Ribuan Hektar Wilayah Pesisir Pantura Jateng Tergerus Abrasi dan Akresi
›
Ribuan Hektar Wilayah Pesisir ...
Iklan
Ribuan Hektar Wilayah Pesisir Pantura Jateng Tergerus Abrasi dan Akresi
Tanggul-tanggul darurat yang mereka buat tersebut dinilai tidak efektif cegah abrasi. Pemerintah diharapkan bisa membangun sabuk pantai dan pemecah gelombang untuk meminimalkan dampak limpasan air laut.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
Secara umum, seluruh daerah di pesisir pantai utara bagian barat Jawa Tengah mengalami kerusakan, seperti abrasi dan akresi atau perubahan garis pantai akibat sedimentasi dari sungai menuju laut. Upaya fisik dan nonfisik dari seluruh pihak perlu dilakukan sebagai cara untuk meminimalkan dampak kerusakan tersebut.
Menurut catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, pada tahun 2013 sampai dengan 2017 telah terjadi abrasi seluas 8.606,53 hektar dan akresi seluas 4.774,87 hektar di wilayah pesisir pantura Jateng.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air Dan Penataan Ruang Provinsi Jateng Eko Yunianto mengatakan, dalam rencana percepatan pembangunan Provinsi Jateng 2020-2024, mayoritas usulan program yang berasal Kabupaten Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang atau Bregasmalang serta Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Pekalongan atau Petanglong adalah perbaikan dan pengelolaan sumber daya air. Program tersebut antara lain normalisasi sungai, pembangunan sistem penyediaan air minum, pembangunan sistem pengendalian banjir, dan penanganan kerusakan pantai. Nilai investasi proyek-proyek tersebut mencapai Rp 27 triliun.
”Bencana yang terjadi di wilayah pesisir seperti sedimentasi dan abrasi disebabkan oleh menurunnya daya dukung lingkungan. Untuk mengembalikan kapasitas daya dukung lingkungan, perlu ada kolaborasi semua pihak baik dari aspek teknis maupun nonteknis,” ujar Eko saat dihubungi, Jumat (6/3/2020).
Eko menjelaskan, semua yang hidup di daerah pesisir dan daerah aliran sungai memberi kontribusi terhadap sedimentasi dan abrasi pantai. Semua pihak harus berkomitmen untuk meringankan beban sungai sebagai sistem drainase utama dan merawat daerah pesisir.
”Semua pihak memiliki kewajiban untuk memastikan aliran drainase lancar, tidak buang sampah di sungai, menghijaukan daerah hulu, dan menaati aturan tata ruang. Pemerintah kota dan kabupaten harus mengontrol ini,” kata Eko.
Dua bulan terakhir, sejumlah bencana, seperti banjir dan rob, melanda daerah pesisir pantura barat Jateng. Ribuan orang mengungsi di beberapa titik karena rumahnya terendam banjir. Tahun ini, banjir meluas hingga menyebabkan daerah-daerah yang sebelumnya tidak terdampak menjadi terdampak banjir.
Adapun banjir juga merendam sejumlah permukiman dan fasilitas umum lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun sebelumnya banjir terjadi paling lama satu minggu, tahun ini banjir yang merendam sejumlah daerah belum surut dalam waktu dua minggu.
Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan merupakan daerah yang terdampak paling parah. Dua daerah tersebut menetapkan masa tanggap darurat bencana banjir selama 14 hari. Adapun jumlah pengungsi mencapai 3.000 jiwa.
Di Kota Pekalongan, enam orang meninggal akibat banjir. Sebanyak empat orang meninggal setelah sebelumnya sakit di pengungsian. Sementara dua lainnya meninggal karena sakit pada saat bertahan di lokasi banjir.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Sosial, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (Dinsos P2KB) Kota Pekalongan Budiyanto mengatakan, setelah masa tanggap darurat bencana banjir diakhiri dan pengungsi kembali ke rumah masing-masing, sebanyak 14.000 keluarga terdampak banjir akan mendapatkan bantuan dari Pemerintah Kota Pekalongan.
Bantuan tersebut berupa beras sebanyak 5 kilogram, mi instan, dan alat-alat kebersihan yang dibagikan merata untuk setiap keluarga. Hal itu dilakukan sebagai upaya menjaga stabilitas perekonomian warga selama masa pemulihan akibat banjir.
Abrasi
Abrasi terjadi di seluruh pantura barat Jateng. Di Kabupaten Tegal, misalnya, abrasi mengikis daratan di tiga daerah, yakni Padaharja sampai ke Munjung Agung (1,5 kilometer), Purwahamba sampai ke Pantai Purwahamba Indah (1,8 kilometer), dan Kantor Polsek Suradadi sampai ke Pasar Suradadi (400 meter).
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tegal per tahun 2019, abrasi yang terjadi di Munjung Agung mengikis hingga 500 meter ke arah daratan. Sementara di daerah Purwahamba dan Suradadi abrasi terjadi masing-masing 200 meter ke arah daratan.
Di Kota Tegal, abrasi mengancam sedikitnya tujuh rumah dan 10 tambak udang di wilayah Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat. Abrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 1990 tersebut mengakibatkan jarak antara laut dan permukiman warga semakin dekat.
”Pada tahun 1990-an, jarak antara laut dan rumah saya masih sekitar 1 kilometer. Saya ingat, waktu itu, saya memerlukan waktu 15 menit untuk sampai di pinggir pantai dengan cara berjalan kaki. Kini, jarak antara rumah dan laut tidak lebih dari 100 meter,” ujar Darpinah (60), warga Kelurahan Muarareja, saat ditemui, Kamis (5/3/2020).
Darpinah menambahkan, setiap Mei-Juni air laut limpas ke daratan. Limpasan air laut tersebut membuat permukiman warga di pesisir pantai terendam air dengan ketinggian 30-100 sentimeter. Butuh waktu hingga 6 jam agar air yang merendam permukiman warga surut.
Jika sudah demikian, Darpinah memilih untuk mengungsi di rumah kerabatnya, di daerah Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat. Masyarakat pesisir Muarareja sebenarnya sudah berupaya untuk menanggulangi dampak abrasi dengan memasang ban bekas dan karung berisi pasir di bibir pantai.
Namun, tanggul-tanggul darurat yang mereka buat tersebut dinilai tidak efektif. Sebab, limpasan air laut terkadang mampu melewati tanggul-tanggul tersebut. Darpinah berharap pemerintah bisa membangun sabuk pantai dan pemecah gelombang untuk meminimalkan dampak limpasan air laut.