Sejak duduk di bangku sekolah hingga kuliah, Suhamdi sering kesulitan mencari literatur untuk menunjang kegiatannya. Dia pun bertekad membantu masyarakat Lombok Timur mendapat bacaan bermutu dengan mendirikan taman baca.
Oleh
Khaerul Anwar
·5 menit baca
Suhamdi atau Hamdi (40) kesulitan mencari buku bacaan ketika menjadi siswa madrasah aliyah sampai kuliah. Realitas itulah yang mendorong dia menjadi pegiat literasi, lalu merintis taman baca masyarakat. Berbagai tantangan dia lalui hingga bisa bertahan untuk mengabdi kepada masyarakat.
”Buku bacaan sekolah terbatas. Kalau mau mendapatkan referensi, saya harus ke perpustakaan kabupaten. Saya saja kesulitan mendapat bahan bacaan, bagaimana dengan adik-adik kelas,” ujar Hamdi, warga Desa Masbagik Timur, Lombok Timur, berjarak 48 kilometer timur Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang ditemui pada Sabtu (28/3/2020).
Menurut Hamdi, kondisi di sekolahnya sama dengan sekolah lainnya. Koleksi bukunya tidak pernah bertambah dengan buku baru. Di satu sisi, untuk mengikuti perkembangan terbaru, para siswa membutuhkan banyak literatur. Membeli buku baru mustahil karena orangtuanya adalah keluarga tidak mampu secara ekonomi.
Saat itu, bila membutuhkan referensi, Hamdi pergi ke Perpustakaan Lombok Timur yang berada di Selong, yang jaraknya 9 kilometer dari desanya. Begitu pula saat kuliah, ia harus ke Perpustakaan NTB di Mataram.
Kondisi itu membulatkan tekadnya menjadi pegiat literasi yang disimpan dalam benaknya saat duduk di bangku kelas III Madrasah Aliyah Nahdlatul Wathan di Pancor, Lombok Timur. Namun, niat memudahkan anak-anak, mahasiswa, petani, dan ibu rumah tangga mendapatkan buku bacaan baru bisa terlaksana pada tahun 2002 selepas Hamdi lulus kuliah di Universitas NW di Mataram.
Kegiatan literasi dimulai dengan kursus bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta kursus komputer bagi 30 anak. Dia mengajak beberapa rekannya untuk menjadi pengajar. Hamdi menjadi tutor bahasa Arab, sedangkan rekan lainnya menjadi tutor bahasa Inggris dan komputer. Untuk meluncurkan kegiatannya waktu itu, ia mengundang pejabat pemerintah desa yang pesimistis dengan ide kreatifmya.
Tidak ada keuntungan materi jadi pegiat literasi. Yang ada adalah kepuasan batin ketika petani bisa meracik bahan-bahan pembasmi serangan hama wereng terhadap tanaman padi berkat membaca buku pertanian. Atau ibu-ibu bisa bikin beragam kue dan jajanan setelah membaca resep di majalah. Itu kepuasan batin yang tidak bisa diukur dengan materi.
”Kamu bikin kursus, dan suruh orang baca. Ini pekerjaan sulit,” kata Hamdi mengutip komentar sang pejabat.
Namun, kalimat itu tidak menyurutkan langkahnya. Dia tak mau tinggal diam. Semua kegiatan yang sudah dimulainya tetap jalan terus. Apalagi, teman-temannya yang lulusan D-3 dan sarjana bersedia menyumbang ilmunya tanpa dibayar. Mereka juga menyumbangkan buku-buku bacaan. Selain itu, ada beberapa donatur yang bersimpati dengan gerakan Hamdi, ikut menyumbangkan buku-buku.
Tak hanya mengajar anak-anak, Hamdi mulai bergerak ke tengah masyarakat. Dengan uang pribadi, Hamdi membeli buku dan majalah bekas tentang pertanian, kesehatan, keterampilan, memasak, komik, cerita, dongeng, dan lainnya. Buku-buku itu dibawa keliling menggunakan sepeda motor ke tempat umum, seperti Taman Kota Selong. Di taman kota itu, ia menggelar buku-buku di atas tikar agar pengunjung mendekat dan membacanya.
