Dilema Karantina Memaksa Negara-negara Menerapkan Pola Berbeda
›
Dilema Karantina Memaksa...
Iklan
Dilema Karantina Memaksa Negara-negara Menerapkan Pola Berbeda
Kebijakan karantina wilayah guna mengatasi wabah Covid-19 seperti buah simalakama. Sejumlah negara memiliki pelaksanaan yang beraneka dalam menerapkan kebijakan itu.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
NEW DELHI, SENIN — Kebijakan karantina seluruh wilayah untuk menekan laju penyebaran Covid-19 menimbulkan kontroversi di sejumlah negara. Ada negara yang memberlakukan karantina total seluruh wilayah atau lockdown. Ada pula yang memilih karantina wilayah terbatas. Ada juga negara yang menetapkan karantina seluruh wilayah, tetapi tak akan memperpanjangnya setelah melihat dampak yang ditimbulkan.
India, misalnya, berencana tidak akan memperpanjang kebijakan karantina selama 21 hari. Alasannya, jutaan warga kehilangan pekerjaan dan kelaparan. Sekretaris Kabinet India Rajiv Gauba, Senin (30/3/ 2020), menyatakan, Pemerintah India hanya akan mengarantina tiga pekan bagi warganya.
Perdana Menteri India Narendra Modi memberlakukan kebijakan karantina sampai 15 April mendatang agar sekitar 1,3 miliar penduduk India tetap tinggal di rumah. Langkah ini dinilai satu-satunya cara untuk menghentikan wabah Covid-19.
Setelah memberlakukan karantina, Pemerintah India tunggang langgang memastikan suplai kebutuhan utama warganya dan mengantisipasi ribuan orang yang kehilangan pekerjaan pergi ke pinggiran kota. Kebijakan karantina di negara itu menyebabkan jutaan orang menderita.
Ratusan ribu pekerja yang mengandalkan upah harian meninggalkan Delhi dan Mumbai dengan berjalan kaki membawa seluruh anggota keluarganya pulang kampung. Mereka tak punya makanan ataupun uang.
Hingga Senin kemarin, India mencatat 1.071 kasus Covid-19, dan sebanyak 29 orang di antaranya tewas. Direktur Pusat Pengendalian Penyakit Nasional India S.K. Singh menyatakan kekhawatirannya bahwa ratusan ribu pekerja yang pulang kampung itu bisa menyebarkan Covid-19.
”Perpindahan orang dari wilayah yang terinfeksi ke wilayah yang tidak terinfeksi menjadi tantangan,” ujarnya.
Berbeda dari tetangganya, Nepal akan memperpanjang karantina selama satu pekan. Meski di Nepal hanya ada lima kasus, pemerintah khawatir Covid-19 akan menyebar. ”Kalau karantina tidak diperpanjang, kasus bisa tambah karena orang tetap bepergian,” kata Surya Thapa, Asisten Perdana Menteri KP Sharma Oli.
Tolak karantina
Di Brasil, berbeda dari kebanyakan negara, Presiden Jair Bolsonaro malah mencemooh aturan jaga jarak sosial yang ditetapkan pemerintahannya sendiri ketika ia berkumpul dengan para pendukungnya di jalanan Brasilia. Ia bahkan mendorong warga ikut menjaga perekonomian tetap berjalan.
”Warga ingin bekerja. Sejak awal sudah saya katakan, kita akan berhati-hati. Warga usia 60 tahun ke atas harus di rumah. Kita tidak bisa diam saja. Ada ketakutan kalau tidak mati karena virus, mati karena kelaparan,” kata Bolsonaro dalam video yang diunggah di Twitter, Minggu.
Ada video lain yang diunggah Bolsonaro yang mengajak kembali ke kehidupan normal dan mempertanyakan efektivitas kebijakan karantina yang diambil pemimpin daerah dan kota di seluruh Amerika Selatan. ”Kalau begini terus, pengangguran akan jadi masalah serius. Brasil tidak bisa berhenti atau kita akan bernasib seperti Venezuela,” ujarnya.
