Melewati Riam Sungai Mahakam dan Melihat Perubahan Suku Dayak
Perjalanan wartawan ”Kompas” ke pedalaman Kalimantan Timur mendapati sebagian kebiasaan suku Dayak mulai memudar.
Sucipto, wartawan Kompas yang bertugas di Kalimantan Timur, menyusuri Sungai Mahakam dan melihat secara langsung kehidupan masyarakat Dayak di pedalaman. Banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Dayak yang disaksikannya dan dituangkan dalam tulisan ini.
Riam-riam sungai tetap mengejutkan dan kerap merenggut nyawa. Di tengah hutan rimba Kalimantan Timur dan derasnya Sungai Mahakam itu, ada yang perlahan hanyut dalam arus pasar bebas pariwisata. Meskipun di sisi lain ada pula yang menguat di tengah pembentukan identitas suku Dayak.
Medio Desember 2019 adalah kali kedua saya mengunjungi Desa Long Tuyoq dan Desa Liu Mulang, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Letaknya di pehuluan Sungai Mahakam, nyaris di perbatasan Indonesia dan Malaysia.
Dari pusat pemerintahan Mahakam Ulu di Desa Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun, dua desa itu bisa ditempuh selama 3-4 jam menggunakan perahu cepat atau perahu kayu bermesin dengan kekuatan 200 kali tenaga kuda. Sungai Mahakam di hulu ini cukup mengejutkan. Pemandangan bukit-bukit batu dengan tinggi ratusan meter menjadi instalasi alam yang mudah dijumpai. Pohon-pohon yang tak beraturan tumbuh rapat di sekitarnya.
Ada jalur darat untuk menuju ke sana, tetapi hanya berupa jalan tanah yang dibuka perusahaan kayu. Itu pun hanya bisa ditempuh oleh mobil bergardan ganda dan tidak ada angkutan umum melalui jalur darat. Menurut cerita orang-orang yang saya temui, jalannya tak mulus. Banyak bebatuan dan kerap membuat mual penumpang karena mobil berguncang nyaris di seluruh perjalanan.
Saya, tiga wartawan lain, dan tim WWF Indonesia menumpangi perahu kayu menuju Desa Long Tuyoq dan Liu Mulang. Tidak lama berselang, perahu yang kami tumpangi melewati riam atau jeram. Terdapat dua riam yang kerap memakan korban, yakni riam udang dan riam panjang. Saat air sungai tinggi, riam udang ”mengamuk” karena di lokasi itu terdapat puluhan batu besar dengan tinggi mencapai 5 meter.
Saat kondisi air surut, justru riam panjang yang mematikan karena bebatuan di titik itu banyak dan lebih kecil dibandingkan di titik riam udang. Dengan demikian, tak ada waktu aman untuk melewati dua riam itu. Semua motoris perahu harus selalu waspada.
Jika kondisi tak memungkinkan, seperti banyak batang kayu yang hanyut dan air tinggi, penumpang harus turun dari perahu. Tujuannya, agar perahu lebih mudah dikendalikan motoris. Para penumpang berjalan kaki menerabas hutan sekitar 1 kilometer, sementara perahu dibawa motoris melewati riam.
Saat itu, riam panjang yang mengamuk. Arus tak beraturan memanjang sekitar 500 meter harus dilewati perahu. Kami tak perlu turun. Motoris perahu menilai kondisi air masih aman dilewati. Meski demikian, para penumpang siap dengan genggaman tangan erat ke tepi perahu.
Seorang ibu yang sering wara-wari melalui riam itu menegur seorang wartawan yang duduk tenang di ujung perahu sambil mengambil gambar dengan action cam.
”Pegangan! Nanti jatuh. Riamnya seram ini!” katanya setengah berteriak. Wartawan itu kemudian merapatkan tubuh ke tepi perahu dan berpegangan erat.
