Pelambatan ekonomi Jakarta menyebabkan sebagian warga pulang kampung dan sangat mungkin sebagian membawa virus korona baru. Karantina dan penapisan massal harus segera dilakukan untuk mencegah bencana yang lebih besar.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Gelombang badai Covid-19 sudah tiba dan menelan puluhan jiwa, tetapi bencana lebih besar bisa terjadi. Tanpa segera mengarantina episenter wabah dan melakukan penapisan massal, infeksi korona baru di Indonesia bisa mencapai 71.000 kasus hingga akhir April 2020. Saat itu, Indonesia bakal kehilangan kesempatan untuk membendung wabah.
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini mengingatkan dengan kondisi di Italia sebulan lalu. Infeksi Covid-19 di Italia baru mencapai 400 kasus dan kematian dua digit saat pemimpin Partai Demokrat yang berkuasa mem-posting foto dirinya berkaca mata hitam dengan keterangan, ”mendesak orang-orang untuk tidak mengubah kebiasaan kita”.
Itu terjadi pada 27 Februari. Kurang dari 10 hari kemudian, ketika jumlah korban mencapai 5.883 infeksi dan 233 orang meninggal, pemimpin partai itu, Nicola Zingaretti, mem-posting video baru, kali ini dengan nada berduka bahwa ia juga terkena virus.
Berdasarkan data https://www.worldometers.info/coronavirus/, Italia sekarang memiliki lebih dari 74.386 infeksi dan 7.503 orang meninggal, lebih dari dua kali lipat daripada korban meninggal di China yang mencapai 3.281 orang. Dengan penambahan kasus baru 5.200 per hari dibandingkan China yang hanya 78 per hari, Italia diperkirakan menjadi pemegang rekor dari segi jumlah kasus dan korban meninggal.
Di belakang Italia kini menyusul Amerika Serikat yang memiliki 68.802 kasus, dengan 11.100 kasus baru per hari, dan korban meninggal 1.037 orang. Indonesia per Kamis (26/3/2020) memiliki 893 kasus positif, sedangkan korban meninggal sebanyak 78 orang atau bertambah 20 orang dibandingkan sehari sebelumnya, dan yang sembuh 35 orang.
Sebaran kasus positif Covid-19 ini sudah terdapat di 27 provinsi. Lonjakan penambahan kasus dan tingginya tingkat kematian di Indonesia ini lebih karena masih minimnya pemeriksaan yang dilakukan. Setiap hari yang diperiksa hanya berkisar 350 hingga 600 spesimen di seluruh laboratorium.
Keterlambatan pemeriksaan, yang berarti juga perawatannya ini berkontribusi menyebabkan tingginya kasus kematian di Indonesia. Sebagai catatan, Indonesia juga memiliki angka kematian tenaga medis sangat tinggi. Sejauh ini sudah 10 dokter dan 1 perawat yang meninggal serta puluhan yang terinfeksi.
Tri Maharani, dokter spesialis emergensi, pengurus Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia (Perdamsi), mengatakan, keterbatasan alat pengaman diri (APD) menjadi penyebab banyaknya tenaga medis yang terinfeksi. Selain itu, juga karena keterlambatan deteksi.
”Banyak orang datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit panas atau batuk, tetapi ternyata membawa korona sehingga banyak yang tertular. Jadi, rumah sakit dan tenaga medis sebelumnya memang tidak siap karena katanya korona belum ada,” kata Tri.
Selama Januari hingga Februari 2020, Pemerintah Indonesia menyangkal adanya risiko wabah sehingga nyaris tanpa persiapan. Akibatnya, SARS-CoV-2 yang memicu Covid-19 ini diam-diam bersirkulasi domestik, dan ketika kemudian meledak sejak awal Maret 2020, sistem layanan kesehatan kita kelabakan.
Sekalipun sudah ada perbaikan protokol pemeriksaan dan penambahan laboratorium, tetapi jumlahnya belum memadai. Sebagai perbandingan, per 25 Maret 2020 Korea Selatan telah melakukan tes terhadap 350.000 orang atau 7.000 tes per 1 juta penduduk dan menemukan 9.314 kasus positif (2,6 persen). Singapura melakukan 39.000 tes atau 6.800 tes per 1 juta penduduk dan menemukan 558 kasus (1,42 persen). Adapun Indonesia baru melakukan 3.332 tes atau 12 tes per 1 juta penduduk dan menemukan 686 kasus (20 persen).
