Perkembangan kasus pandemi Covid-19 sudah melampaui kapasitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan. Ketegasan karantina wilayah diperlukan untuk memutus rantai penularan penyakit.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pasien yang tertular Covid-19 semakin bertambah. Selain itu, kasus yang ditemukan semakin meluas hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ketegasan pemerintah untuk melakukan karantina wilayah, terutama di wilayah dengan kasus tinggi, mendesak dijalankan untuk mempercepat pemutusan rantai penularan penyakit tersebut.
Berdasarkan laporan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, total pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia hingga 27 Maret 2020 pukul 12.00 mencapai 1.046 kasus. Kasus ini tersebar di 28 provinsi dengan kasus tertinggi dilaporkan di DKI Jakarta (598 kasus), Jawa Barat (98 kasus), Banten (84 kasus), dan Jawa Timur (66 kasus). Sementara itu, kasus kematian yang dilaporkan sebanyak 87 jiwa.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam saat dihubungi di Jakarta, Jumat (27/3/2020), mengatakan, pembatasan sosial dengan aturan yang jelas dan tegas di daerah prioritas dengan kasus tinggi harus segera dilakukan. Para ahli pun telah sepakat bahwa pembatasan sosial berupa karantina wilayah atau lockdown dengan modifikasi atau aturan yang lebih jelas dapat memperlambat penyebaran dan menurunkan angka kematian akibat Covid-19.
”Untuk itu dibutuhkan alur atau mekanisme yang jelas terkait sistem pembatasan sosial sesuai kondisi daerah. Pembatasan sosial yang lebih agresif seperti lockdown dapat diberlakukan di wilayah dengan kasus Covid-19 tinggi dan menjadi daerah episenter seperti Jakarta dan Jawa Barat,” katanya.
Pertimbangan untuk melakukan karantina wilayah di satu daerah atau local lockdown tersebut juga disampaikan Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui surat resmi kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat yang ditandatangani Ketua Dewan Guru Besar FKUI Siti Setiati pada 26 Maret 2020 tersebut, karantina wilayah ini bertujuan untuk memutus rantai penularan Covid-19.
Pembatasan sosial yang lebih agresif seperti lockdown dapat diberlakukan di wilayah dengan kasus Covid-19 tinggi dan menjadi daerah episenter seperti Jakarta dan Jawa Barat.
Hal tersebut dinilai telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Karantina wilayah ini disarankan dilakukan selama setidaknya 14 hari di provinsi yang menjadi episentrum penyebaran Covid-19. Melalui langkah ini, negara pun diharapkan bisa lebih mudah menghitung kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit, mulai dari sumber daya manusia, alat pelindung diri, hingga fasilitas lainnya.
Bom waktu
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Daeng M Faqih menyampaikan, jika pemerintah tetap memilih tidak melakukan karantina wilayah di daerah dengan kasus tinggi, ketegasan dan pengawasan ketat harus dijalankan dalam upaya pembatasan fisik (physical distancing). Selama ini, upaya pembatasan fisik tersebut hanya sekadar imbauan sehingga masih banyak masyarakat yang tidak menaati.
”Kalau memang opsi yang dipilih physical distancing, itu harus betul-betul diawasi. Jadi, jangan hanya imbauan, kemudian diserahkan kepada kesadaran dan pengertian dari masyarakat. Itu tidak akan efektif. Harus ada pengawasan dari aparat keamanan, TNI, Polri, dan Satpol PP untuk menertibkan masyarakat,” tuturnya.
Menurut Daeng, jumlah pasien Covid-19 harus ditekan semaksimal mungkin. Kapasitas tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan sudah terbatas. Jika jumlah pasien terus bertambah, kapasitas tenaga medis tidak akan cukup. Akibatnya, banyak pasien yang justru tidak tertangani.
Kondisi lebih mengkhawatirkan apabila jumlah pasien yang positif Covid-19 semakin banyak ditemukan di daerah dengan layanan kesehatan terbatas. Penyediaan rumah sakit darurat hanya salah satu solusi. Namun, jika sumber penularannya tidak dihentikan, berapa pun banyak rumah sakit yang dibangun tetap tidak akan bisa menampung pasien.
”Apalagi di daerah yang pelayanan kesehatannya tidak sebanyak di Jakarta. Tenaga kesehatan terbatas, fasilitas serta sarana dan prasarana pendukung seperti ventilator (alat bantu pernapasan) juga tidak tersedia. Jadi harus dipastikan semua warga tetap tinggal di rumah. Kalau tidak, itu akan jadi bom waktu yang lebih merugikan negara,” ujarnya.
Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia Akmal Taher berpendapat, kebijakan pemerintah untuk menerapkan pembatasan fisik guna mencegah penularan Covid-19 masih lemah. Pengawasan di lapangan untuk memastikan masyarakat menjalankan kebijakan tersebut belum berjalan.
Untuk itu, ia menyarankan perlu ada sanksi tegas bagi masyarakat yang tidak menjalankan kebijakan tersebut. Melalui sanksi ini, selain membatasi pergerakan orang di dalam wilayah, juga membatasi pergerakan antarwilayah. Ini terutama untuk menghindari potensi mobilitas orang dari daerah yang kasusnya tinggi, seperti Jabodetabek, menuju ke daerah lain.
”Selain itu, perkuat juga peran puskesmas. Jadi, kini jangan hanya berperan dalam edukasi dan surveilans atau penemuan kasus, tetapi juga memantau serta mengawasi pasien yang masuk dalam kelompok orang dalam pengawasan. Pastikan pasien tetap di rumah meski cara pemantauannya melalui teknologi informasi,” katanya.
Menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti, imbauan tidak cukup untuk menyadarkan masyarakat Indonesia karena karakter masyarakat memang cenderung bersifat komunal, berkumpul, dan bersosialisasi. Tanpa ada ketegasan berupa pelarangan, potensi masyarakat untuk pulang kampung sangat tinggi karena keyakinannya pun masih kuat untuk bertemu sanak saudara. Padahal, ini sangat berisiko menularkan penyakit di daerah lain.
Menurut Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi) Ede Surya Darmawan, apabila pemerintah akan menjalankan kebijakan karantina wilayah, sejumlah persiapan harus dipastikan terlebih dahulu. Itu seperti memastikan tidak ada kasus impor dari luar negeri, pemenuhan kebutuhan dasar dari masyarakat yang terdampak karantina, sistem rujukan yang jelas dengan penjemputan pasien menuju rumah sakit, dan pengawasan ketat dari petugas keamanan.
”Sekarang jangan lagi pemerintah mengulangi keterlambatan penanganan menjadi dua kali. Perkembangan kasus sudah melampaui kapasitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan. Jadi jangan ragu lagi dan menunda ketegasan untuk memutus rantai penularan Covid-19,” tuturnya.