Benar saja, beberapa saat kemudian perahu terhuyung ke kanan. Tidak sampai hitungan detik terhuyung ke kiri. Cipratan air yang membentur tepi perahu mengguyur beberapa penumpang yang duduk di bagian tengah. Teriakan para penumpang berkelindan dengan suara air. Setelah riam terlewati, para penumpang mengusap wajah membersihkan cipratan air. Beberapa mengibas-ngibaskan pakaian karena kuyup.
”Kabar perahu karam sering di sini. Korban nyawa juga sudah sering,” kata ibu itu kemudian.
Yang hilang
Sesampainya di Desa Long Tuyoq yang bersebelahan dengan Desa Liu Mulang, cuaca cerah. Beberapa lelaki mengenakan lavung (penutup kepala dari rajutan rotan) lalu lalang menaiki perahu ketinting. Mereka baru pulang mencari ikan.
Selain berada di tepi Sungai Mahakam, desa itu dikelilingi hutan. Beberapa kilometer dari sana ada lahan yang menjadi konsesi perusahaan kayu. Selain menjadi nelayan, warga di sana rata-rata berkebun dan beternak.
Anak-anak dan ibu-ibu duduk di pendopo di dekat perahu. Mereka menyalami para tetamu. Mereka sama saja dengan penduduk di perdesaan pada umumnya: mengenakan kaus, kemeja, celana denim, daster, atau piyama. Tak seperti yang dipikirkan beberapa kawan saya: orang Dayak masih hidup primitif, mengenakan baju dari bahan-bahan alam seadanya.
Televisi sudah masuk ke desa ini. Listrik didapat dari generator kampung. Rumah-rumah sebagian besar terbuat dari kayu dengan tiang penyangga sekitar dua meter. Saat berjalan menyusuri desa itu, terlihat beberapa nenek duduk di depan rumah. Daun telinganya panjang sebahu. Beberapa dari mereka memiliki rajah di jari dan pergelangan kaki.
Kepala Desa Long Tuyoq Alexander Ajang Blawing mengatakan, hanya generasi perempuan tua yang masih memiliki penanda kedayakan rajah dan kuping panjang. Rata-rata usianya di atas 60 tahun. Jumlahnya sekitar delapan orang yang masih memelihara kuping panjang dan rajah di Long Tuyoq dan Liu Mulang.
Lun Juk (100) salah satunya. Tubuhnya kurus. Ia kerap menghabiskan waktu dengan duduk di depan rumah panggung kayu miliknya yang merupakan bantuan pemerintah. Lun sulit berdiri. Sebagian besar kegiatannya dilakukan dalam posisi duduk. Untuk berpindah tempat, ia menggunakan tangannya guna menopang tubuh.
Ia mengenakan ikat kepala kain merah muda, serasi dengan kaus yang ia kenakan. Kemampuan Lun mendengar sudah berkurang. Ia juga tak lancar berbahasa Indonesia. Saat ditemui, ia sedang menginang. Bibir dan giginya terlihat kemerahan.
Kuping Lun memanjang hingga di bawah pundak. Terdapat empat anting tembaga menggantung di kedua daun telinga panjangnya. Dengan bantuan alih bahasa dari tetangganya, Lun menjawab patah-patah pertanyaan beberapa pengunjung yang bertanya.
”Sejak kecil, jumlah anting ditambah oleh ibu saya sampai panjang seperti ini. Kalau tato pertama dibuat di jari dan pergelangan tangan, sekitar umur 9 tahun,” katanya.
Rajah juga terdapat di pergelangan kaki. Ketika beberapa orang memotret Lun, ia mengusap-usap telapak tangannya. Beberapa orang kemudian memberi beberapa lembar uang Rp 10.000.
Lun tinggal bersama anak dan cucunya. Anaknya tak merajah tubuh dan tak memanjangkan kuping. ”Ketika pelajaran olahraga di sekolah, takut anak saya jadi perhatian karena memegang kuping ketika lari. Jadi tidak saya teruskan (tradisi ini) ke anak saya,” katanya terbata-bata.