Minimnya pemeriksaan ini menyebabkan banyak orang dalam pemantauan (ODP) dengan kondisi sakit yang ditolak rumah sakit, dan berakhir dengan meninggal sebelum di tes. Selain itu, banyak pasien dalam pemantauan (PDP) yang meninggal sebelum hasil tes keluar.
Terlambat mengantisipasi
Seperti Indonesia, Italia juga sangat kurang dalam melakukan tes. Sekalipun mereka saat ini telah memiliki kasus Covid-19 terbanyak kedua di dunia, rasio positif yang ditemukan mirip Indonesia, yaitu 23 persen atau 69.176 kasus dari 296.964 tes.
Mereka kini telah kewalahan membendung wabah ini dengan hanya melakukan tes terhadap orang yang sangat tinggi kemungkinan positifnya. Bahkan, mereka juga kewalahan menguburkan korban jiwa yang per hari mencapai 700 orang.
Kurangnya pemeriksaan menyebabkan sebagian besar kasus dengan gejala ringan atau bahkan asimptomatis belum diperiksa. Padahal, penelitian Lauren Ancel Meyers dari Universitas Texas di Austin di edisi pracetak jurnal Emerging Infection Diseases pada 16 Maret menyebutkan, waktu antara dalam rantai penularan Covid-19 kurang dari satu minggu. Selain itu, lebih dari 10 persen pasien terinfeksi oleh seseorang yang memiliki virus tetapi belum memiliki gejala. Jadi, semakin banyak orang tanpa gejala tidak diperiksa dan bebas berinteraksi kemungkinan untuk menangkal penyebaran Covid-19 menjadi mustahil.
Iqbal Elyazar, peneliti biostatistik di Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), mengatakan, dengan model penanganan saat ini, angka penularan Covid-19 di Indonesia bakal bertambah secara eksponensial, mengikuti deret ukur, hingga kemudian tak terkendali.
Dengan menggunakan data di Our World in Data, waktu penggandaan Covid-19 di Indonesia rata-rata 2 hari, artinya jumlah kasus berlipat dua setiap dua hari. Jika menggunakan model ini, pada akhir Maret 2020, Indonesia akan melaporkan lebih dari 20.000 kasus.
Iqbal mengatakan, jika diasumsikan bahwa waktu penggandaan Indonesia sama dengan Italia (5 hari), maka pada akhir Maret, Indonesia akan melaporkan 1.000 kasus dan pada akhir April 2020 akan terdapat antara 71.000 kasus Covid-19. Angka ini dipastikan bakal melumpuhkan sistem kesehatan nasional.
Untuk mencegah hal ini terjadi, pemerintah harus menggalakkan pemeriksaan massal menggunakan protokol yang memiliki akurasi tertinggi untuk saat ini, yaitu dengan menganalisis sampel tes usap menggunakan PCR, bukan tes cepat dengan antibodi yang bisa memicu negatif atau positif palsu, yang bakal menambah kekacauan penanganan. Pemeriksaan ini diperlukan untuk penapisan, atau memisahkan segera antara yang sehat dan sakit.
Selain itu, menurut Iqbal, pemerintah diminta keterbukaannya memberikan informasi tentang data lokasi penderita, minimal di tingkat kecamatan, sehingga masyarakat dapat ikut memeriksakan diri dan menghindari kontak dengan lokasi tersebut. Berikutnya, harus memperketat minimalisasi kontak fisik.
Menurut Iqbal, strategi yang dipilih Presiden Joko Widodo dengan mengimbau melakukan isolasi mandiri dan menjaga jarak fisik dinilai tidak efektif karena tidak diikuti sanksi. ”Walaupun dianjurkan karantina, sepanjang tidak ada sanksi tidak akan jalan. Di negara lain, seperti Belgia, warga yang kedapatan jalan di luar akan diperiksa polisi. Pelanggaran kedua didenda 4.000 euro atau 3 bulan kurungan,” katanya.
Sudah saatnya Jabodetabek yang saat ini menjadi episenter wabah dikarantina. Apalagi, pelambatan ekonomi Jakarta mulai menyebabkan sebagian warga telah pulang kampung dan sangat mungkin sebagian membawa virus ini. Penyebaran Covid-19 di daerah-daerah bakal menjadi bencana besar. Waktu menyempit, tetapi keputusan yang tepat masih bisa menyelamatkan banyak nyawa dan kerugian ekonomi lebih besar....