Remigius Nong yang sering berkeliling di daerah-daerah Nusa Tenggara Timur untuk memberikan pelatihan produksi ”virgin coconut oil” mewujudkan mimpi anak-anak mendapat pendidikan gratis.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·5 menit baca
Remigius Nong (41) sering bepergian ke beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur untuk membagikan pengetahuannya mengenai produksi virgin coconut oil kepada masyarakat. Di tengah perjalanannya, dia sering menemukan anak-anak usia dini yang tidak dapat mengakses pendidikan dengan baik. Untuk mereka, Nong mendirikan lembaga pendidikan gratis yang bisa diakses siapa saja.
Jumat (28/2/2020), di dalam bangunan rumah darurat berukuran 5 meter x 5 meter, sebanyak 34 anak usia dini belajar mengenal huruf, angka, dan bermain. Rumah setengah tembok yang disambung bambu itu berada di Kelurahan Wuring, Kabupaten Sikka, NTT. Awalnya, rumah itu merupakan tempat tinggal Nong dengan satu kamar dan satu ruang tamu.
Nong sudah berkecimpung dalam urusan sosial dan pemberdayaan masyarakat selama belasan tahun. Mendirikan sekolah gratis adalah mimpinya demi membuka jalan bagi mereka yang berkekurangan untuk menggapai mimpi. Tahun 2015, ia mengosongkan rumah dan mengubahnya jadi tempat belajar bagi siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Ia menamakannya bimbingan belajar.
Setiap sore hingga malam, para siswa SMP dan SMA datang berkonsultasi tentang materi sekolah, sekaligus membahas tugas dari guru. Nong, alumnus Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Widya Mandira, Kupang, mengajak beberapa sukarelawan untuk ikut memberikan bimbingan pelajaran. Sebagian sukarelawan merupakan guru honorer yang mengajar di sekitaran Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. ”Bimbingan belajar ini gratis,” ujarnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, tempat belajar itu tak hanya didatangi anak SMP dan SMA. Siswa sekolah dasar (SD) juga sering berkumpul dan meminta bimbingan untuk mengerjakan pekerjaan sekolah. Bahkan, anak-anak usia dini yang belum sekolah juga ikut berkumpul. Satu tahun kemudian, muncul ide untuk menjadikan tempat itu sebagai bimbingan belajar sekaligus taman baca. Nong butuh tambahan tenaga sukarelawan serta buku-buku.
Buku-buku yang dimilikinya sejak kuliah dan buku pelajaran saat membantu mengajar di beberapa sekolah di Kupang dan Maumere ia kumpulkan. Nong juga menghubungi jejaring di lembaga swadaya masyarakat untuk meminta sumbangan buku-buku bekas. Selebihnya, ia membeli buku dengan uang sendiri. Saat itu terkumpul sekitar 100 buku pelajaran dan pengetahuan umum. Hingga kini, buku-buku sumbangan terus berdatangan.
Taman belajar sekaligus bimbingan belajar itu menjadi sekolah kedua bagi anak-anak. Tak hanya belajar, mereka juga diajarkan perihal berorganisasi seperti memandu diskusi, memimpin rapat, dan menjadi notulen. Beberapa dari mereka bersinar di sekolah masing-masing. Prestasi akademik mereka memuaskan dan sebagian menjadi pengurus organisasi intrasekolah.
Dua tahun kemudian, berawal dari banyak tetangga yang kesulitan memasukkan anaknya ke pendidikan anak usia dini (PAUD) karena alasan biaya yang mahal, Nong tergerak untuk membantu. Dia sering mendapati suami dan istri, yang tak lain tetangganya, bertengkar mengenai biaya pendidikan anak. Hal itu yang membuat suasana hati anak terganggu.
Akibatnya, banyak dari mereka tidak serius belajar di PAUD. Biaya untuk masuk PAUD swasta mencapai Rp 1 juta, sedangkan PAUD negeri Rp 300.000. Orangtua di sekitar tempat itu kebanyakan buruh serabutan dengan penghasilan tidak menentu. ”Saya alami betapa sulitnya orang miskin itu bisa sekolah,” ujar Nong.
