Para ahli psikologi sosial menilai upaya mempermalukan orang yang tak mematuhi karantina berperan penting dalam membentuk norma-norma sosial di era wabah Covid-19. Namun, harus dengan santun dan tidak melukai perasaan.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Sejak aturan ”tinggal di rumah” diberlakukan sebagai salah satu cara mencegah penyebaran pandemi Covid-19, muncul fenomena baru di masyarakat, yakni mempermalukan orang lain yang tidak tinggal di rumah atau tidak menjaga jarak sosial. Istilah yang digunakan, quarantine shaming.
Di media sosial, belakangan ini beredar foto-foto yang menunjukkan taman, pasar, dan pantai di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada yang masih padat pengunjung. Ini membuat banyak orang, yang merasa sudah patuh pada aturan, marah dan menuding mereka yang masih keluyuran itu egois, arogan, dan merusak diri sendiri.
Bahkan, dalam situs BBC News, Rabu (25/3/2020), muncul tagar yang nyinyir, #COVIDIOTS, yang ditujukan kepada mereka yang masih berkumpul ramai-ramai. Ada yang menuliskan komentar yang cenderung bernada lebih jahat, seperti ”mereka pantas tertular virus”.
Para ahli psikologi sosial menilai upaya mempermalukan orang lain seperti itu bisa memainkan peran penting untuk mendorong pembentukan norma-norma sosial, terutama pada saat norma-norma cepat berubah sebagai akibat Covid-19.
Karena situasinya membingungkan, saran dan nasihat yang keluar pun membingungkan, bahkan imbauan pemerintah sekalipun. Di satu sisi, warga disuruh tinggal di rumah, di sisi lain warga juga diimbau tetap berolahraga dan boleh jalan kaki atau lari di taman.
Di New York, AS, Komisaris Taman Kota Mitchell Silver mendorong warga memanfaatkan taman-taman kota dengan alasan beraktivitas di luar ruang bisa mengurangi rasa stres dan meningkatkan kekebalan tubuh.
Di Inggris juga sama saja. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan, taman dan tempat publik lain penting bagi masyarakat dan bangsa. Warga didorong untuk memanfaatkan tempat publik.
Namun, ketika taman dan tempat publik dipenuhi pengunjung, bahkan berombongan, lalu timbul persoalan. Sejak pekan lalu, polisi-polisi di Seattle, AS, sibuk berpatroli mengelilingi taman dengan pengeras suara untuk mengingatkan warga agar tetap jaga jarak 2 meter dari orang lain. Di Inggris, jam buka taman, pantai, dan tempat terbuka lain mulai dibatasi karena terlalu ramai.
Jaga jarak aman
Guru Besar Kesehatan Publik di University of Nevada, AS, Brian Labus, menyarankan agar setiap orang menyadari risiko yang akan dihadapi ketika memutuskan keluar rumah. Namun, risiko itu bisa diminimalisasi jika beraktivitas di luar ruang sendirian. Misalnya, jika jalan kaki, lari, atau bersepeda sendiri, tidak akan ada risiko tertular. ”Menjadi berisiko ketika ada kontak dengan orang lain,” kata Labus.
Lari atau bersepeda dalam kelompok atau lari melewati orang lain itu sangat berisiko. ”Kalau, misalnya, sedang lari, lalu melewati seseorang yang bersin, virusnya akan bisa nempel secepat apa pun larimu. Kekuatan bersin tidak bisa dilawan,” kata Labus.
Kalau mau aman, lanjut Labus, sebaiknya pelari atau pegowes tetap jaga jarak dari orang lain. Berkegiatan dengan teman juga masih boleh asal tetap menjaga jarak aman.
Kalau hendak keluar rumah pun harus betul-betul dipertimbangkan tujuannya, dan tetap ingat untuk menghindari kerumunan orang. Pilih saja tujuan tempat yang sepi atau keluar saja ke lingkungan sekitar rumah.
Dilema
Pandemi Covid-19 ini juga memunculkan berbagai macam dilema sosial baru. Wakil Presiden Institut Emily Post Lizzie Post, yang baru saja menerbitkan ”Pedoman Etika Jaga Jarak untuk Covid-19”, menyatakan bahwa tata krama masyarakat kini berubah, tetapi intinya tetap sama, ”kejujuran, menghormati, dan penuh pertimbangan”.
”Kalau saya sedang jalan-jalan di taman dan akan berpapasan dengan orang lain, saya lebih baik mengalah ke pinggir dan menunggu orang itu lewat,” kata Post.
Dulu, pada situasi normal, perilaku ini akan dinilai menyinggung perasaan orang lain. Namun, rasa tidak enak itu bisa dikurangi, kata Post, dengan cara tetap kontak mata dengan orang itu atau senyum saja.
Cara santun
Cara-cara yang dilakukan orang untuk mempermalukan orang lain masih kontroversial. Dulu, kita bisa melaporkan orang lain yang mempermalukan diri kita. Namun, kini, ramai-ramai mempermalukan orang lain dianggap efektif untuk menguatkan norma-norma sosial baru, seperti saat pandemi sekarang.
Namun, tetap saja, kata Guru Besar Studi Lingkungan di New York University, Jennifer Jacquet, mempermalukan orang lain tidak bisa dibenarkan jika tidak ada urusannya dengan masalah yang sedang dihadapi banyak orang.
”Ini dilema. Covid-19 menjadi masalah yang berdampak pada kita semua sehingga kita semua diharapkan berkorban,” kata Jacquet.
Jacquet, yang pernah menulis buku tentang penggunaan mempermalukan orang lain sebagai cara mendorong kerja sama itu, menilai taktik tersebut sudah kerap dipakai dan berhasil membuat orang tidak menimbun barang atau melanggar aturan jaga jarak.
Namun, Post mengingatkan, meski untuk kebaikan orang banyak, sebaiknya memperingatkan orang lain dengan cara yang lebih santun. Misalnya, tidak memanggil orang lain dengan sebutan ”gila” atau ”bodoh” karena hal itu akan terkesan menyerang. Akan lebih baik jika diajak berdialog dan fokus pada solusi.
Ahli psikologi sosial di University of Montreal, Daniel Sznycer, menilai mempermalukan orang lain pada dasarnya merusak reputasi seseorang dan norma sosial. Orang bisa merasa, lalu malu melakukannya dan menghentikan atau ikut patuh. Masalahnya, hal itu bisa jadi hanya akan dilakukan di depan orang, tetapi akan diulangi ketika tidak ada orang lain yang melihat.
Misalnya, orang yang tidak berbelanja dalam kepanikan (panic buying) dengan menimbun barang belum tentu betul-betul melakukan hal itu. Bisa jadi mereka diam-diam berbelanja secara daring dan menimbun. Atau di publik, seseorang mengaku tidak jalan, lari, atau bersepeda ke luar rumah, tetapi diam-diam melakukannya tanpa sepengetahuan orang lain. Sama saja, bukan?
Namun, Sznycer mengakui, memiliki perasaan bersalah ketika menyadari telah melukai orang-orang yang disayangi memang bisa efektif membuat perilaku orang berubah menjadi lebih stabil, tenang kalem, dan dapat diandalkan.
Hanya saja, memang ada baiknya taktik mempermalukan orang lain dilakukan dengan cara yang santun dan tidak melukai perasaan atau harga diri seseorang.