Bencana Berulang, Dua Bulan Banjir Menggenangi Sidoarjo
›
Bencana Berulang, Dua Bulan...
Iklan
Bencana Berulang, Dua Bulan Banjir Menggenangi Sidoarjo
Penyebab banjir di Tanggulangin masih diteliti oleh tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Indikasi sementara, ada penurunan muka tanah, tata kelola air, dan karakteristik permukiman yang dinamis.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
Banjir yang menggenangi hingga berbulan-bulan kerap terjadi di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Masifnya pembangunan yang tidak diikuti peningkatan daya dukung lingkungan menjadi pemicu bencana di kabupaten yang berada di pesisir pantai utara Jawa ini.
Lebih dari dua bulan ini Desa Banjarasri dan Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, tergenang banjir. Beragam daya dikerahkan untuk mengatasinya, mulai dari mengoperasikan 16 unit mesin pompa untuk menyedot genangan, normalisasi sungai yang melintas di sekitar lokasi bencana, hingga membangun kolam penampungan untuk mengalihkan air saat hujan.
Namun, alih-alih mengering, genangan hanya surut sesaat, dan kembali meninggi saat hujan mengguyur lagi. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidoarjo mendata, jumlah warga terdampak banjir di dua desa itu mencapai 2.500 jiwa atau sekitar 600 keluarga yang tersebar di 12 rukun tetangga (RT).
Akibat tergenang banjir, lebih dari 700 warga mengeluh sakit demam, batuk, pilek, dan gatal-gatal. Warga yang punya anak kecil, bayi, dan orang lanjut usia bahkan harus mengungsi mandiri ke rumah sanak saudara terdekat karena lingkungan tempat tinggal mereka sudah tidak sehat.
Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Banjarasri Masruchan mengatakan, banjir yang menggenang selama lebih dari dua bulan juga melumpuhkan nadi ekonomi. Ratusan hektar (ha) sawah warga terendam banjir sehingga tidak bisa ditanami. Banjir juga merusak tambak sehingga petani merugi jutaan rupiah.
”Masyarakat yang punya usaha juga tak bisa bekerja. Warung kopi, warung makan, bengkel motor, bengkel mesin bubut, usaha cucian motor, semua tutup karena banjir,” ujar Masruchan.
Kerap terjadi
Genangan banjir dalam durasi lama sejatinya bukan kali pertama terjadi di kabupaten yang berada di delta Sungai Brantas ini. Hingga 2018, setiap tahun, lima desa di Kecamatan Jabon tergenang banjir hingga empat bulan. Desa itu adalah Kupang, Semambung, Kedungpandang, Kedungrejo, dan Tambak Kalisogo.
Banjir tahunan juga terjadi di Jalan Raya Porong, Desa Candi Pari, dan Desa Pesawahan di Kecamatan Porong. Jalan raya pernah terendam hingga dua pekan. Di Kecamatan Sidoarjo, daerah langganan banjir adalah Kelurahan Sidokare dan RSUD Sidoarjo.
Karakter banjir di daerah yang diapit oleh dua sungai besar, yakni Porong dan Surabaya/Kalimas, ini memang unik. Selain banjir yang biasanya terjadi dalam hitungan jam setelah itu surut bahkan kering, di Sidoarjo ada genangan. Genangan adalah sebutan untuk banjir yang tak kunjung surut sehingga air menggenang selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan seperti yang terjadi di Banjarasri dan Kedungbendo.
Berdasarkan data sebaran bencana BPBD Sidoarjo, setidaknya ada sembilan kecamatan dari total 18 kecamatan yang rawan banjir. Sebarannya di Kecamatan Taman, Waru, Sedati, Gedangan, Buduran, Sidoarjo, Candi, Porong, dan Jabon. Sembilan kecamatan ini tidak hanya rawan banjir, tetapi juga rawan genangan karena berada di kawasan pesisir.
