Blenduk
Aku mengelus perut yang makin buncit, membayangkannya sebagai Blenduk yang sangat akrab dengan kami. Ialah arsitek kubah blenduk pada perutku
Biarlah dia menguburnya jauh-jauh, dia tak mungkin mengelak sebagai keturunan kesembilan Kyai Segara dengan Nyai Roro Kidul. Setiap keturunan mereka terlahir dengan sebuah keramat. Jika melakukan dosa besar, tubuh mereka akan mengeluarkan bau ikan. Menurut ibu, semasa remaja, dia pernah ketahuan mencatut uang hasil lelang ikan untuk memasang togel.
Konon dia tergiur cerita tetangganya yang membeli perahu bermotor setelah menang togel. Saat itu, ayahnya belum menggunakan mesin di perahunya untuk melaut. Ayah dan ibunya segera mengetahui karena badan, keringat, dan napasnya yang mengeluarkan bau ikan hingga berhari-hari. Bau itu baru hilang seminggu kemudian setelah ia mengakui perbuatannya.
***
Tak sampai pikirku akan bunting setelah melewati usia empat puluh, lima belas tahun setelah menikah dengannya. Bercampur rasa bahagiaku dengan kekhawatiran yang dikatakan dokter. Segera datang kesal bila mengingat-ingat tingkahnya dulu. Dia bahkan pernah menolak jika aku menyinggung tentang anak. Aku selalu menolak berhubungan bila ia pakai kondom. Tubuhnya hambar. Aku kesulitan menemukan bentuk, warna, hingga aroma tubuhnya seperti saat masih pacaran. Aku rasai ketaksungguhan cium, peluk, dan gamitnya. Aku sangsi dengan hadiah mewah dan liburan mahal; terakhir dia mengajakku menemaninya umroh. Apa saja dia kerjakan mengundang sangka-sangka berantai sebagaimana lukisan Affandi yang terus menghantui sepulang dari galerinya.
Ah, begitu kasar perasaanku. Tak mau lagi seranjang dengan suami sendiri yang tiba-tiba "mengikan", amis dan bersisik. Ayah dari anak dalam perutku ini. Hanya saat tidur, dia berani mendekat untuk mencium dan mengelus perutku. Dalam tidurku, sering kudengar ia bersalawat, juga membaca ayat suci dalam surat Yusuf atau Maryam. Meski tak tahu artinya—meski pernah ia terangkan—aku diam-diam menyukai kesyahduannya. Penghuni blenduk bereaksi, entah dia senang karena dimanja, atau malah marah karena aku dikhianati. Aku yang terbuai tak peduli.
Ketika amisnya mulai merembas batas ke alam ruhku, aku terbangun. Sekelebat, aku melihat bayangan hitam berkelebat keluar melalui pintu kamar yang kemudian lupa ia tutup. Aku tak mau memikirkannya sebelum makanan yang susah payah kutelan keluar dengan percuma.
Aku mengelus perut yang makin buncit, membayangkannya sebagai Blenduk yang sangat akrab dengan kami. Ialah arsitek kubah blenduk pada perutku. Akulah saksi betapa ia berpayah dengan tangan dan kaki yang telanjang. Otot-ototnya terasa begitu kekar saat menyentuh kulitku. Di atas selembar riwayat gersang tubuhku, dia tugal benih yang kemudian tumbuh menjadi kubah blenduk. Perlu bertahun menumbuhkan Blenduk di tanah balas budi untuk VOC itu, tanah yang sama dengan tanah airku di Pecinan.
***
Di atas becak, tiba-tiba aku berteriak, tapi tak cukup untuk menarik perhatian banyak orang. Sebuah kantong plastik berisi tomat yang terjatuh dari sepeda motor yang menyalip becak kami dari sebelah kiri terlindas roda mobil, airnya menyiprat ke arah kami, mengenai wajah dan lengan bajuku.
“Kamu tak malu pergi bersama wanita dengan dandanan yang rusak dan pakaian yang kotor?”
“Hal seremeh itu? Tengok Johar, keadaanmu tak seberapa buruk!”
“Aku akan ke rumah Tuhan, aku ingin terlihat pantas. Masa disamakan dengan bangunan yang tak bisa merawat diri itu!”
“Pantas di mata Tuhan, atau jemaat?” oloknya.
***
Tak sabar, aku meminta tukang becak berhenti dan meneruskan dengan berjalan kaki. Kami sampai dengan badan lembap penuh keringat. Beberapa saat, kami berdiri untuk mencari tempat duduk. Dapat, tempat duduk paling jauh dari altar. Kebetulan sekali, seorang laki-laki mempersilakan kami duduk di tempat yang sebelumnya diletakinya tas. Dia orang yang menjanjikanku segera ditarik dari marketing untuk menjadi teller. Malu-malu, aku duduk bersebelahan dengannya; bujang, mapan, dan tampan. Setelah dua lelaki yang mengapitku berjabat tangan, secara menejengkelkan, ia meminta bertukar tempat duduk denganku. Duduklah ia di antara aku dan atasanku.
Beberapa kali aku membangunkannya, tapi ia lelap. Aku memutuskan untuk menunggunya dengan mengorbankan janji reuni dengan kawan SMA.
Blenduk yang tua itu begitu sepi, membiarkan kami berdiam dalam sunyi. Aku memperhatikan dinding-dinding tua yang mulutnya terus berkomat-kamit memahat relief negeri kincir angin yang muncul dari dalam permukaan air laut yang di tepi-tepinya terdapat pelabuhan-pelabuhan tersibuk. Bocah, siapa pun, akan terkesima jika membayangkan bangunan megah Eropa yang dapat tumbuh di tanah Nusantara. Maka, benarlah orang mengira ini tanah surga.
