Pulang Tak Boleh, Kerja Pun Tak Bisa
Nasib pekerja informal yang mengandalkan pendapatan harian terombang-ambing. Mereka berharap pemerintah lebih tegas membuat keputusan dan segera menyalurkan bantuan.
Nasib masyarakat perantau di tengah pandemi coronavirus disease atau Covid-19 kini terombang-ambing akibat kebijakan yang simpang siur. Mereka tak diperbolehkan pulang ke kampung halaman, tetapi tak juga dipenuhi kebutuhan pokoknya.
Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas, Senin (30/3/2020), memilih langkah pembatasan sosial berskala besar daripada karantina wilayah. Namun, sejumlah daerah telah melakukan karantina wilayah dengan versi masing-masing.
Sejumlah wilayah, di antaranya DKI Jakarta, menyatakan siap melakukan karantina wilayah. Pemerintah provinsi pun tengah menyusun sejumlah skenario terkait distribusi pangan dan solusi bagi para pekerja informal yang mengandalkan pendapatan harian.
Sama halnya dengan Pemerintah Kota Tegal, Jawa Tengah, yang memberlakukan isolasi wilayah, tetapi diakui belum optimal karena keterbatasan alat untuk mengecek kesehatan para pendatang. Sementara Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, telah memutuskan melakukan karantina wilayah parsial mulai dari kecamatan hingga kompleks perumahan.
Kesimpangsiuran kebijakan tentu berimplikasi pada kehidupan sosial masyarakat. Begitulah yang dialami Badrudin (37). Buruh di Kota Bogor ini terpaksa tidak dapat pulang ke kampung halaman di Ciamis.
Baca juga : Presiden Berlakukan Pembatasan Berskala Besar
”Kemarin saya mau pulang, tapi ternyata waktu sampai di terminal bus sudah enggak bisa. Saya jadi khawatir, apalagi sudah dekat bulan puasa, takut enggak bisa pulang pas hari pertama puasa,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Selasa (31/3/2020).
Padahal, kata Badrudin, pabrik tempatnya bekerja pun sudah tidak berproduksi karena adanya pandemi Covid-19 sehingga banyak pesanan dibatalkan. Kini, ia tidak tahu harus berbuat apa untuk tetap menghidupi istri dan kedua anaknya yang berada di Ciamis.
”Saya jadi serba salah, kalau diam di rumah takut enggak bisa makan, kalau kerja apa yang dikerjakan? Harusnya pemerintah, kalau mau masyarakat diam di rumah, tolong sediakan kebutuhan bahan pokok seperti beras dan minyak sayur,” tutur Badrudin.
Buruh pabrik lain di Kota Bogor, Anang (42), juga tidak bisa pulang ke kampung halaman di Lampung karena kurangnya biaya akibat kerja yang diliburkan. Uang simpanannya terpaksa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk membayar biaya kontrakan.
”Saya baru diliburkan seminggu, tapi kerasa banget pendapatan sehari-hari jadi berkurang dan cukup untuk makan saja. Kami masyarakat kecil enggak neko-neko, kalau memang harus diam di rumah, ya pemerintah berikan kami sembako,” kata Anang.
Kendati demikian, ada pula masyarakat yang ”berhasil” pulang ke kampung halaman meski telah diimbau pemerintah untuk tidak mudik. Pengemudi transportasi daring di Jakarta, Untung Wimbo Handoko (56), bisa pulang ke Tegal sejak lima hari lalu.
Menurut dia, lebih baik berada di rumah daripada tetap bertahan di Jakarta dengan penghasilan kian menurun. Setelah adanya keputusan untuk bekerja, belajar, dan ibadah di rumah pada 15 Maret lalu, ia mengaku pendapatannya turun dari Rp 370.000 per hari menjadi Rp 27.000 per hari.
”Permintaan pemerintah, kan, memang enggak boleh pulang ke kampung halaman, tetapi belum ada larangan tegas. Lagi pula, biaya hidup di Jakarta lebih tinggi daripada di kampung. Jadi, saya memilih pulang agar bisa kumpul juga sama keluarga,” kata Wimbo.
