Penutupan perbatasan, karantina, dan hambatan perdagangan akibat pandemi Covid-19 telah mengganggu rantai pasokan pangan. Rantai pasok mesti tetap jalan agar tak makin mengimpit petani di hulu dan konsumen di hilir.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Esai foto yang dimuat Kompas.id, Jumat (27/3/2020), tentang kehidupan Pasar Sayur Cepogo di Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, memuat fakta tentang dampak Covid-19. Tak semua pedagang perantara berjualan karena pelanggan mereka libur. Para pelanggan itu, khususnya pengelola hotel, restoran, kafe di Jakarta dan kota-kota lain, menutup usaha sementara waktu sebagai respons atas permintaan yang lesu dan penyebaran virus korona tipe baru yang meluas. Dampaknya, sebagian sayuran hasil panen petani di kawasan itu tak terserap, lalu menumpuk dan busuk.
Imbas Covid-19 sejatinya telah kita rasakan sejak awal tahun. Ketika pengiriman dari China terganggu, harga bawang putih di pasar dalam negeri terdongkrak. Dampak lebih besar bakal segera terasa jika sejumlah kota/kabupaten atau provinsi di Indonesia mulai membatasi wilayah demi mencegah penularan virus lebih luas.
Penutupan perbatasan, karantina, serta hambatan perdagangan dan pasar telah mengganggu rantai pasokan pangan. Situasi ini kian membatasi akses warga terhadap sumber makanan yang beragam, bergizi, dan cukup. Oleh karena itu, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) meminta pemerintah memastikan rantai pasokan pangan tetap berjalan dalam situasi pandemi Covid-19.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa G-20, pekan lalu, FAO mendesak para pemimpin negara-negara G-20 mengambil langkah agar sistem pangan global terus bekerja dengan baik, terutama terkait akses makanan warga miskin dan kelompok yang rentan selama pandemi Covid-19.
Penguncian dan pembatasan pergerakan, kata Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu, dapat mengganggu produksi, pemrosesan, distribusi, dan penjualan makanan, baik secara nasional maupun global. Situasi itu bisa berdampak langsung dan berat kepada mereka yang memiliki akses dan mobilitas terbatas. Warga miskin dan rentan akan menjadi pihak paling terpukul.
Program jaring pengaman sosial mesti memastikan warga miskin mendapatkan asupan pangan dalam situasi seperti ini. Apalagi ketika mereka tidak lagi memperoleh penghasilan, khususnya pekerja informal terdampak dan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, bantuan amat penting artinya untuk memastikan makanan tersaji di meja makan.
Ketika virus korona baru menginfeksi 722.196 orang dan menjangkau 199 negara di dunia, pada Senin (30/3/2020) pukul 12.00 WIB, dampak perdagangan pangan global terhadap Indonesia perlu dihitung detail dan matang. Selain bawang putih, Indonesia mengimpor beberapa komoditas pangan, antara lain gandum, kedelai, daging sapi, dan susu.
Seperti halnya masker dan alat pelindung diri, sejumlah bahan pangan berpotensi diperebutkan negara-negara pengimpor jika problem logistik dan perdagangan tak teratasi. Negara-negara produsen berpeluang semakin proteksionis dan mengunci cadangan pangannya jika krisis kesehatan tak teratasi dan menginfeksi sistem pangan global. Dalam perebutan, seperti telah berulang, negara kaya akan menjadi pemenangnya.
Kota-kota di Indonesia juga belum mandiri dalam urusan pangan. Oleh karena itu, pembatasan wilayah perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap pasokan pangan nasional. Wilayah Jabodetabek, misalnya, membutuhkan pasokan sayur antara lain dari Bogor, Bandung, Garut, Pandeglang, Sukabumi, dan Cianjur; telur ayam dari Jawa Timur; daging ayam dari Jawa Barat dan Jawa Tengah; beras dari Jawa Barat dan Jawa Tengah; serta sapi dari Lampung, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Rantai pasok yang terputus, antara lain karena sebagian perantara tak beroperasi, perlu diatasi agar hasil panen petani tetap sampai ke tangan konsumen. Teramat penting untuk memastikan petani mendapat penghasilan yang layak atas jerih payah mereka. Kesejahteraan petani menjamin keberlanjutan produksi pangan di masa depan.