, dengan menyediakan pendanaan sebesar 2,6 miliar dollar AS per tahun untuk penelitian dan pengembangan alat baru untuk diagnosis, obat-obatan baru, dan vaksin baru TBC, serta 13 miliar dollar AS per tahun untuk pengobatan dan pencegahan penyakit itu.
Dalam rencana global tersebut, Stop TB Partnership juga menyediakan 2,5 juta dollar AS, pendanaan terbesar untuk proposal yang dapat diajukan organisasi akar rumput sebagai bagian dari respons terhadap TBC dan penanganan baru obat TBC resisten obat yang ramah anak.
Baca juga: Melawan Stigma Negatif Penderita TB
Ragam kepedulian relawan TBC di Indonesia juga ditunjukkan dengan membangun rumah singgah bagi pasien di Kabupaten Garut oleh Yayasan Arsitektur Hijau Nusantara (Yahintara) bekerja sama dengan TB Care Aisyiyah Garut.
Rumah singgah yang terdiri atas 2 lantai ini memiliki daya tampung 4 tempat tidur. Selain untuk rumah singgah pasien, lantai 1 rumah ini juga berfungsi sebagai pos untuk edukasi TBC apabila ada masyarakat yang ingin tahu dan bertanya-tanya informasi seputar TBC.
Rumah singgah untuk pasien TB merupakan salah satu upaya untuk meringankan dampak sosial ekonomi penderita tuberkulosis, untuk membantu akses pasien ke pelayanan kesehatan dan dapat meringankan beban finansial pasien. Selain itu, pasien yang harus menempuh perjalanan jauh pulang-pergi ke rumah sakit untuk berobat juga akan lebih dipermudah dengan kondisi fisiknya yang belum cukup sehat.
Kegiatan lain dilakukan Yayasan Terus Berjuang (Terjang) dengan melatih beberapa kader puskesmas di wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bogor, dan Kota Cirebon. Istimewanya, anggota yayasan ini terdiri atas pasien tuberkulosis yang sudah melewati tahap konversi atau sembuh sehingga dapat membantu teman-teman pasien yang sedang berjuang pada tahap awal.
Penanganan tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung lebih dari satu abad. Masih ada 845.000 kasus TBC yang membutuhkan penanganan pengobatan hingga 2018. Deteksi dini melalui pemeriksaan spesimen dahak menjadi fase krusial penanganan penularan TBC. Sebagaimana tes cepat dalam pencegahan penularan penyakit korona Covid-19, pemeriksan dahak menjadi pintu utama pencegahan TBC.
Pemeriksaan laboratorium TBC dilakukan melalui pemeriksaan bakteriologis, yaitu pemeriksaan dahak secara mikroskopis, tes cepat molekuler, biakan dahak dan uji kepekaan. Karena itu, diperlukan ketersediaan layanan dan manajemen laboratorium yang baik untuk mendukung kinerja penanggulangan tuberkulosis.
Dari sisi pasien, pencegahan dapat dilakukan dengan memperhatikan etika batuk dan cara membuang dahak. Perilaku pasien TBC yang tidak sesuai etika akan meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan. Terlebih, dahak merupakan media yang harus diwaspadai sebagai perantara penularan kuman tuberkulosis. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?