Kegelisahan Warga Mulai Menguat di Area Permukiman Padat
Instruksi pembatasan sosial untuk mencegah penularan wabah Covid-19 belum dijalankan di sejumlah kawasan permukiman padat di Jakarta. Alasan sempitnya ruang di tempat hunian menjadi alasan utama sulitnya berjaga jarak.
Belum disiplin menerapkan penjarakan sosial, warga dihadapkan pada kemungkinan baru. Mereka belum membayangkan situasi yang terjadi jika karantina wilayah diterapkan karena pasien Covid-19 terus bertambah. Warga mengharapkan ada solusi dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Eka (39) kewalahan mengurusi anaknya yang terus di rumah selama hampir dua pekan terakhir. Jumat (27/3/2020) siang, ibu dua anak ini harus menjaga anak pertamanya agar tetap belajar, sementara dia juga mesti menyuapi anak kedua yang berumur dua tahun. Di tengah semua itu, dia pun menyambi catatan administrasi suplai alat tulis kantor untuk sebuah perusahaan.
Semua aktivitas tersebut ia lakukan di tengah imbauan pembatasan sosial yang berjalan hampir sebulan belakangan. Pembatasan sosial yang dimaksud yakni berjaga jarak antar orang untuk mengurangi risiko penularan virus korona jenis baru atau SARS-CoV-2, penyebab wabah Covid,19.
Karena pembatasan sosial, berbagai aktivitas yang dia lakukan menjadi tidak mudah. Hal tersebut lantaran luas rumah indekosnya di Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, hanya sekitar tiga meter persegi. Di dalam kamar, dua anaknya diatur agar saling berjarak sekitar satu meter. Sementara itu, dia hanya mendekat saat akan menyuapi anak atau sedang menjelaskan materi pelajaran yang sulit.
Setelah berusaha menjalani penjarakan sosial sepekan, Eka merasakan imbauan ini tidak dibarengi dengan kesadaran warga di lingkungannya. Sebagai contoh, sejumlah penghuni indekos lain masih kerap berkontak fisik dan jarang mencuci tangan usai bepergian. "Hampir seminggu aku beraktivitas seperti ini, tetapi penghuni indekos lain belum ada yang tergerak juga. Di satu sisi, saya akui memang sulit menjaga jarak di kawasan permukiman padat," ucap perempuan ini saat ditemui di rumah indekosnya.
Baca juga: Jubir Presiden: Masyarakat Masih Abai Pembatasan Sosial
Eka mencontohkan tetangga indekosnya, Winik (49). Saat ditemui sepanjang siang, Winik berinteraksi sangat dekat dengan anak dan para tetangga di indekos sepulang dari pasar. Sepulangnya ke indekos, Winik langsung masuk ke kamar tanpa mencuci tangan.
Pengalaman Eka di indekos kawasan Krukut menandai aktivitas pembatasan sosial yang disampaikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum berjalan sempurna. Bila menyusuri sudut-sudut gang di Jalan Talib, Krukut, Kecamatan Tamansari, Anda akan menemui warga masih saling berinteraksi dengan jarak kurang dari satu meter.
Padahal, praktik pembatasan sosial diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Presiden Joko Widodo pun sebelumnya menegaskan, "Kebijakan belajar dari rumah dan beribadah di rumah perlu kita gencarkan untuk mengurangi penyebaran Covid-19," tutur Presiden, Minggu (15/3/2020) di Istana Bogor, Jawa Barat.
Baca juga: Pemerintah Perlu Lebih Tegas Batasi Mobilisasi Masyarakat
Permukiman padat
Sejumlah warga di kawasan Krukut mengaku sulit melakukan pembatasan sosial di rumah, terutama bagi warga yang jumlah penghuni di rumahnya banyak. Di rumah Iban (35), warga RT 007 RW 005 Krukut contohnya, sedikitnya ada lima keluarga yang tercatat dalam kartu keluarga, dengan jumlah penghuni sampai 11 orang.
Dengan jumlah penghuni sebanyak itu, ruang tamu rumah yang hanya seluas empat meter persegi menjadi sangat padat. Kepadatan terutama terjadi malam hari, saat semua orang pulang kerja.
"Kalau malam, biasanya keluarga berkumpul di ruang tamu sambil makan. Saat itu, jadinya, ya, kelihatan ramai sekali. Maka itu, sebagian kakak saya ada yang akhirnya mengontrak rumah agar tidak terlalu sempit. Kalau begini, boro-boro mau jaga jarak," tutur Iban yang berprofesi pengojek daring ini.
Begitupun Rizal (27), tetangga Iban, yang tinggal di rumah seluas tiga meter persegi milik orang tuanya. Meski ada kesadaran untuk mencuci tangan setelah beraktivitas di luar, namun jaga jarak sulit sekali dilakukan oleh para anggota keluarga.
