Sejak ITF, WTA, dan ATP menghentikan penyelenggaraan turnamen tenis internasional sejak pekan pertama Maret akibat pandemi Covid-19, para petenis peringkat menengah mulai kehilangan pendapatan.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Bagi atlet profesional, terutama yang menekuni cabang olahraga individu, seperti tenis, tampil di arena kompetisi tak sekadar ajang unjuk kemampuan. Kerasnya persaingan juga menjadi sumber mata pencarian untuk kehidupan mereka. Maka, ketika banyak turnamen dibatalkan karena pandemi Covid-19, hilang pula sumber pendapatan mereka.
Virus yang telah menginfeksi lebih dari 600.000 orang di seluruh dunia itu menghentikan turnamen tenis sejak awal Maret. ATP, WTA, dan ITF menghentikan turnamen tenis internasional hingga 7 Juni. Namun, dengan meluasnya pandemi, bukan tak mungkin masa tanpa kejuaraan bertambah panjang.
Bagi petenis peringkat 10 besar dunia, atau konsisten menembus semifinal turnamen besar, serta memiliki dukungan sponsor kuat, situasi seperti ini tak terlalu berpengaruh pada kondisi finansial.
Hadiah yang didapat dari turnamen Grand Slam bisa menjadi gambaran perbedaan kemampuan finansial mereka. Dari ajang Australia Terbuka 2020, misalnya, juara nomor tunggal meraih sekitar Rp 40 miliar. Jumlah ini 45 kali lipat yang diterima petenis yang kalah pada babak pertama dan 206 kali lipat dari yang kalah pada babak awal kualifikasi!
”Selain dari hadiah turnamen, petenis kelas bawah, seperti kami, biasanya mendapat uang dari hasil melatih di klub-klub lokal. Namun, dalam situasi seperti ini, ketika tak boleh ada kegiatan apapun, kami kehilangan pemasukan,” ujar petenis putri peringkat ke-371 dunia, Sofia Shapatava.
”Saat ini saya dan teman-teman masih bisa memenuhi kebutuhan hidup. Namun, tanpa pemasukan berbulan-bulan, sedangkan berbagai tagihan terus datang, saya yakin saat turnamen dimulai lagi, banyak dari kami tak punya cukup uang untuk melakukan perjalanan,” tutur petenis asal Georgia itu.
Petenis putra peringkat ke-149 dunia, Yannick Maden, merasakan efek yang sama. Petenis Jerman yang dengan peringkatnya tersebut hanya masuk turnamen kategori ATP Challenger, hanya bisa mendapat uang jika bertanding.
”Situasi seperti ini membuat saya tak punya pemasukan dan tak ada kesempatan mendapatkannya. Yang paling membuat frustrasi adalah ketidakpastian hingga kapan ini terjadi,” kata Maden.
Petenis Perancis, Jeremy Chardy, juga mendapat kesulitan ekonomi dengan berhentinya turnamen. Apalagi, dia dan istrinya, Susan, baru mendapatkan anak pertama.
”Petenis seperti kami tak dapat uang jika tak bermain. Saya dan banyak petenis lainnya ingin membicarakan ini dengan ATP,” kata petenis peringkat ke-59 dunia tersebut dalam tennis.com.
Pengalaman itu membuat Shapatava berinisiatif membuat petisi agar ITF, ATP, dan WTA membantu finansial atlet selama turnamen berhenti. ”Yang saya tahu, harus ada yang bertanggung jawab atas kondisi ini. Kami ibarat pekerja yang tak dibayar. Saya tahu, saat ini ada masalah yang jauh lebih besar daripada tenis. Saya berharap semua dalam keadaan sehat. Namun, ketika ada satu masalah besar, bukan berarti tak ada masalah lainnya,” kata Shapatava tentang petisi yang diunggah dalam akun Twitter-nya.
Tetap latihan
Efek tak ada kompetisi juga dirasakan petenis putri Indonesia, Aldila Sutjiadi (24). Dia tak merasakan perbedaan besar dari sisi finansial karena turnamen yang diikuti masih kategori tur ITF, di bawah level turnamen WTA.
Akan tetapi, Dila, panggilannya, merasa kehilangan kesempatan untuk menambah jam terbang demi menggapai cita-citanya tampil di arena Grand Slam. ”Bingung, ya, karena atlet tenis itu harus banyak bertanding supaya banyak pengalaman. Makin banyak bertanding, makin bagus. Kalau semua ditunda, mau bagaimana lagi, saya cuma bisa latihan,” katanya.
Penghentian turnamen membuat Dila harus membatalkan sejumlah agenda. Pada pertengahan Maret, dia buru-buru mencari tiket pulang ke Jakarta pada hari yang sama dengan kedatangannya di Australia. Turnamen yang akan diikutinya dibatalkan.
”Tadinya mau bertanding di Australia selama dua pekan, lanjut ke Jepang dua pekan, lalu ke negara-negara Asia lainnya, tetapi semuanya batal,” katanya.
Akhirnya, petenis putri yang bersama Christopher Rungkat meraih medali emas ganda campuran Asian Games Jakarta Palembang 2018 itu hanya bisa berlatih. Selain latihan di lapangan tenis, petenis berusia 24 tahun itu menjaga kebugaran dengan latihan fisik tiga kali seminggu.
Seperti petenis di berbagai penjuru dunia, Dila hanya bisa menanti dan berharap turnamen kembali bergulir.