Banjir Pantura Jawa Barat, Luapan Sungai yang Penuh Sampah
›
Banjir Pantura Jawa Barat,...
Iklan
Banjir Pantura Jawa Barat, Luapan Sungai yang Penuh Sampah
Banjir yang terjadi di wilayah Karawang dan Subang, Jawa Barat, disebabkan luapan beberapa sungai. Banyaknya sampah dan sedimentasi menjadi dua faktor pemicu sungai-sungai itu meluap.
Oleh
MELATI MEWANGI
·5 menit baca
Sampai akhir Februari 2020, ada 29 dari 30 kecamatan terendam banjir akibat meluapnya Sungai Cilamaya, Cidawolong, Citarum, Ciherang, dan Sungai Cikaranggelam. Ketinggian air berkisar 10-180 sentimeter. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Karawang, banjir mengakibatkan 14.925 orang mengungsi dan 22.364 rumah terendam banjir. Kerugian akibat banjir mencapai Rp 2,739 miliar untuk sarana pendidikan serta Rp 1,185 miliar untuk kerusakan rumah dan sarana ibadah.
Salah satu daerah langganan banjir di Karawang adalah Desa Karangligar. Lebih dari lima kali desa ini dilanda banjir sejak awal 2020. Banjir berasal dari limpasan air saluran irigasi yang terhubung dengan Sungai Cibeet. Di dalam saluran tersebut tampak beberapa sampah, ranting pohon kering, dan plastik tersangkut di tepi pembatas sungai. Saat surut, sedimentasi tanah dan sampah tampak mendominasi.
Sekretaris Daerah Kabupaten Karawang Acep Jamhuri mengatakan, Karangligar memiliki kontur tanah lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain di Karawang. Hal ini yang menyebabkan banjir tahunan selalu menerjang. Kondisi ini diperparah dengan sampah dan sedimentasi pada sungai yang terhubung dengan Sungai Cibeet.
Ada 611 rumah yang ditinggali 2.172 orang terdampak banjir pada akhir Februari ini. Rencana untuk merelokasi permukiman warga sudah ditawarkan kepada masyarakat terdampak sejak 2019. ”Namun, mereka menolak dan memilih bertahan. Kami mencari solusi lain, yakni mengusulkan pembangunan bendung di atas Sungai Cibeet untuk mengontrol air,” ucap Acep.
Penyebab yang sama memicu luapan Sungai Cikaranggelam dan menerjang Perumahan Bumi Mutiara Indah, Kecamatan Cikampek, Karawang. Sungai ini terhubung dengan Situ Kamojing. Acep menyebutkan, lagi-lagi sampah di sungai tersebut memperparah banjir. Normalisasi sungai tersebut akan dilakukan secara bertahap.
Sementara itu, penyebab banjir di Karawang bagian timur akibat luapan Sungai Cilamaya. Sungai ini mendapat limpasan dari Bendung Barugbug yang berada di perbatasan Purwakarta dan Karawang. Acep menilai, bendung ini tidak mampu menahan debit air saat hujan deras sehingga pintu air terpaksa dialirkan ke Sungai Cilamaya. ”Wilayah ini berada di daerah hilir sungai, maka paling banyak mendapat limpasan air dan sampah,” ucapnya.
Rencana normalisasi sungai dilakukan secara bertahap, antara lain Sungai Cilamaya, Citarum, Cibeet, dan Sungai Cikaranggelam. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Karawang telah membersihkan saluran yang tersumbat di Kecamatan Rengasdengklok menggunakan alat berat.
Sementara itu, solusi jangka panjang yang disiapkan adalah membangun tiga bendung. Tahun 2019, ia mengajukan kajian penanganan banjir di Kecamatan Telukjambe Barat. Proyek ini dalam tahap perencanaan detail engineering design (DED), ditargetkan selesai pada akhir 2021.
