Penanganan tuberkulosis dan Covid-19 mesti berjalan beriringan. Upaya penemuan kasus mesti diintensifkan untuk penanganan segera pada pasien dan memutus rantai penularan.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam suasana kelam akibat pandemi global Covid-19, penderita tuberkulosis atau TBC rentan mengalami komplikasi penyakit yang disebabkan virus korona baru tersebut. Karena itu, penemuan kasus TBC sebagai deteksi dini mesti digalakkan untuk memutus rantai penularan penyakit infeksi tersebut.
Kedua penyakit ini adalah pandemi pernapasan yang menular melalui droplet (percikan), menyerang rentang usia luas seperti orang lanjut usia dan penderita gangguan kronis paru.
Sebenarnya tuberkulosis (TBC) bisa dicegah, diobati, dan disembuhkan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklaim, pada 2000-2018, sebanyak 58 juta orang diselamatkan lewat pengobatan.
Terapi standar dilakukan dengan empat jenis obat antimikroba selama enam bulan, diikuti pengawasan tenaga kesehatan atau sukarelawan terlatih terkait kepatuhan minum obat.
Dunia berkomitmen atasi TBC pada 2030. Meningkatkan pencegahan jadi kunci.
Hal itu harus dilakukan karena sulit menjaga kedisiplinan penderita untuk minum obat. Selain efek samping, seperti mual, nyeri sendi, gangguan penglihatan, pendengaran, dan keseimbangan, penderita umumnya juga bosan minum obat. Gejala penyakit berkurang sehingga penderita merasa sembuh.
Dalam sambutan terkait Hari Tuberkulosis Sedunia, Selasa (24/3/2020), Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, Covid-19 menunjukkan kerentanan penderita gangguan paru-paru dan kekebalan tubuh lemah.
”Dunia berkomitmen atasi TBC pada 2030. Meningkatkan pencegahan jadi kunci. Jutaan orang harus bisa mengakses terapi TBC untuk mencegah penderitaan dan menyelamatkan nyawa,” ujarnya.
Ghebreyesus menekankan agar semua negara tak kendur untuk mengendalikan TBC saat pandemi Covid-19. Tuberkulosis merupakan satu dari 10 penyebab kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO, ada 1,5 juta orang meninggal akibat TBC pada 2018 dan 10 juta kasus baru TBC tahun itu.
Dua pertiga dari jumlah total pasien TBC berada di delapan negara, termasuk Indonesia. Di Asia dan Afrika, boleh jadi banyak pasien TBC akan meninggal akibat virus korona jenis baru.
Tuberkulosis disebabkan Mycobacterium tuberculosis, terutama terjadi di paru-paru. Ada pula TBC tulang, kelenjar getah bening, selaput paru, meningitis, dan urogenital (saluran kencing dan reproduksi). Tuberkulosis menular lewat udara. Saat terhirup bakteri dalam percikan cairan batuk, bersin, dan ludah penderita.
Dua pertiga dari jumlah total pasien TBC berada di delapan negara, termasuk Indonesia.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu, di Jakarta, jumlah kasus TBC di Indonesia diperkirakan 845.000 kasus, tetapi baru 570.289 kasus dilaporkan. Jadi, 32 persen kasus belum terdeteksi. Adapun jumlah kasus TB resistan obat 4.194 pasien.
Di tengah pandemi Covid-19, protokol penanganan TBC dibuat agar layanan bagi pasien tidak berhenti. Sebab, sebagian besar rumah sakit rujukan penanganan Covid-19 selama ini melayani pasien TBC.
Penanganan Covid-19 dan TBC harus berjalan beriringan. Protokol penanganan yang dibuat Kemenkes terkait layanan TBC akan disempurnakan dengan mengintegrasikan deteksi Covid-19 dengan TBC. ”Dalam pemeriksaan Covid-19 akan diperiksa juga sputum dahak untuk identifikasi TBC. Harapannya, temuan kasus baru TBC tetap jalan,” kata Wiendra.
Diobati
Pada tahun 2024, pemerintah menargetkan 768.027 kasus TBC didiagnosis dan diobati, sedangkan kasus TBC resistan obat yang ditemukan dan diobati ditargetkan 19.686 pasien.
”Prioritas program TBC saat wabah Covid-19, yakni memastikan pasien melanjutkan terapi. Itu butuh penyesuaian jadwal pengobatan akibat pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19,” kata Wiendra.
Sementara itu, sejumlah daerah mengintensifkan penemuan kasus TBC untuk memutus rantai penularan antara lain di Kota Cirebon, Manado, dan Jayapura.
Di Kota Cirebon, jumlah penemuan TBC pada 2019 mencapai 1.758 kasus dan pasien terduga TBC 6.582 kasus. Menurut Wakil Supervisor TB Dinkes Kota Cirebon Dian Purbarani, penemuan kasus antara lain melalui deteksi dini langsung ke masyarakat.
Dinas kesehatan setempat bekerja sama dengan kader TB dan Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama Cirebon yang fokus mendampingi pasien TBC. Mereka mencari warga dengan gejala TBC, seperti batuk lebih dua pekan, demam, hingga penurunan berat badan drastis. Jika ditemukan gejala itu, petugas memeriksa dahaknya.
Di Kabupaten Jayapura, pemerintah daerah setempat menerapkan program Gedor TB. Program itu bertujuan untuk mendeteksi warga dari rumah ke rumah yang diduga penghuninya mengalami gejala TBC, sosialisasi pencegahan penyakit itu bagi penderita yang sembuh, dan mengambil sampel dahak anggota keluarga yang tinggal bersama pasien.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura Khairul Lie menambahkan, semua puskesmas di kabupaten itu memanfaatkan bantuan operasional kesehatan dari pemerintah pusat bagi program TBC. Contohnya, pembangunan ruang terapi bagi pasien B resistan obat dan makanan bergizi bagi pasien kurang mampu.
Selain itu, sejumlah mantan penderita TBC resistan obat aktif mendampingi pasien. Tatang Suparta (50) dan Wildan (27), mantan pasien TB RO, misalnya, jadi pendamping pasien TB dari Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama, organisasi yang fokus pada kasus tuberkulosis.
Hal serupa dilakukan Dewi Wulan (37). Setelah sembuh dari TB RO, ia membentuk Yayasan Terus Berjuang (Terjang) pada 2013. Ada 38 anggota aktif saat ini. Wilayah kerjanya di Jawa Barat antara lain Kabupaten Bogor, Karawang, Garut, Sumedang, dan Bandung Raya. Ia ingin pasien lain bisa sembuh. (ATK/TAN/SKA/IKI/FLO/OKA)