Penyebaran virus korona baru yang sangat cepat telah mengubah etiket sosial yang berlaku di masyarakat. Tidak ada lagi jabat tangan, peluk hangat ketika bertemu sahabat.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Minggu lalu, seminggu berjalannya kebijakan pembatasan sosial, seorang teman sempat bingung apakah akan memenuhi undangan pesta pernikahan di sebuah hotel di Jakarta atau tidak. Dia merasa tidak enak jika tidak datang ke pesta tersebut karena telah diundang secara khusus oleh koleganya, bahkan diberi seragam untuk menyambut para tamu.
Dilema. Apalagi koleganya yang lain menyatakan akan tetap datang demi menjaga hubungan baik. Meski alasan itu sempat menjadi pertimbangannya untuk datang ke pesta, dia akhirnya memilih tidak datang dan meminta maaf kepada koleganya melalui pesan Whatsapp. Dia pun siap menghadapi segala konsekuensinya, termasuk jika dianggap tidak sopan, meski koleganya itu mengatakan dapat memahami alasan dia.
Sebuah pilihan yang sulit, bukan hanya menyangkut kesopanan, melainkan juga keberlangsungan relasi yang selama ini harmonis antara dia dan koleganya. Tetap ada rasa sungkan atau ewuh pakewuh ketika tidak memenuhi undangan pesta tersebut meski pemerintah telah melarang masyarakat untuk berkumpul dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19.
Di Jerman, Menteri Dalam Negeri Jerman Horsdt Seehofer tanpa sungkan-sungkan menolak jabat tangan Kanselir Jerman Angela Merkel dalam sebuah pertemuan pada awal Maret lalu (CNN, 4 Maret 2020). Meski terkejut, Markel tersenyum dan memuji sikap Seehofer dalam upaya mencegah penyebaran virus korona baru penyebab Covid-19.
Upaya pencegahan penyebaran virus korona baru ini telah ”melawan” etiket sosial yang berlaku di masyarakat selama ini.
Dunia telah berubah. Virus yang mulai merebak pada awal tahun ini tidak hanya mengubah cara masyarakat menjaga kesehatan, cuci tangan pun masih harus diajari, tetapi juga mengubah etiket sosial, yaitu sopan santun dan tata cara berperilaku manusia sebagai makhluk sosial.
Tidak ada lagi jabat tangan, paling tidak untuk saat ini. Tidak ada lagi pelukan hangat ketika bertemu sahabat. Tidak ada lagi cium pipi ucapan selamat ulang tahun kepada teman dan sahabat, juga tidak ada pertemuan untuk menjaga silaturahmi antar warga dan kerabat, bahkan menengok teman atau saudara yang sedang sakit meski bukan sakit Covid-19.
Norma kesopanan
Penyebaran virus korona baru yang sangat cepat mengharuskan kita semua ”meninggalkan” norma-norma kesopanan yang telah lama tertanam di masyarakat. Bahkan, kita harus ”curiga” kepada orang lain dengan menjaga jarak aman atau harus segera cuci tangan memakai sabun setelah menerima paket barang seolah-olah ingin membersihkan diri dari virus yang mungkin dibawa orang lain.
Warga Wuhan, China, memopulerkan goyang Wuhan, yaitu saling menyentuhkan kaki sebagai pengganti jabat tangan untuk mencegah penyebaran virus korona baru. Namun, goyang Wuhan segera tak berlaku ketika Pemerintah China mengisolasi (lockdown) kota Wuhan. Sapaan ”namaste” ala India, dengan menyatukan kedua telapak tangan di dada dan badan sedikit membungkuk, harus dilakukan dengan memperhitungkan jarak aman.
Penyebaran virus korona baru yang sangat cepat, tanpa si pembawa penyakit (carrier) menunjukkan gejala sakit, mengajarkan kita untuk waspada, bahkan tidak percaya bahwa orang lain ”bersih” dari virus korona baru sehingga harus menjaga jarak dengan orang lain.
Sopan santun, etiket pergaulan yang bermanfaat untuk memelihara suasana yang menyenangkan, memudahkan terjalin hubungan baik, memberi keyakinan diri dalam berhadapan dengan berbagai lapisan masyarakat, serta meningkatkan citra diri dan lembaga (psikologi.ui.ac.id), memang harus didefinisikan ulang untuk mencegah penyebaran virus korona baru ini.
Dalam kondisi saat ini, tidak menghadiri undangan mungkin menjadi aturan baku baru dalam etiket pergaulan. Sebaliknya, mereka yang masih saja menggelar pestalah yang tidak cocok dalam etiket pergaulan saat ini karena akan membahayakan orang lain, termasuk diri sendiri.
Demikian pula meminta tetangga yang baru tiba dari daerah yang masuk kawasan merah penyebaran Covid-19 untuk mengisolasi diri selama 14 hari harus menjadi tata cara baru dalam pergaulan di masyarakat. Bukan diskriminasi, tetapi itulah yang benar dan beradab yang harus dilakukan demi menjaga harmoni di masyarakat saat ini.
Virus korona baru memang telah mengubah etiket sosial secara dramatis. Upaya pencegahan penyebaran virus korona baru ini telah ”melawan” etiket sosial yang berlaku di masyarakat selama ini.
Saat ini yang harus dilakukan masyarakat adalah tetap membangun dan menjaga relasi sosial di tengah melebarnya jarak sosial akibat pembatasan sosial saat ini. Saatnya pula membangun kepedulian sosial untuk mereka yang terdampak Covid-19. Dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah membantu kita untuk itu.