Industri Film Nasional Berpikir Kreatif dan Adaptif di Tengah Wabah Covid-19
›
Industri Film Nasional...
Iklan
Industri Film Nasional Berpikir Kreatif dan Adaptif di Tengah Wabah Covid-19
Industri perfilman Indonesia ikut terpukul dengan merebaknya virus korona. Mereka dituntut kreatif untuk bertahan melewati masa sulit ini.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·6 menit baca
Hari Film Nasional, yang diperingati pada 30 Maret 2020 seharusnya menjadi perayaan bagi pencipta, penonton, pengarsip, pemutar, pengkritik, dan seluruh pekerja dalam ekosistem film Indonesia. Namun, tahun ini insan perfilman harus memperingati hari bersejarah itu di tengah ”paceklik” hebat sebagai dampak penyebaran wabah virus korona. Dengan situasi ini, sineas dan distributor film dituntut berpikir kreatif dan adaptif untuk bertahan pada industri ini.
Di Indonesia, hingga Senin lalu, lebih dari 1.000 orang dinyatakan positif Covid-19, penyakit yang disebabkan virus korona baru (SARS-Cov-2). Kondisi ini memaksa pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan bekerja dari rumah (work from home), diikuti sejumlah aturan lainnya, seperti menjaga jarak sosial (social distancing) dan karantina mandiri (self-quarantine). Beberapa daerah di Indonesia bahkan telah menerapkan karantina kewilayahan atau (lockdown) untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona baru.
Bagi dunia film Indonesia, situasi ini menghasilkan kejadian-kejadian lain yang panjang dan berkaitan. Terganggunya dunia film nasional akibat wabah Covid-19 sudah terasa sejak aktivitas pemutaran film di gedung-gedung bioskop dihentikan. Situasi sulit lain adalah terhambatnya produksi film dan televisi, terganggunya jadwal pemutaran dan diskusi film, serta pembatalan atau penundaan kerja untuk ratusan talent dan kru dalam produksi film.
Bagi produser, sutradara, dan penulis naskah Andi Bachtiar Yusuf, awal April ini seharusnya menjadi waktu yang sibuk untuk memproduksi sekuel dari Dealova (2005). Film yang saat itu sukses ditonton lebih dari 1,75 juta penonton Indonesia itu akan diproduksi di Jakarta, Surabaya, Magelang, dan Pacitan. Sekitar 80 persen persiapan shooting sudah dilaksanakan.
Namun, rencana pengambilan gambar untuk film yang menelan biaya sekitar Rp 7 miliar itu harus ditunda entah sampai kapan karena wabah Covid-19. ”Kru film meminta agar shooting tetap berjalan karena kalau tidak ada shooting, mereka tidak ada pekerjaan,” kata Andi. Demi keselamatan nasional, Andi memutuskan agar shooting ditunda, paling cepat hingga awal Juni.
Menurut dia, untuk aktor utama yang mementingkan keselamatan memang tidak masalah apabila shooting ditunda karena pendapatan mereka cukup besar. Namun, bagi puluhan kru dan tim pendukung yang mengandalkan pendapatan harian atau mingguan dari produksi film tentu hal ini sangat mengganggu. Kru dan pendukung film ini termasuk sopir, teknisi listrik, konsumsi, dan pekerja produksi bangunan yang menyiapkan lokasi shooting.
Terhentinya produksi film membuat kru dan tim pendukung kembali ke daerah masing-masing. ”Sebagian ada yang pulang kampung. Daripada tinggal di kota penuh ketidakpastian, mereka bertani. Ada juga yang ingin pulang kampung, tetapi tertahan karena Pak RT dan Pak RW tempat tinggalnya menganjurkan agar tetap di rumah. Beberapa kru alih profesi menjadi sopir ojek daring. Tetapi, jadi ojek juga susah karena tidak ada penumpang,” kata Andi.
Sutradara yang menyabet Piala Citra untuk Penulis Skenario Asli Terbaik di Festival Film Indonesia 2018 ini mengatakan, dampak paling terasa dari Covid-19 untuk industri film adalah sektor ekonomi. Apalagi, situasi produksi film Indonesia masih jauh dari ideal, seperti banyak kru dan tim pendukung yang bekerja tanpa kontrak resmi dari rumah produksi, tanpa jaminan asuransi, dan dengan penghasilan yang masih minim.
