Komunitas Kelas Puisi dibentuk untuk siapa saja yang ingin belajar menulis puisi. Di Jakarta, mereka aktif bertemu sebulan sekali.
Oleh
Maria Susy Berindra
·4 menit baca
Akhir-akhir ini, puisi sedang mewabah di kalangan anak muda. Buku puisi selalu laris manis. Media sosial penuh dengan untaian kata-kata puitis. Komunitas puisi pun semakin banyak, menjamur di mana-mana. Segala hal bisa dijadikan puisi.
Pada suatu akhir pekan, Minggu (23/2/2020), sekelompok anak muda yang tergabung dalam komunitas Kelas Puisi berkumpul di Diskusi Kopi, Jakarta. Mereka yang datang karena senang membaca atau menulis puisi. Pertemuan bulanan ini menjadi ajang untuk berbagi ilmu. Salah satu cara belajar adalah dengan menulis puisi bersama-sama. Sore itu, mereka diminta untuk menulis puisi dengan tema “Aku”. Para anggota bebas menerjemahkan kata “aku” dalam perumpamaan apapun.
Setelah diberi waktu selama 20 menit untuk menulis puisi, mereka bergegas memilih tempat menyendiri untuk mencari inspirasi. Ada yang menyendiri di sudut ruangan, ada yang menulis di parkiran motor, atau di samping pos satpam. Selanjutnya, para anggota komunitas membacakan puisi yang sudah ditulis, sedangkan anggota lainnya bisa memberi tanggapan.
Salah satu puisi yang dibacakan dari salah satu peserta yang berjudul ”Kebun” mengundang banyak pertanyaan. Glind (21), sang penulis puisi, mahasiswa Jurusan Fisika, Universitas Indraprasta, Jakarta, mengibaratkan tubuhnya terdiri atas banyak hal, sadar atau tidak sadar tubuh terus akan tumbuh, dan jika sampai pada masanya akan mati.
Tidak mudah rupanya untuk menulis sebuah puisi. Untuk itulah, dalam pembuatan puisi pun melalui proses pembelajaran yang harus dilalui. Seperti mengenal puisi itu apa, mempelajari jenis-jenis puisi, dan belajar bagaimana cara melampirkan kata demi kata.
Untuk itulah, Irawati Ningsih yang berprofesi sebagai guru mendirikan Kelas Puisi supaya orang-orang yang mempunyai minat yang sama bisa saling belajar. Dia mengajak orang-orang untuk mengenal puisi lebih dekat.
“Awalnya, November 2015 akhir di bulan November, mucul dari keresahan saya tentang banyaknya puisi bertebaran di internet. Saya pengen orang-orang yang ingin konsentrasi ke puisi, mau sama-sama berkarya, sama-sama kasi kritik, dan kasi saran. Karena kalau kita belajar sendiri, kita juga gatau kurangnya dimana,” kata Ira saat ditemui di acara temu anggota bulanan Kelas Puisi di Dikusi Kopi, Jalan Halimun, Jakarta Selatan, Minggu (23/2/20).
Sampat saat ini ada 65 orang anggota yang tergabung dalam komunitas Kelas Puisi. Mereka adalah mahasiswa dan karyawan. Pengurus komunitas membatasi anggota dari anak-anak sekolah, karena rata-rata kegiatan komunitas sering dilakukan malam hari. “Jadi biasanya tiap malam kita itu mengadakan diskusi puisi lewat grup WhatsApp (WA), lalu kita juga ada temu langsung anggota satu bulan sekali,” ungkap Ira.
Walaupun namanya Kelas Puisi, namun dalam kegiatannya tidak ada yang bertindak sebagai yunior ataupun senior. Karena masing-masing anggota biasanya memiliki tugas masing-masing dan saling memberikan saran ataupun kritik, biasanya saat adanya persentasi penulisan puisi.
Untuk saat ini Kelas Puisi hanya terbuka untuk wilayah Jabodetabek saja, karena domisili pengurus komunitas rata-rata berada wilayah Jabodetabek. Seringkali mendapat permintaan untuk bergabung dari luar wilayah Jabodetabek, komunitas belum mampu untuk memperluas cabang ke kota-kota lain karena sampai saat ini masih terfokus pada wilayah Jabodetabek.
Diskusi puisi
Untuk berdiskusi, pengurus menunjuk salah seorang anggota untuk dijadikan pemantik sebuah materi. Misalnya materi tentang sintaksis, imaji, metafor dan gaya-gaya menulis puisi lainnya. Sedangkan anggota yang lainnya diberikan kesempatan untuk bertanya dan menanggapi.
Melalui grup WA, setiap malam biasanya diadakan persentasi puisi yang sudah dibuat oleh masing-masing anggota, karena tahun ini rencananya Kelas Puisi akan menerbitkan buku antologi puisi. Untuk pertemuan rutin setiap bulannya, biasanya diadakan kegiatan menulis puisi dan diskusi perkembangan materi.
“Kita rencanakan untuk menerbitkan buku antologi puisi yang kedua. Bahkan, buku antologi yang sebelumnya yang itu memakan proses lebih dari setahun karena proses pengendapannya lama,” kata Ira.
Noe, Ketua Kelas Puisi 2020 menceritakan, setelah kurang lebih setahun bergabung komunitas, banyak pengalaman yang didapatkannya. Awalnya, Noe diajak salah seorang temannya untuk ikut karena ingin membuat buku kumpulan puisi, tetapi kemudian dia mendapat banyak pelajaran menulis puisi.
Sebagai seorang pengurus, Noe harus menyesuaikan cara berpikir antaranggota. Setiap anggota memiliki latar belakang dan kepentingan yang berbeda-beda. “Karena tahun ini target kita adalah bikin antologi puisi, menyesuaikan visi dan misi mungkin bisa jadi tantangan bersama. Tapi lebih dari itu, kita sama-sama mau menghidupkan puisi karena puisi itu sendiri hidup,” ungkap Noe.
Cerita berbeda datang dari Nugrah yang juga salah satu pengurus Kelas Puisi. Menurutnya, rasa kekeluargaan dari masing-masing anggota menjadi faktor utama yang membuatnya tetap konsisten mengikuti kegiatan komunitas.
Bagi Nugrah, komunitas memberi banyak pelajaran. Kadang-kadang, dia sering bingung dengan banyaknya materi diskusi antaranggota komunitas. Namun, keseruan yang terjadi di setiap kegiatan, membuat Nugrah betah berlama-lama berkumpul bersama sesama penulis puisi.
Sayangnya, sifat komunitas yang sukarela dan tidak ada paksaan membuat sebagian anggota tidak konsisten. Misalnya, ada yang sudah terpilih sebagai panitia acara tetapi tidak datang karena berbagai alasan. Dengan latar belakang dan kesibukan yang berbeda-beda dari masing-masing anggota, Kelas Puisi memiliki warna tersendiri sebagai sebuah komunitas puisi. (*)