Besarnya dukungan dana dan teknologi militer yang memadai, Arab Saudi mengira akan dengan mudah menundukkan Houthi. Namun penilaian itu salah. Semakin sulit bagi Arab Saudi untuk keluar dari Yaman.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
Perang harga minyak dan virus korona baru menjadi persoalan mutakhir Arab Saudi dalam beberapa waktu terakhir. Selain kedua masalah itu, Riyadh sudah lama terjebak pada persoalan yang dipantiknya sendiri : Yaman.
Perang Yaman telah menghabiskan miliaran dollar AS kas Riyadh dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Kala memutuskan terlibat dalam perang saudara di negara tetangganya itu, Arab Saudi mengira bisa cepat keluar.
Berbekal persenjataan berharga miliaran dollar AS, Riyadh membantu pemerintah Yaman yang menghadapi pemberontak Houthi. Di bawah arahan Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, Arab Saudi mengirimkan aneka persenjataan mutakhir untuk menghadapi Houthi yang disokong Iran.
Setelah bertahun-tahun, Houthi tetap menguasai posisi-posisi penting di Yaman utara. Ibu kota Yaman, Sanaa, dan pelabuhan utama Yaman, Hodeidah, tetap dikendalikan Houthi. Sementara pemerintahan Yaman yang disokong Riyadh kini malah harus berebut Kota Aden dengan mantan sekutunya di sana.
Mantan sekutu pemerintahan Yaman kini menamakan diri Dewan Transisi Selatan dan disokong Uni Emirat Arab (UEA), sekutu utama Riyadh dalam invasi ke Yaman.
Belakangan, UEA pelan-pelan meninggalkan Yaman. Masalahnya, Riyadh tidak bisa begitu saja meniru langkah Abu Dhabi. “Saudi sebenarnya ingin mengatakan perang ini sudah selesai bagi kami. Akan tetapi, situasi di lapangan tidak memungkinkan,” ujar seorang pejabat barat yang memahami kebijakan Riyadh soal Sanaa.
Rapuh
Setelah gencatan senjata, pasukan penyokong pemerintah Yaman kini baku tembak lagi dengan Houthi. Lokasinya antara lain di Al-Jouf dan Marib. Pertempuran kembali terjadi selepas para pihak bertikai menyatakan siap meredakan ketegangan. Riyadh menyatakan siap berdialog untuk menyelesaikan perang. Houthi juga menawarkan berhenti menyerang Arab Saudi dengan pesawat nirawak dan rudal.
Sayangnya, tidak ada kelanjutan atas peluang itu. Sementara para pemantau di Yaman menyebut Houthi memanfaatkan gencatan senjata untuk meningkatkan kemampuan.
Upaya Riyadh membahas pembagian kekuasaan antara pemerintah Yaman dengan Dewan Transisi Selatan juga tidak ada kelanjutan. Dalam proposal Riyadh, Aden akan dijadikan ibu kota sementara. Sayangnya, sampai sekarang presiden dan perdana menteri Yaman tetap tinggal di Riyadh.
Mereka berada di sana sejak Sanaa dikuasai Houthi. “Kesepakatan Riyadh terhenti, ketegangan meningkat lagi di selatan dan pertempuran makin sengit di utara. Arab Saudi terlalu berlebihan menilai diri dan meremehkan kemampuan pihak lain,” demikian kata pejabat barat itu kepada kantor berita AFP.
Meskipun posisinya sulit, Riyadh tetap menjadi pemain kunci dalam konflik Yaman. “Posisi Saudi paling baik karena punya hubungan dengan semua pemain utama di Yaman. Sayangnya, peluang gerak Saudi untuk menawarkan kesepakatan yang bisa diterima semua terus menipis,” kata Elana DeLozier, peneliti Washington Institute for Near East Policy.
Memang, Arab Saudi tidak hanya menjatuhkan bom di Yaman. Riyadh juga membangun sekolah, pengolahan air, hingga rumah kaca di Yaman. Proyek-proyek itu selalu ditunjukkan untuk menjawab kritik atas invasinya di Yaman. Selama beberapa tahun terakhir, Riyadh telah mengucurkan miliaran dollar AS untuk menopang bank sentral Yaman.
Sayangnya, perang harga minyak dan wabah korona baru kini menuntut perhatian Arab Saudi. Wabah itu dinilai sebagai peluang untuk menghentikan perang di Yaman. Gencatan senjata telah diminta berbagai pihak untuk memudahkan bantuan bagi Yaman.
Namun, sepertinya Riyadh tetap keras kepala. “Riyadh yakin, mundur secara mendadak akan menguntungkan Houthi dan musuh mereka, Iran. Pada saat yang sama, Riyadh ingin mengurangi biaya keterlibatan di Yaman. Sebab, kini mereka sadar biaya (operasi) militer terlalu besar,” kata Thomas Juneau, asisten profesor di University of Ottawa. (AFP)