Dengan munculnya Covid-19, persiapan produksi, produksi, dan pemutaran film otomatis terganggu. Film Yowis Ben 3 yang seharusnya diproduksi di Malang, Jawa Timur, juga harus dihentikan. Kru film harus dikembalikan ke Jakarta dengan naik pesawat untuk mengurangi risiko keselamatan.
Berdasarkan data dari Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi), sudah ada 15 proyek produksi film yang ditunda eksekusinya sejak Maret hingga April 2020. Jumlah proyek ini baru mencakup film komersial atau layar lebar, belum termasuk film dokumenter dan serial.
Menurut Andi, jumlah riil di lapangan bisa lebih besar dari data Aprofi mengingat banyak produksi film yang tidak tercatat. ”Dampak ekonominya besar banget. Industri ini tidak hanya bicara satu-dua orang yang mempunyai nama besar, seperti sutradara atau aktor, tetapi banyak masyarakat kecil yang menjadi kru film yang juga terdampak,” katanya.
Bagi sineas Yosep Anggi Noen, April juga seharusnya menjadi bulan yang sibuk. Setelah berkeliling di 20 negara, karyanya yang berjudul The Science of Fictions seharusnya diputar di bioskop-bioskop di Indonesia. Namun, rilis film yang tayang perdana pada tingkat Asia dalam Busan International Film Festival 2019 dan juga ditayangkan di Locarno Film Festival ke-72, di Swiss, Agustus tahun lalu, harus ditunda.
Dalam setahun, ada 120-130 judul film Indonesia yang tayang di bioskop. Sejak Januari hingga Maret 2020, sekitar 30 film sudah ditayangkan di bioskop. Beberapa film, termasuk The Science of Fictions, terpaksa ditunda penayangannya hingga waktu yang tidak pasti karena banyak jaringan bioskop tutup. Di Indonesia, film-film lain juga terpaksa tertunda penayangannya, seperti KKN di Desa Penari, Tersanjung The Movie, dan Mudik.
Meski menghadapi sejumlah kesulitan selama masa paceklik ini, sineas menolak berpangku tangan. Mereka menghadapi situasi ini dengan cara kreatif dan adaptif.
Produser dan sutradara Mira Lesmana, misalnya, menyiasati persiapan produksi film yang terhambat dengan proses casting dan rapat internal secara daring. Ia juga membatalkan rencana pengecekan lokasi shooting di sejumlah wilayah di Indonesia. Proses pencarian lokasi dilakukan berdasarkan foto-foto yang sudah ada. Sambil menunggu wabah berlalu, Mira dan timnya juga berusaha memastikan penulisan naskah beres sesuai jadwal.
Sementara itu, Yosep Anggi Noen berusaha memasarkan kembali film-film lamanya yang tersedia di Youtube kepada masyarakat. Film pendek berjudul Rumah yang produksi di Okinawa, Jepang, misalnya, kembali dipasarkan kepada masyarakat yang sekarang terkena wabah nonton secara digital. Menurut Anggi, hal itu dilakukan untuk menjaga semangat dan antusiasme penonton terhadap karya-karyanya.
”Film-film saya ini kan mempunyai budget promosi yang minim. Ketika sudah kehabisan amunisi promosi, memang harus kreatif untuk menjaga antusiasme penonton,” katanya.
Ketua Badan Perfilman (BPI) Indonesia, yang juga pengusaha, produser film, dan pemilik rumah produksi PT Kharisma Starvision Plus, Chand Parwez Servia memperkirakan industri film akan terganggu selama satu tahun akibat wabah Covid-19. ”Kalau kita bisa menyelamatkan sekitar 25 persen dari industri saja itu sudah bagus,” katanya.
Dengan situasi ini, Parwez mengatakan, insan film berusaha saling menyemangati pada masa-masa sulit seperti ini. Ia juga menuturkan, dengan minimnya kegiatan produksi film Indonesia, kesempatan ini menjadi jeda yang baik untuk merumuskan kembali sistem film nasional dan memikirkan bagaimana memberantas pembajakan film yang masif.
Harapannya, begitu wabah Covid-19 berlalu, industri film nasional bisa kembali tumbuh dengan arah yang jelas dan dapat memberi keuntungan untuk semua pelaku dalam industri ini. ”Kami sudah siap apabila harus menghadapi paceklik panjang karena kami percaya setelah paceklik akan ada musim panen. Kita harus menganggap situasi yang ada sekarang ini untuk evaluasi dan introspeksi diri. Kita harus menyiapkan yang lebih baik agar nantinya begitu situasi sulit teratasi, kita punya pikiran bernas.”