Baca juga: Pembatasan Sosial Tidak Cukup dengan Imbauan
Rizal dan Iban pun jadi menyepelekan penularan wabah Covid-19 yang masif belakangan ini. Padahal, jumlah pasien positif Covid-19 per 27 Maret mencapai 1.046 orang dan menyebabkan 87 pasien meninggal. "Mudah-mudahan virus korona itu tidak masuk ke wilayah kami. Mungkin, karena jalan dan gang di sini sempit, jadi virusnya susah masuk," ucapnya berseloroh.
Kawasan Krukut, Kecamatan Tamansari, jelas bukan satu-satunya titik permukiman padat di Jakarta. Masih banyak lagi kawasan serupa di Kecamatan Tambora, Kecamatan Palmerah, Kecamatan Cengkareng, dan sejumlah wilayah lainnya yang luput dari inisiatif pembatasan sosial.
Karantina wilayah
Sementara inisiatif pembatasan sosial belum matang, warga juga dihadapkan dengan kegelisahan apabila kota mengalami lockdown atau karantina wilayah. Yanti (50), warga Krukut, juga khawatir rencana karantina wilayah dapat menghentikan pemasukan dagangan bakminya.
"Informasi agar tetap berada di rumah saja ini sudah merugikan saya. Muncul lagi kabar soal lockdown. Kalau seluruh kota ditutup, gimana keluarga saya mau makan di rumah? Kan, enggak ada pemasukan harian," ucap Yanti.
Baca juga: Para Pemimpin Dunia Dorong Warga Patuhi Pembatasan Sosial untuk Hentikan Penularan Covid-19
Terkait itu, Sosiolog Universitas Indonesia Paulus Wirutomo menilai ada kesenjangan informasi yang diterima masyarakat mengenai pencegahan wabah Covid-19. Pertama, menurut dia, instruksi untuk tetap berada di rumah belum dipahami sepenuhnya sebagai langkah mencegah rantai penularan.
Selain itu, instruksi pembatasan sosial juga kurang menjelaskan secara teknis bagaimana cara penularan wabah Covid-19. Seperti diketahui sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut virus menular lewat droplet atau percikan saat batuk dan bersin dari penderita. Maka itu, pembatasan sosial disarankan dengan berjaga jarak sekitar 1 meter dengan orang lain.
Studi yang diterbitkan New England Journal of Medicine menunjukkan, virus SARS-CoV-2 bisa bertahan dalam tetesan hingga tiga jam setelah orang batuk. Tetesan berukuran 1-5 mikrometer, 30 kali lebih kecil dari lebar rambut manusia, bisa mengudara beberapa jam. Virus juga bisa bertahan di atas kardus 24 jam serta di permukaan plastik dan stainless steel dua-tiga hari. Virus bertahan lama di gagang pintu dan permukaan keras lain. Permukaan tembaga membunuh virus dalam waktu empat jam.
Richard Sennett, Guru Besar Tata Kota dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) sekaligus penasihat pembangunan kota untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menuturkan penularan wabah Covid-19 di permukiman padat menjadi fokus penanganan di tiap negara. "Saat ini negara-negara berusaha mengurangi kepadatan di mana-mana demi alasan yang baik," ujarnya dalam artikel The Guardian, Kamis (26/3/2020).
Baca juga: Tegaskan Pembatasan Sosial, Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya Turun Tangan Bubarkan Kerumunan
Paulus menambahkan, pemerintah harus melakukan sosialisasi yang lebih intensif di permukiman padat. Cara ini dilakukan dengan pendekatan berbasis komunitas, yakni mendekati berbagai perkumpulan masyarakat, mulai dari ibu-ibu PKK hingga pemuda karang taruna.
Cara tersebut ia yakini berguna untuk meningkatkan kewaspadaan di masyarakat. Selanjutnya, masyarakat perlu difasilitasi ruang kolektif yang diberi garis-garis aturan pembatasan sosial. Tujuannya, agar warga tidak terus berkumpul di satu titik yang riskan menyebabkan kerumunan.
"Saya pikir cara tersebut akan bekerja selama tingkat kewaspadaan masyarakat tinggi. Ruang-ruang publik dapat dimanfaatkan kembali dengan kaidah pembatasan sosial selama kemunculan wabah Covid-19. Sebaiknya juga, warga disediakan posko tambahan untuk tidur, karena sebagian warga kerap terlalu dekat saat tidur di rumah. Hal ini riskan melanggengkan rantai penularan," tutur Paulus.
Selama kewaspadaan belum terbangun, wabah Covid-19 berpotensi menular secara sporadis di beberapa wilayah DKI Jakarta. Untuk mencegah penularan, di sana langkah pembatasan sosial bisa berperan.