Padahal, Menteri Kesehatan Brazil Luiz Henrique Mandetta, Sabtu, telah mengingatkan pentingnya karantina karena kasus positif Covid-19 di negaranya telah mencapai 3.904 orang, dan 114 orang di antaranya tewas. Bolsonaro berkeyakinan pandemi ini flu biasa dan meminta agar sekolah dan pertokoan buka kembali. Yang perlu mengisolasi diri hanya warga berusia lebih dari 60 tahun.
Namun, Hakim Federal Laura Bastos memutuskan bahwa warga Brasil tidak boleh didorong meninggalkan isolasi rumah dan kembali beraktivitas ke jalan-jalan tanpa ada rencana nasional untuk memerangi pandemi virus korona penyebab Covid-19 ini. Keputusan itu diambil atas permintaan jaksa federal.
Sikap Bolsonaro sama dengan Presiden AS Donald Trump yang menolak kebijakan karantina dua pekan di New York dan daerah-daerah sekitarnya. Trump didesak para pemimpin lokal yang khawatir kebijakan itu hanya akan membuat warga panik. ”Tak perlu karantina,” tulis Trump melalui akun Twitter-nya.
Meski demikian, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) tetap mengingatkan warga agar tidak bepergian kecuali ada urusan mendesak. Covid-19 di seluruh AS menginfeksi lebih dari 132.000 orang, lebih dari 2.300 orang tewas.
Meski demikian, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) tetap mengingatkan warga agar tidak bepergian, kecuali ada urusan mendesak. Covid-19 di seluruh AS menginfeksi lebih dari 132.000 orang, lebih dari 2.300 orang tewas.
Trump sebenarnya juga khawatir warga New York akan bisa menulari daerah lain, seperti Florida. Namun, pikirannya berubah ketika diingatkan Gubernur New York Andrew Cuomo dan Gubernur New Jersey Ned Lamont bahwa kebijakan itu hanya memicu panik, bahkan mengguncang pasar finansial.
”Dengan rekomendasi Gugus Tugas CoronaVirus di Gedung Putih dan dari hasil konsultasi dengan Gubernur New York, New Jersey, dan Connecticut, saya minta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengeluarkan saran perjalanan,” cuit Trump di Twitter.
CDC kemudian mengeluarkan anjuran yang meminta warga di tiga negara bagian itu tidak melakukan perjalanan domestik yang tidak penting selama 14 hari ke depan. Data dari John Hopkins University menyebutkan, di New York kasus positif Covid-19 mencapai 53.000 kasus dan di seluruh AS 124.000 kasus. Sementara di New Jersey ada 11.100 kasus.
Sukarela
Beda di Brasil, beda di AS, beda pula di Turki. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengimbau warga agar dengan sukarela mengarantina diri sendiri. Warga Turki diimbau tinggal di rumah, kecuali ada keperluan belanja barang kebutuhan sehari-hari. Erdogan berharap warga mematuhi imbauan itu jika tidak mau ada kebijakan yang lebih ketat lagi.
”Tinggal di rumah, jaga jarak sosial di tempat kerja dan rumah, tak memakai angkutan umum, kecuali mendesak, dan menjaga kebersihan dan kesehatan. Itu saja,” kata Erdogan.
Turki dalam dua pekan ini mencatat 2.069 kasus positif Covid-19. Sampai saat ini, Pemerintah Turki tak mau mengumumkan daerah-daerah yang dilanda Covid-19 karena khawatir warga akan berpindah ke daerah lain yang belum atau masih sedikit kasus Covid-19.
Meski demikian, Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soylu memperbolehkan daerah membuat keputusan karantina sendiri. Seperti Provinsi Rize yang sudah memberlakukan karantina wilayah. (REUTERS/AFP/AP)