Hakim agung MD Pasaribu meninggal dunia. Berkurangnya jumlah hakim agung membuat beban kerja Mahkamah Agung akan bertambah.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hakim agung pada Mahkamah Agung, Maruap Dohmatiga Pasaribu, meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (25/3/2020) pukul 21.05. Jenazah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tegal Alur, Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (26/3/2020).
Maruap Dohmatiga Pasaribu menjabat hakim agung sejak 1 November 2013. Sebelumnya, pria kelahiran Tapanuli, 18 Maret 1951, itu mengawali karier sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Manado pada tahun 1980. Maruap juga pernah bertugas di Pengadilan Negeri Limboto (1983), Pengadilan Negeri Ternate (1990), Pengadilan Negeri Mempawah (1997), dan sejumlah daerah lain.
”Di MA, beliau menangani kamar perkara pidana,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah, Kamis.
Saat ditanya penyebab kematian, Abdullah mengatakan kematian Maruap begitu mendadak. Pekan lalu, ia masih bertemu dengan Maruap dalam keadaan sehat dan bugar. Bahkan, pada medio Maret lalu, mendiang masih merayakan ulang tahunnya yang ke-69.
”Saya kurang paham beliau sakitnya apa. Tetapi, setahu saya, yang sakit itu istrinya, malah yang meninggal beliau,” kata Abdullah.
Di mata Abdullah, Maruap dikenal sebagai sosok penyabar, sopan, dan santun. Meskipun berasal dari etnis Batak, menurut Abdullah, sifat dan perilaku Maruap lebih mirip orang Jawa. Kesabaran mendiang terkenang selama Abdullah bertugas di Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung.
Komposisi hakim
Kepergian hakim agung Maruap Pasaribu membuat komposisi hakim agung di MA semakin berkurang. Sebelumnya, ada 48 hakim agung di MA. Kini, komposisinya tinggal 47 hakim. Beberapa di antaranya juga akan memasuki masa pensiun tahun ini. Hal ini membuat beban kerja hakim agung semakin berat. Menurut Abdullah, MA memiliki kewenangan untuk mengajukan penambahan hakim agung sesuai dengan kebutuhan.
”Jika memang dinilai ada kekurangan, MA bisa mengajukan ke Komisi Yudisial,” kata Abdullah.
Sementara itu, Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan, saat ini jumlah hakim agung yang ada dinilai masih dapat menyelesaikan jumlah perkara yang begitu banyak di MA. Bahkan, pada tahun 2019, saat komposisi hakim agung hanya 43 orang, MA dinilai masih cukup produktif menangani perkara. Hal itu terbukti dari rendahnya beban perkara yang tersisa pada akhir tahun 2019.
Menurut Jaja, jika MA ingin mengajukan penambahan hakim agung, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan MA. Ketika ada usulan dari MA, KY akan membuka seleksi calon hakim. Kemudian calon hakim tersebut akan menjalani serangkaian uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Hanya calon hakim yang memenuhi sederet persyaratan yang akan dilantik menjadi hakim agung.
”Berdasarkan pembicaraan kami dengan pimpinan MA, kemungkinan awal April MA akan mengajukan lagi seleksi hakim agung. Di dalam aturan, MA boleh memiliki hingga 60 hakim agung. Namun, pada praktiknya paling banyak MA hanya memiliki 56 hakim agung,” tutur Jaja.