Untuk mengantisipasi tidak menjadi pembawa Covid-19, Wimbo melakukan isolasi secara mandiri dengan tidak keluar rumah hingga 14 hari. Saat ini, ia mengaku kondisi tubuhnya dalam keadaan sehat.
Tak hanya Wimbo, penjual nasi goreng di Jakarta, Lukman (28), juga memilih mudik ke Tegal sejak minggu lalu karena pembeli nasi goreng pun sudah jarang. Ia menyampaikan, sebagai perantau, biaya hidup di Jakarta jelas tidak semurah hidup di kampung sendiri.
”Saya berani pulang karena kondisi kesehatan saya sedang baik, enggak ada keluhan flu, batuk, demam, atau sesak napas. Dalam perjalanan pulang di dalam bus, saya selalu pakai hand sanitizer. Waktu sampai Tegal, saya ke puskesmas dulu, baru setelah itu ke rumah langsung mandi dan cuci baju,” tutur Lukman.
Menyebar
Mengacu data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak di antara 30 provinsi lain. Kasus kumulatif di DKI Jakarta hingga Senin (30/3/2020) mencapai 698 orang atau 49,36 persen dari total 1.414 kasus di Indonesia.
Baca juga : Jumlah ODP Covid-19 di Purwakarta Meningkat Drastis
Namun, berdasarkan catatan Kompas, tren data 19 Maret-29 Maret menunjukkan ada penurunan proporsi kasus Covid-19 di DKI Jakarta dibandingkan nasional. Itu artinya, dalam sembilan hari terakhir, virus Covid-19 semakin menyebar keluar wilayah Jakarta.
Keadaan ini disebabkan oleh para pendatang di Jakarta yang berasal dari berbagai daerah. Mereka yang merasa tidak lagi sanggup bertahan di tengah kondisi ekonomi yang memburuk tentu memutuskan pulang kampung.
Menurut data survei sosial ekonomi nasional Badan Pusat Statistik tahun 2015, warga pendatang di Jakarta mayoritas berasal dari Jawa Barat (35,2 persen), Jawa Tengah (24,1 persen), Banten (6,5 persen), Jawa Timur (6,5 persen), dan Sumatera Utara (4,1 persen).
Harus tegas
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, menilai pemerintah harus tegas membuat kebijakan. Sebab, kebijakan pemerintah yang setengah-setengah malah membuat masyarakat menjadi terombang-ambing dalam kebingungan.
”Pemerintah sampai sekarang juga belum jelas. Memutuskan apakah mudik dilarang, tapi juga tidak ada penetapan karantina wilayah. Artinya, secara legalitas, masyarakat masih berhak untuk lalu lalang antardaerah,” kata Abra.
Menurut Abra, apabila memang pemerintah memaksa atau mendorong pekerja informal untuk tetap berada di Jakarta dengan melakukan isolasi diri, harus ada kompensasi kepada masyarakat. Seminimal mungkin, harus ada pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat.
Baca juga : Efektivitas Karantina Wilayah
”Kalau masih berkutat dalam wacana, seminggu, dua minggu terlewati, masyarakat sudah banyak yang kesusahan dan kelaparan. Jika terus begini, dikhawatirkan akan timbul gejolak sosial masyarakat, yang pada akhirnya mereka akan kembali ke jalan untuk mencari uang,” tuturnya.
Tak hanya bagi yang terpaksa bertahan di daerah tempat kerja, bagi masyarakat yang mudik, peran pemerintah daerah menjadi sangat penting. Pemerintah daerah harus menyiapkan infrastruktur kesehatan, termasuk tenaga kesehatan, alat pelindung diri, dan protokol penanganan orang dalam pemantauan (ODP).
Langkah ini ditempuh guna memastikan para pendatang tidak menjadi penyebar Covid-19 bagi orang-orang sekitar. Sebab, tidak hanya warga lokal dan pemudik yang perlu diselamatkan, tetapi juga aktivitas ekonomi daerah.
”Jangan sampai para ODP mengancam proses produksi di sektor pertanian. Kalau sampai perdesaan sudah terkontaminasi dengan penyebaran Covid-19, dikhawatirkan dapat mengganggu aktivitas produksi pertanian. Efek dominonya tentu akan semakin besar, yaitu terkait dengan stok pangan nasional,” kata Abra.