Acep menambahkan, pihaknya tengah mengajukan pembangunan bendung untuk dua lokasi, yakni di atas Situ Kamojing dan Bendung Barugbug. ”Kedua lokasi ini masih dalam pembahasan. Semoga segera terealisasi dan benar-benar dapat menjadi solusi,” ucapnya.
Banjir di Subang
Ada 12 kecamatan yang terdampak banjir di Kabupaten Subang, yakni Sukasari, Pamanukan, Legon Kulon, Tambakdahan, Binong, Pagaden, Purwadadi, Pusakanagara, Pusakajaya, Compreng, Ciasem, dan Blanakan. Warga yang mengungsi 3.131 keluarga atau 8.582 orang, sementara 14.000 rumah terendam.
Dalam kunjungannya ke Subang, beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, mayoritas penyebab banjir di wilayah pantura barat adalah kondisi sungai yang tidak mampu menampung air karena pendangkalan dan sampah. Selain itu, kondisi cuaca ekstrem yang melanda beberapa wilayah di Jabar juga menjadi salah satu pemicunya.
Sungai di wilayah pantura merupakan bagian hilir dari sungai besar yang melintas di Jawa Barat, yakni Sungai Cipunagara, Sungai Cilamaya, Sungai Citarum, dan Sungai Cibeet. ”Normalisasi akan dilakukan segera. Tidak hanya di sungai ini (Cipunagara), tetapi juga beberapa sungai lain di wilayah Jawa Barat,” ucap Kamil.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Subang Hidayat menambahkan, normalisasi Sungai Cipunagara terakhir kali dilakukan pada 2014. Hal itu disebabkan keterbatasan wewenang dan pembiayaan. Selain normalisasi, pihaknya juga mengusulkan pembuatan tanggul yang lebih tinggi agar limpasan tidak keluar ke rumah warga.
Upaya untuk mengatasi banjir di pantura Jabar adalah dengan normalisasi sungai dan pembangunan sejumlah bendung. Normalisasi adalah upaya untuk mengembalikan keadaan sungai agar air tetap mengalir di tempatnya. Sementara bendung untuk menahan air di sungai.
Di Karawang akan dibangun bendung di atas Sungai Cibeet sebagai kontrol air. Sementara penanganan banjir di Subang adalah membangun Bendungan Sadawarna yang mampu mengendalikan debit air yang mengalir ke 12 kecamatan di wilayah Subang Utara.
Alih fungsi lahan
Karawang sebagai kota industri dan lumbung padi nasional harus membagi lahannya untuk kebutuhan industri, tempat tinggal, dan pertanian. Jumlah luas areal lahan sawah selama lima tahun terakhir di Karawang terus menurun. Pada 2014 dan 2015, tercatat 97.577 hektar. Pada 2016, luas areal berkurang menjadi 96.482 hektar dan menurun lagi pada 2017 menjadi 95.906 hektar. Namun, pada 2018 berkurang menjadi 95.287 hektar.
Artinya, selama lima tahun ini ada penurunan jumlah lahan sekitar 2.290 hektar. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karawang Hanafi Chaniago, sebetulnya lahan pertanian yang berada di Karawang masih cukup luas. Namun, ada beberapa lahan sawah yang berubah menjadi perumahan. Sebagian lagi akibat adanya proyek pembangunan jalan baru, tapi tidak bekas sawah yang menjadi kawasan industri.
”Pengalihan lahan ini masih sesuai dengan tata ruang,” ujar Hanafi Chaniago.
Upaya untuk mempertahankan lahan supaya tidak menurun tertuang dalam Peraturan Daerah Karawang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dari peraturan tersebut ditetapkan luas 87.253 hektar lahan pertanian pangan berkelanjutan dan 1.914 hektar lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan.
Hanafi menambahkan, para petani boleh menjual lahannya kepada orang lain asalkan lahan tersebut tetap digunakan sebagai sawah. Tahun 2020, Dinas Pertanian Kabupaten Karawang mengalokasikan anggaran Rp 720 juta untuk program asuransi usaha tani padi guna mengasuransikan 20.000 hektar lahan sawah.