Perekam Tonggak Sejarah Bangsa Itu Berpulang dengan Bangga
›
Perekam Tonggak Sejarah Bangsa...
Iklan
Perekam Tonggak Sejarah Bangsa Itu Berpulang dengan Bangga
Fotografer legendaris Indonesia, Paul Tedjasurja, tutup usia, Jumat (27/3/2020). Ia berpulang ke pangkuan Sang Pencipta dengan meninggalkan karya-karya membanggakan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Fotografer legendaris Indonesia, Paul Tedjasurja, tutup usia, Jumat (27/3/2020). Ia berpulang ke pangkuan Sang Pencipta meninggalkan karya-karya membanggakan. Foto-foto karyanya merekam peristiwa bersejarah. Salah satu yang ternama adalah kebesaran Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955.
Paul mengembuskan napas terakhir di rumahnya di Kompleks Kopo Permai, Bandung, Jawa Barat, sekitar pukul 15.45. Ia meninggal dengan tenang saat sedang tidur siang. ”Bapak memang terbiasa tidur siang. Ketika dibangunkan suster, kondisinya tidak bergerak. Tensinya juga rendah,” ujar anaknya, Ongkie Tedjasurja, Minggu (29/3/2020).
Keluarga kemudian membawa Paul ke Rumah Sakit Santosa, Bandung, untuk memastikan kondisinya. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan, Paul telah tiada. Dia pergi untuk selamanya bersama sejuta kenangan.
Paul mengalami stroke tujuh tahun lalu. Namun, menurut Ongkie, kondisi kesehatan ayahnya relatif baik sehingga tidak menjalani perawatan di rumah sakit sebelum meninggal. ”Bulan lalu masih cek kesehatan dan hasilnya bagus. Jadi, Bapak tidak ada keluhan sakit akhir-akhir ini,” ujarnya.
Paul meninggalkan 3 anak, 6 cucu, dan 3 buyut. Istrinya, Herawatie Nurja, lebih dahulu berpulang pada Mei tahun lalu.
Ongkie mengatakan, sebagai ayah, Paul selalu menanamkan kedisiplinan kepada anak-anaknya. ”Kami pun melihat langsung nilai kedisiplinan itu dari aktivitasnya sehari-hari. Salah satunya mengirim foto sebelum deadline,” ujarnya.
Semasa hidupnya, Paul telah mengabadikan sejumlah momen penting. Dua di antaranya adalah Pekan Olahraga Nasional II di Jakarta pada 1951 dan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955.
Paul lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 19 Agustus 1930. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, ia masih duduk di bangku sekolah MULO (sekolah Belanda setingkat SMP) di daerah Praban, yang kini terletak di sekitar SMP 3 Surabaya.
Setelah lulus sekolah menengah pada 1949, ia pun hijrah dari Surabaya ke Bandung atas ajakan seorang pamannya. Ayahnya yang bekas tahanan Kempetai meninggal setelah menderita sakit-sakitan selama lebih kurang lima tahun. Di Bandung, ia mulai jatuh cinta pada dunia fotografi dan belajar memotret sejak berumur 21 tahun.
Ia kemudian menjalani kehidupannya sebagai pewarta lepas di sebuah majalah yang bernama Gembira serta menjadi pewarta lepas di sebuah agensi yang bernama Preanger Foto. Agensi itu memasok karya foto ke perusahaan Jawatan Penerangan Jawa Barat. Calon mertuanya yang bernama Njoo Swie Goan bekerja di sana.
Semasa hidupnya, Paul mengabadikan sejumlah momen penting. Pekan Olahraga Nasional II di Jakarta pada 1951 dan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955 adalah beberapa di antaranya.
KAA bukan hanya peristiwa penting bagi Indonesia, melainkan juga bagi dunia. Konferensi yang diikuti perwakilan dari 29 negara itu menjadi tonggak sejarah bagi negara-negara di Asia dan Afrika karena menjalin kekuatan baru di luar dominasi saat itu, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Saat itu, bersama Perhimpunan Amatir Foto (PAF), Paul yang sempat mengabdi di harian Pikiran Rakyat menjadi saksi kebesaran bangsa ini. Paul dan lima rekannya, Ganda Kodyat, Lano Utomo, Tjia Ban Hok, Wahab Masli, dan Kwee Hap Goan, jadi tim fotografer lokal.
”Karya mereka terus dikenang hingga saat ini,” kata Ketua Divisi Hubungan Luar Negeri PAF Sandy Wijaya (Kompas, 8 Januari 2018).
Dalam buku Bandung 1955: Moments of Asian African Conference, Paul berbagi rasa. Di Gedung Pabrik Kursi Rotan, seberang Gedung Merdeka, rakyat biasa menunggu para pemimpin Asia dan Afrika. Menaiki gerbang hingga sisi luar gedung dilakukan untuk melihat langsung muka tamu-tamu penting.
”Saat itu, pesta rakyat sangat terasa. Masyarakat menikmati langsung kemeriahan KAA,” ujarnya.
Ongkie bangga karena ayahnya menjadi saksi sekaligus mengabadikan peristiwa bersejarah itu. ”Foto-foto karyanya masih tersimpan di Museum Konferensi Asia Afrika,” ucapnya.
Dalam beberapa kesempatan, Ongkie pernah diajak ayahnya memotret sejumlah acara. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika memotret pernikahan Taufan Soekarnoputra dengan Iryani Levana Danubrata di Bandung pada 1981.
Taufan merupakan anak pasangan Presiden pertama Indonesia Soekarno dengan Hartini. ”Waktu itu banyak keluarga Bung Karno yang datang. Tentu saya senang sekaligus bangga,” ujarnya.
Menjelang usianya yang ke-90 tahun, Paul berpulang. Raganya tiada, tetapi karyanya abadi untuk mengingatkan perihal peristiwa bersejarah kepada generasi selanjutnya. Lewat jepretan kameranya, Paul memperlihatkan, bangsa ini pernah begitu disegani dan semoga kini tengah menapaki langkah serupa.