Peningkatan Kapasitas Penapisan Kesehatan dan Jarak Sosial Jadi Kunci Tangani Covid-19
›
Peningkatan Kapasitas...
Iklan
Peningkatan Kapasitas Penapisan Kesehatan dan Jarak Sosial Jadi Kunci Tangani Covid-19
Peningkatan kapasitas penapisan kesehatan dan ”social distancing” menjadi kunci dalam penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia. Tim Respons Covid-19 UGM mendorong agar dua hal itu diperkuat.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Tim Respons Covid-19 Universitas Gadjah Mada mendorong pemerintah meningkatkan kapasitas penapisan kesehatan dan diagnosis pasien dalam menangani pandemi Covid-19. Hal itu dinilai mampu mempercepat penanganan pasien Covid-19. Namun, social distancing atau pembatasan sosial juga harus ditaati masyarakat agar hal itu dapat terwujud.
”Hal yang penting adalah peningkatan kapasitas screening (penapisan kesehatan) dan diagnosis sehingga kita bisa menurunkan kurva (kasus Covid-19). Minimal, peningkatan kapasitas itu harus 10 kali dari yang dilakukan saat ini,” kata Koordinator Tim Respons Covid-19 Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad dalam telekonferensi di Yogyakarta, Senin (30/3/2020).
Itu merupakan salah satu rekomendasi yang dihasilkan melalui permodelan epidemiologi Covid-19 Tim Respons Covid-19 UGM. Permodelan tersebut disesuaikan untuk kota-kota besar yang mobilitas penduduknya relatif tinggi.
Dalam permodelan itu dilakukan perbandingan kapasitas deteksi kasus, yakni 5 persen dibandingkan 50 persen. Tim tersebut mengasumsikan kapasitas deteksi kasus yang dimiliki pemerintah saat ini baru 5 persen. Lalu, skenarionya juga dibandingkan antara ada intervensi atau penyikapan terhadap epidemi yang terjadi atau tidak.
Adapun intervensinya berupa social distancing, yang terbagi menjadi dua jenis, yakni moderate social distancing dan maximum social distancing. Moderate social distancing adalah penutupan fasilitas umum dan hanya melakukan aktivitas di rumah, sedangkan maximum social distancing berupa karantina wilayah. Dalam karantina wilayah, hanya mobilitas logistik yang diperbolehkan.
Kurva kasus tertinggi diperoleh pada skenario apabila tidak ada intervensi khusus terhadap penanganan epidemi. Lalu, skenario lainnya, yaitu dengan kapasitas deteksi kasus 5 persen disertai dengan moderate social distancing langsung ketika kasus itu ditemukan, mampu menghasilkan potensi reduksi kasus sebesar 70 persen dengan durasi outbreak selama 69 hari. Adapun puncak outbreak tiba pada hari ke-16.
Selanjutnya, apabila intervensi berupa moderate social distancing diterapkan dengan keterlambatan dua pekan disertai kapasitas deteksi kasus sebesar 5 persen, potensi reduksi kasus yang diperoleh hanya sebesar 18 persen. Durasi outbreak mencapai 18 hari, sedangkan puncak outbreak terjadi pada hari ke-16 pula.
Jika intervensi moderate social distancing itu terlambat diberlakukan dua pekan sejak kemunculan kasus pertama dan kapasitas deteksi kasus sebesar 50 persen, diperoleh potensi reduksi kasus sebesar 53 persen dengan outbreak berdurasi 24 hari dan puncak outbreak terjadi pada hari ke-16.
”Kemudian, kalau intervensi berupa karantina wilayah itu diberlakukan terlambat dua minggu dengan kapasitas deteksi kasus sebesar 50 persen, hasil yang diperoleh cukup baik. Potensi reduksi kasus bisa sebesar 77 persen dengan durasi outbreak selama 22 hari dan puncak outbreak di hari ke-16,” kata Andono.
Andono menilai, pembatasan sosial sangat penting untuk menekan munculnya kasus-kasus baru. Langkah tersebut cukup efektif mencegah persebaran virus tersebut. Maka, keputusan karantina wilayah penting untuk dipertimbangkan jika memang memungkinkan.
”Karantina wilayah menjadi penting, khususnya di daerah-daerah yang sudah menjadi zona merah. Ini untuk mencegah persebaran tidak semakin luas,” kata Andono.
Selain itu, Andono menyatakan, jika pemerintah meningkatkan kapasitas deteksi kasus, dampaknya adalah peningkatan temuan kasus. Praktis, jumlah pasien akan mengalami lonjakan. Rumah sakit pun perlu dijamin kesiapannya.
”Kasus-kasus ini juga sebagian besar mungkin tidak membutuhkan layanan rumah sakit. Tetapi, mereka tetap harus diisolasi dari populasi sehingga tidak menularkan. Maka, perlu dibangun fasilitas isolasi atau karantina nonrumah sakit untuk memisahkan pasien yang tidak membutuhkan perawatan khusus,” tutur Andono.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Biwara Yuswantana mengungkapkan, Pemda DIY menyiapkan dana darurat sebesar Rp 9,2 miliar untuk penanganan wabah tersebut. Dana itu tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan medis rumah sakit, tetapi juga menyiapkan fasilitas kesehatan tambahan.
Salah satu fasilitas kesehatan yang ditingkatkan kesiapannya adalah Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara Dr S Hardjolukito. Saat ini, ketersediaan ruang isolasi baru 4 unit. Dalam pengembangannya, jumlah ruang isolasi akan didorong hingga mencapai 150 unit.