Selain itu, Sidoarjo yang dilintasi 18 sungai ini diapit oleh dua sungai besar, yakni Sungai Porong dan Sungai Surabaya/Kalimas. Sidoarjo menjadi hilir sungai sekaligus muara Laut Jawa. Letak geografis inilah yang menyebabkan ada tiga ancaman banjir di kota delta.
Pertama adalah ancaman banjir kiriman dari daerah hulu sungai. Banjir ini bisa terjadi meski Sidoarjo tidak hujan. Ancaman kedua, banjir lokal yang terjadi karena hujan lokal, dan terakhir adalah banjir rob yang terjadi karena pasang air laut. Di musim hujan seperti ini, ketiga ancaman banjir itu kerap datang bersamaan.
Banjir di Jabon disebabkan tidak berfungsinya sungai sehingga air mengalir ke permukiman. Banjir dapat diatasi setelah Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS) menormalisasi Sungai Kedunglarangan yang berada di perbatasan Sidoarjo dengan Pasuruan, dan menghidupkan lagi Kali Mati sebagai bendungan penampung air. Dulu, Kali Mati ini dipenuhi bangunan liar.
Hingga saat ini, penyebab banjir di Tanggulangin (Banjarasri dan Kedungbanteng) masih diteliti oleh tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) karena persoalannya jauh lebih kompleks. Indikasi sementara, terjadinya penurunan tanah, perubahan tata aliran air di sungai ataupun saluran lainnya, dan karakteristik permukiman penduduk yang sangat dinamis.
Sebagai kota satelitnya Surabaya dan penopang perekonomian di Jatim. permintaan lahan untuk kawasan permukiman, industri, dan kawasan perdagangan sangat tinggi. Saat ini Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tengah mengajukan perubahan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo 2009-2029.
Kepala Bapeda Sidoarjo Heri Soesanto mengataka,n salah satu poin perubahan adalah pengurangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebesar 7.000 ha, yakni dari sebelumnya 12.205 ha menjadi tinggal 5.000 ha.
Perubahan perda dilakukan karena dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Salah satunya, pesatnya perkembangan pembangunan di Sidoarjo yang menuntut penyediaan lahan lebih banyak. Ada rencana pengembangan terminal penumpang Bandara Juanda, pengembangan jalan tol di Kecamatan Krian, pergeseran jalan arteri baru di Kecamatan Porong, dan pengembangan prasarana kereta api di Kecamatan Tulangan. Ditambah lagi permintaan dari pengembang perumahan.
Sekretaris Daerah Sidoarjo Achmad Zaini mengatakan, laju investasi di Sidoarjo tinggi. Hal itu linier dengan permintaan lahan. Khusus kawasan industri, pihaknya menyiapkan di wilayah Siborian (Sidoarjo, Jabon, dan Krian). Di Kecamatan Jabon sedang dibangun kawasan industri seluas 1.000 ha di atas lahan yang dulunya merupakan tambak dan sawah.
Dari sisi lingkungan, pengurangan lahan pertanian ini akan mengurangi kawasan peresap air. Hal itu berpotensi memperparah banjir di Sidoarjo. Saat ini, pembangunan perumahan sangat masif dengan dalih permintaan tinggi. Pembangunan perumahan ini tidak hanya dilakukan oleh pengembang.
Masyarakat perorangan banyak yang menjual lahan pertaniannya untuk dijadikan tanah kavling dan dibangun rumah. Penjualan tanah kavling ini tidak hanya marak, tetapi juga liar dan tidak terkendali. Sudah banyak yang berujung pada persoalan hukum.
Selain mengurangi resapan, perubahan peruntukan lahan yang tidak terkendali juga berdampak pada tata aliran air. Hal itu terjadi karena pengurukan yang tidak beraturan dan tidak mengindahkan sistem aliran air. Apabila dibiarkan, banjir semakin parah karena air tak bisa mengalir sesuai alirannya.