“Kemana yang lain?” tanyanya sambil memandangiku yang cengengesan hampir ketahuan akan menciumnya.
“Kamu pikir mereka mau menemanimu tidur seharian di gedung tua ini?”
***
Kami sengaja pulang dengan berjalan kaki, tak terhitung berapa kali menolak tawaran tukang becak sepanjang jalan yang kami lintasi. Tawaran yang terakhir tak dapat kami tolak. Tukang becak yang mengantar kami berangkat tadi memaksa untuk kembali naik becaknya dengan janji tanpa ongkos. Malah kami ditawari untuk keliling kota tua, tapi aku tolak. Tukang becak itulah yang kemudian hari ia mintai tolong untuk menjadi saksi pernikahan kami, tepat sehari setelah wisudanya. Kami menikah secara agama dua kali, di Blenduk oleh Romo yang murah hati itu, dan di tempat kampung asalnya oleh guru ngaji semasa kecilnya.
***
Di meja makan, aku lihat bika ambon pesananku tiga hari lalu. Aku mengambil sepotong, menggigit ujung sudutnya yang hijau lalu mengunyahnya. Dengan cepat pula, aku dipaksa menuju toilet. Sebelum sampai, aku melihat wastafel, dan tak bisa kutahan untuk memuntahkan kunyahan itu dan diikuti makanan lain yang kutelan pagi harinya. Tiba-tiba, aku melihatnya ada di cermin di hadapku, tapi terlihat ragu untuk mendekat.
“Kenapa?”
Aku tak menjawab. Tenggorokanku pahit, tak nyaman, meski telah kumur berkali dan meneguk setengah gelas air hangat yang ia sodorkan.
“Mungkin selera anakmu sudah berganti. Kenapa pulang cepat?”
“Tiga hari aku akan tugas di Cilacap. Esok subuh, aku sudah harus berangkat. Biar ibu yang menemanimu di rumah.”
“Kamu saja yang mengantar aku ke Pecinan. Kamu sekalian pulang, kan?”
“Akan kusempatkan.”
“Bagus, aku mau ikan asin tangkapan bapak. Apa namanya? Gesek?”
Dia mengangguk setuju. Tapi, aku baru diantarnya ke Pecinan malam hari.
***
Aku tak terlalu ingat rasa gesek yang kumakan pertama kali, dan tak tahu pasti apakah semua gesek memiliki rasa yang sama. Dulu, pertama kali ke kampungnya, pantai segara kidul, aku merasakan gesek tangkapan bapak begitu sedap, menjadi teman nasi jagung dan pahit urap daun pepaya. Tapi, tidak sekali ini. Mungkinkah karena gesek itu telah berkendara selama lima jam perjalanan di atas jalan aspal demi menyusuri celah dingin antara Sindoro dan Sumbing?
Susunan kata-katanya yang lembut tak cukup menjelaskan padaku secara sederhana jawaban itu. Kenaifan itu pula yang membuahi sekaligus mengerami telur-telur kecanggungan, kecemburuan, kecurigaan yang berkongsi pada kepala masing-masing kami. Paruh anak ayam dalam telur memecah cangkangnya demi menuntut kebebasan dan pembebasan padaku, juga padanya.
“Semakin hari, kamu makin asing?”
“Mungkin saja pembawaan orang hamil. Bukankah ini pengalaman kita yang pertama?”
“Awalnya aku berpikir begitu.”
“Lalu?”
“Apa bayi dalam perutmu itu benar anakku?”
Aku ingin tertawa geli, tapi tertahan rasa mual yang menekan dari lambung.
“Kamu itu bau ikan, badanmu, keringatmu, dan napasmu. Mana aku tahan tidur denganmu.”
Tubuhnya mematung, semisal kandang tanpa burung. Jiwanya terbang mereka masa lalunya di pinggiran segara kidul, bermain layangan, menendang bola api, berkejaran dengan ombak, berenang, menarik jala, memancing, mencari kerang, mencuri telur-telur penyu untuk dibakar, menggoda tukik, menarik kapal, berhutang solar, melepas ikan dari jala, memperbaiki jaring yang putus, memanggul ikan ke pelelangan, dan mitos-mitos kampungnya.
Dua perahu tua dengan mesin bobrok milik ayahnya yang sudah mengantarnya sampai ke Semarang untuk memperoleh gelar sarjana dan menemukan aku sebagai jodohnya dihancurkan gelombang setinggi empat meter di selatan Pacitan. Berjam-jam perahu digulung gelombang dan berkali-kali menghantam karang sebelum hancur lalu karam. Sejak itu, bapak tak pernah lagi menjemur ikan karena kedua kapal yang biasa disewakan kepada nelayan untuk kemudian berbagi hasil tangkapan dibiarkan karam di dasar laut. Peristiwa itu terjadi sebulan sebelum kepulangannya ke Cilacap, beberapa hari lalu.
“Gesek siapakah yang kamu suapkan untukku dan anakmu di dalam Blenduk, rumah Tuhan yang suci ini?”
_______________________
Mufti Wibowo lahir dan berdomisili di Purbalingga. Ia bergiat di komunitas Bunga Pustaka.
(HP/WA 085878503553; Surel: bowoart60@yahoo.co.id; rekening BNI 0506941240 a.n Mufti Wibowo)