Lun adalah bagian dari suku Dayak Long Gliit. Kepala Suku Dayak Long Gliit Blawing Belareq mengatakan, tradisi kuping panjang dan tato di tangan adalah simbol kecantikan bagi perempuan Dayak. Ada pula yang melambangkan kasta. Semakin banyak anting-anting yang menggantung, pertanda perempuan itu keturunan bangsawan.
Kebanggaan terhadap identitas perempuan Dayak itu pernah membuat malu beberapa perempuan suku Dayak. Berdasarkan penelitian Yekti Maunita di Kalimantan Timur, dalam buku Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, beberapa perempuan yang ia temui memotong daun telinganya yang sudah memanjang.
Mamak Ngah, perempuan Dayak yang diwawancara Yekti, mengaku malu saat berkunjung ke Samarinda, pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur. Saat pergi ke pasar, banyak orang mengerumuninya karena berkuping panjang dan bertato. Ada juga yang memegang kuping panjang Mamak Ngah. Ia malu. Setelah kejadian itu, Mamak Ngah memutuskan memotong kuping panjangnya.
Mungkin beberapa contoh itu yang membuat kuping panjang dan rajah tak lagi diteruskan perempuan Dayak kepada anak-anak mereka. Meski demikian, pandangan itu perlahan berubah seiring berkembangnya pariwisata budaya di Kalimantan Timur.
Setidaknya gelombang pariwisata mulai masif di era 1990-an di Kalimantan Timur. Wisatawan dan peneliti banyak yang sudah berkunjung ke kampung-kampung Dayak. Para wisatawan banyak yang memotret dan meminta berfoto bersama dengan wanita berkuping panjang.
Lun sendiri merasa bangga karena identitas kedayakannya disukai orang dengan memotret atau berfoto bersama dengannya. Apa lagi beberapa pengunjung kerap memberinya uang setelah memotret.
Selain itu, kerajinan suku Dayak, seperti anyaman tikar, caping, manik-manik, dan lavung, juga menjadi kebanggaan. Atribut itu digunakan dalam kegiatan sehari-hari, menyambut tamu, berkebun, dan kegiatan-kegiatan pemerintahan. Kerajinan itu juga dijual sebagai cendera mata. Arus pariwisata membuat mereka bangga dengan simbol-simbol Dayak yang mereka kenakan.
Meski demikian, standar kecantikan perempuan Dayak dengan kuping panjang dan rajah tak menguat seperti kerajinan-kerajinan itu. Dalam banyak promosi wisata di Kalimantan Timur, perempuan Dayak berkuping panjang banyak ditemui di baliho, brosur, atau media sosial.
Namun, dalam kenyataannya, standar kecantikan yang mereka bangun bertahun-tahun itu seolah melemah dan kalah dengan definisi kecantikan baru. Generasi yang lebih muda dari Lun memiliki definisi cantik yang berbeda sehingga tak lagi meneruskannya.
Saat mengunjungi Long Tuyoq dan Liu Mulang pertama kali, saya melihat perubahan itu biasa-biasa saja. Namun, pada kunjungan kedua ini, ada yang mengganjal. Apakah perempuan Dayak mengalami kekalahan budaya? Sedangkan desa-desa tempat tinggal mereka dipromosikan sebagai desa wisata budaya oleh pemerintah dengan salah satu ikon kuping panjang dan rajah.
Sampai meninggalkan Mahakam Ulu, ada pertanyaan di kepala saya yang belum terjawab: apakah perubahan itu mereka sendiri yang menginginkan atau ada hal lain yang mendorong mereka secara tak sadar, misalnya melalui kunjungan wisatawan, siaran televisi, program pemerintah, dan hal lainnya? Adakah nilai-nilai khas yang sirna seiring hilangnya tradisi kuping panjang dan rajah itu?