Tahun 2018, Nong memutuskan mendirikan PAUD setelah berkonsultasi dengan petugas dari dinas pendidikan setempat. Dengan modal sendiri dan bantuan dari teman-teman serta warga setempat, dia mengadakan peralatan permainan anak serta perangkat kurikulum. Kegiatan PAUD gratis dilakukan di rumahnya pada pagi hari. Sore harinya, rumah itu tetap menjadi taman baca dan bimbingan belajar.
Dia merekrut tiga perempuan lulusan SMA yang ada di kampung untuk menjadi pengajar. Honor mereka dari kantong pribadi Nong. Jumlahnya tak banyak. Nong bukan pegawai negeri atau pengusaha. Besaran penghasilannya pun tak menentu. Ia kebanyakan mendapat uang dari honor mendampingi ibu-ibu setempat dalam pembuatan virgin coconut oil (VCO) atau minyak kelapa murni.
”Kalau saya lagi tidak ada uang, pengajar mengerti. Ada kabar gembira, tahun 2020 ini pemerintah kabupaten janji akan bayar gaji mereka Rp 1,5 juta per orang per tahun,” ujar Nong.
Dukungan dinas itu sekaligus membantah anggapan banyak orang yang sengaja menyebar isu bahwa PAUD tersebut ilegal. Nong meyakini isu itu berasal dari orang-orang yang tidak suka dengan pendidikan gratis.
Selain pendidikan, pembinaan, dan pengajaran, anak-anak di sekolah itu diajarkan untuk budidaya tanaman. Di halaman sekolah mereka tumbuh serai, kunyit, jahe, dan kelor. Setiap Jumat, semua siswa membersihkan tanaman. Setiap mereka bertanggung jawab terhadap tanaman yang mereka tanam. ”Kalau ada tamu yang datang, kamu suguhkan minuman jahe dari kebun anak-anak,” ujarnya.
Jika hasil panen banyak, pengajar akan menjualnya ke pasar terdekat. Hasil jualan digunakan untuk membeli makanan tambahan bagi anak-anak, seperti kacang hijau. Selebihnya dipakai untuk kebutuhan operasional PAUD. Nong ingin mengajarkan anak-anak itu untuk mencintai pertanian yang kini mulai ditinggalkan banyak generasi muda. Ia juga ingin menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada anak-anak.
Minyak kelapa murni
Bimbingan belajar, taman baca, dan PAUD gratis merupakan metamorfosis sosial yang dilakukan Nong selama belasan tahun terakhir terlibat dalam pemberdayaan masyarakat dan kegiatan sosial. Ia punya keahlian memproduksi VCO yang mengantar dirinya keliling ke hampir semua kabupaten/kota di NTT. Dia memberikan pelatihan kepada kelompok perempuan.
Khusus di Kabupaten Sikka, ia kini mendampingi 41 kelompok dengan setiap kelompok rata-rata 25 orang. Itu ia lakukan sejak empat tahun silam. Kelompok binaan tersebar di 17 kecamatan. Produksi mereka dipasarkan di Sikka, Ende, Kupang, Batam, Kalimantan, dan Papua. Secara ekonomi, VCO sangat membantu petani kelapa di tengah anjloknya harga kopra.
Sebanyak empat buah kelapa yang jika diolah menjadi kopra akan menghasilkan 1 kilogram kopra dengan harga Rp 4.000. Jika diolah menjadi minyak goreng, akan menghasilkan satu botol yang harganya Rp 8.000. Namun, jika diolah menjadi VCO, akan menghasilkan 220 mililiter dengan harga Rp 50.000. Dengan demikian, VCO lebih menguntungkan meski pengelolaannya butuh sedikit kerja ekstra. Bisnis VCO akan lebih menjanjikan bagi masyarakat setempat.
Nong memaknai masa sepanjang perjalanan hidupnya sebagai kesempatan untuk berbuat baik dengan keterbatasan. Ia bukan pegawai negeri, bukan pengusaha atau yang memiliki kekuasaan. Seperti apa lagi kegiatan sosial yang akan dia lakukan nanti, biar waktu yang akan menjawabnya. Ia akan terus bermetamorfosis.
Remigius Nong
Lahir : Maumere, 10 Juni 1978
Pendidikan terakhir: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang