Dua peristiwa di dua tempat yang berjauhan, satu di Tangerang dan satu di Sleman, menunjukkan upaya kesehatan dan keselamatan kerja atau K3 diabaikan. Di Tangerang ada radiasi di atas ambang batas. Di Sleman 10 siswa tewas dalam acara susur sungai.
K3 terkait lingkungan hidup dikenal sebagai safety, health, and environment (SHE) atau HSE. Ini bukan disiplin ilmu baru dan sudah dipraktikkan secara luas, termasuk di Indonesia. Masalah utama adalah bagaimana menjadikan HSE sebagai budaya yang melekat di setiap langkah, di lingkungan kerja mana pun. Saat ini yang ketat menerapkan adalah perusahaan pertambangan, energi, rumah sakit, dan perusahaan asing.
Temuan radiasi di tanah kosong di Serpong sebenarnya merupakan puncak gunung es dari hal yang lebih mendalam. Lolosnya bahan radiasi di tempat yang tidak semestinya menunjukkan tidak ketatnya pengamanan pengelolaan bahan beracun berbahaya (B3).
Peristiwa di Sleman juga mencerminkan kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan siswa. Tampak bahwa pihak sekolah tidak memperhatikan faktor cuaca dan lingkungan, memaksakan program tetap jalan.
Contoh lain, hal kecil dalam praktik sehari-hari, sering ditemui percikan karat besi di kornea mata pekerja las, mengindikasikan bahwa si pekerja tidak memakai alat pelindung secara benar atau malah tidak sama sekali.
Keberhasilan membudayakan perilaku aman sebenarnya sudah berhasil menjadi habitus dengan memakai helm, misalnya, atau menggunakan sabuk pengaman saat berkendara. Artinya, pemerintah bisa mengintroduksi K3 dan HSE kepada aparatur negara dan masyarakat. Upaya ini memang harus bersifat top down agar tercipta tatanan yang menjaga keamanan rakyat, apalagi kita sedang menghadapi pandemi Covid-19.
Camkan kata-kata bijak berikut: ”Takes one minute to write safety rule, one hour to hold a safety meeting, one week to plan a safety program, one month to put into operation, one year to win a safety award, one lifetime to make a safety worker. But remember: It takes only one second to destroy it all with an accident”.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Pasar Manggis, Jakarta 12970
Rancu Bahasa
Surat kepada redaksi di harian Kompas (19/2/2020) yang dikirim Bapak V Sutarmo Setiadji ikut memicu keprihatinan saya atas pemakaian bahasa Indonesia kita.
Banyak pengguna bahasa, terutama generasi muda, rancu memakai akhiran -kan dengan akhiran -i (-in dalam dialek Betawi).
Pengaruh akhiran -in terasa kuat di setiap pembicaraan. Saya juga sering mendengar kalimat yang diucapkan penyiar radio dan televisi seperti ini, ”Tiba saatnya kami putarin lagu... bla... bla... bla....”
Pemakaian kata kita dan kami juga sering kacau. Bisa jadi ini pengaruh sinetron atau film di bioskop, yang umumnya dibuat di Jakarta, sehingga kuat dialek Betawinya.
S Sanusi Sidi
Cipinang Muara Raya, Jakarta Timur
TB Simatupang
TB Simatupang sering disebut mengundurkan diri dari jabatan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) pada 1950-an. Misalnya, dalam buku Sabam Sirait, Meniti Demokrasi Indonesia, halaman 62, tertulis ”...Simatupang mengundurkan diri dari karier militernya....”
TB Simatupang dalam buku Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (Pustaka Sinar Harapan, 1991) tidak menulis mengundurkan diri dari KSAP. ”...Terbukti bahwa diperlukan 7 tahun di antara 1952-1959 untuk mengeluarkan saya dari dinas tentara....” (hlm 178).
Dalam seminar di gedung Lemhanas, pembicara Yudi Latif mengatakan, ia tidak pernah menyaksikan surat pengunduran diri TB Simatupang.
Herri Simatupang
PTB Duren Sawit, Jaktim