Sayangnya, meski sudah berkali-kali menggelar buku-bukunya, tak ada pengunjung yang datang. Belakangan diketahuinya, mereka segan membaca karena mengira Hamdi pedagang buku keliling. Dugaan itu tidak seberapa dibandingkan dengan cemooh banyak orang, termasuk para tetangganya, yang menyebut aktivitasnya sebagai pekerjaan sia-sia.
”Mending jualan buku, ada hasilnya (uang). Sudah keliling ke sana kemari kayak orang gila, tekor beli bensin pula,” ujar Hamdi mengutip ungkapan sinis beberapa orang.
”Itu risiko perjuangan, dan saya anggap masukan untuk membuktikan kelak kalau pekerjaan saya tidak sia-sia,” lanjut Hamdi.
Bukan hanya fokus menumbuhkan minat baca kepada anak-anak, Hamdi juga mendekati para orang dewasa. Dia tetap keliling dusun-dusun hingga kampung pemukiman nelayan, membawa buku-buku, sembari membangun jaringan dengan karang taruna, kelompok sadar wisata, kelompok tani, dan ibu-ibu PKK.
Taman bacaan
Di kampung halaman, Hamdi memodifikasi rumahnya untuk ruang kursus dan membaca. Misalnya, ruang tamu untuk kegiatan kursus, kemudian sebuah garasi yang dipermak menjadi perpustakaan, ruang koleksi, dan tempat membaca. Setelah fasilitas tersedia, dan jaringan sudah terbentuk, Hamdi bisa mewujudkan cita-citanya membangun Taman Baca Masyarakat (TBM) Assyuro Lombok Creative pada 10 Oktober 2010.
Kini TBM itu menjadi sarana belajar bagi anak-anak, petani, dan ibu rumah tangga. Sedikitnya 40 orang dalam sehari mengunjungi taman baca. Sebagian dari mereka adalah pelajar yang datang ke taman baca dengan koleksi buku sekitar 4.500 buku. Mereka biasanya datang ke TBM untuk bermain sambil membaca buku, atau meminjam buku dengan batas waktu peminjaman selama seminggu. Sementara 1.500 buku lainnya berada di jaringan taman baca binaan TBM di beberapa desa.
Seiring berjalannya waktu, taman baca mengembangkan aktivitasnya. ”Yang sarjana diserahi mengembangkan koperasi yang kami bentuk. Mereka yang mempunyai gelar sarjana sastra mengelola kursus bahasa, dan sarjana komputer mengelola kursus komputer. Kursus gratis bagi pelajar dan mahasiswa. Alhamdulillah, dari satu unit komputer, sekarang kami punya 30 unit komputer,” ujar Hamdi.
Begitu pun kunjungan ke jaringan taman baca yang membawa buku-buku tidak lagi menggunakan sepeda motor, tetapi menggunakan mobil khusus yang dimodifikasi menjadi perpustakaan keliling. Selain menawarkan berbagai buku, para sukarelawan yang berkeliling juga mengajarkan anak-anak membuat karya sastra, seperti puisi dan esai, serta pelatihan wirausaha bagi kalangan ibu rumah tangga.
Kini, Hamdi mampu membuktikan kerja nyatanya kepada orang-orang yang dulu meragukan bahkan bernada sinis untuk semua kegiatan literasinya. Satu hal yang paling membanggakannya adalah ayah tiga anak ini bisa menebarkan virus membaca kepada masyarakat.
”Tidak ada keuntungan materi jadi pegiat literasi. Yang ada adalah kepuasan batin ketika petani bisa meracik bahan-bahan pembasmi serangan hama wereng terhadap tanaman padi berkat membaca buku pertanian. Atau ibu-ibu bisa bikin beragam kue dan jajanan setelah membaca resep di majalah. Itu kepuasan batin yang tidak bisa diukur dengan materi,” ujarnya.
Suhamdi
Lahir: Lombok Timur, 31 Desember 1979
di Desa Masbagik Timur, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur
Istri: Zurriyatun Toyyibah
Jabatan: Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat NTB
Pendidikan:
- Madrasah Iftidaiyah Nahdlatul Wathan Penakak, Masbagik Timur (1990)
- Madrasah Tsanawiyah NW Penakak, Masbagik Timur (1996)
- Madrasah Aliyah NW Pancor, Lombok Timur (1998)
- Fakultas Sastra Arab Universitas Nahdlatul Wathan Mataram (2002)
- S-2 Universitas Raden Rahmat (Unira) Malang, Jawa Timur (2019)