Kata ”tambah kecil” dalam bahasa Indonesia memperlihatkan paduan yang bertentangan. Kata ”tambah” berarti perluasan, sementara ”kecil bermakna sebaliknya. Bagaimana bisa dua kata yang berlawanan digabungkan jadi satu?
Oleh
André Möller
·3 menit baca
Salah satu istilah dalam bahasa Indonesia yang sejak dulu menggelikan imajinasi saya adalah tambah kecil. Barangkali kedua kata ini sering kita ucapkan tanpa direnungkan dulu maknanya, tapi itu tidak berarti masalah ini bisa dilewatkan begitu saja.
Kalau dicermati sejenak, terlihat bahwa terdapat kontradiksi di dalam istilah ini, karena tambah atau menambah mengandung makna perluasan atau pembesaran (atau sejenisnya), sedangkan kecil berlawanan dengan hal tersebut. Menambah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ’menjadikan (membubuhkan dan sebagainya) supaya lebih banyak (besar, hebat, dan sebagainya)’. Sejujurnya, susah membayangkan seseorang yang sedang membuat sesuatu lebih besar, tapi hasilnya malah makin kecil.
Beberapa saat yang lalu, harian Kompas ini menyuguhkan tutur visual yang amat menarik sekaligus memprihatinkan dengan judul ”Elang yang Semakin Menghilang”. Judul ini (yang terasa agak janggal, entah kenapa, mungkin karena semakin adalah bentuk tidak baku dari makin, atau mungkin karena makin tersebut lebih sering disusul oleh kata sifat) juga mengandung kontradiksi. Makin adalah adverbia dengan makna ’kian bertambah’, sedangkan menghilang berarti ’melenyapkan diri; menjadi tidak kelihatan lagi; tidak memperlihatkan diri lagi’. Sesuatu yang kian bertambah semestinya tidak jadi makin jarang kelihatan. Ada paralel yang jelas di antara makin menghilang dan tambah kecil.
Fenomena ini tidak unik bagi bahasa Indonesia, tetapi terdapat di bahasa-bahasa lain pula. Bahasa ibu saya (bahasa Swedia), misalnya, mengenal kata jätteliten yang merupakan gabungan dari kata jätte dan liten. Jätte berarti ‘raksasa’ sedangkan liten adalah ’kecil’. Menggambarkan sesuatu yang amat kecil dengan ucapan ”kecil seperti raksasa” tentu tidak masuk akal, dan mengandung kontradiksi pula. Jika jätte ini digabungkan dengan kata stor (’besar’), di lain pihak, polisi bahasa apa pun akan senang sebab ”besar seperti raksasa” memang masuk akal secara logis.
Dalam bahasa Inggris pun terdapat fenomena ini, misalnya dalam ucapan act naturally, awfully good, big detail atau honest thief. Istilah civil war (perang saudara) juga bisa dikatakan mengandung kontradiksi ini sebab tak ada perang yang beradab (civil). Dalam bahasa Indonesia, ”perang saudara” pun memiliki kontradiksi yang sama sebab kalau sudah diperangi, maka tidak pas dianggap saudara lagi.
Kontradiksi dalam bahasa seperti ini disebut oleh para ahli bahasa sebagai oksimoron. Menariknya, kata oksimoron ini sendiri adalah sebuah oksimoron sebab ia mengandung kontradiksi. Ia berasal dari bahasa Latin dan terekam pertama kali sekitar tahun 400, dan terdiri dari kata oksús ’tajam’ dan mōros ’tumpul’, yang secara jelas saling bertentangan.
KBBI menjelaskan oksimoron sebagai ’penempatan dua antonim dalam suatu hubungan sintaksis (dalam koordinasi atau subordinasi)’, dan memberikan contoh ”dia telah merasakan pahit manisnya kehidupan” dan ”mereka selalu bersama dalam suka dan duka”. Menurut saya, kedua contoh ini tidak mencerminkan arti oksimoron sebab tidak terdapat kontradiksi di dalamnya. Hidup ini pasti ada baik manisnya maupun pahitnya, dan hubungan sepasang sejoli pasti melibatkan baik suka maupun duka. Mungkin lebih pas kalau contohnya ”kue ini manis pahit” atau ”elang makin hilang”.
Kembali ke tambah kecil. Adakah sesuatu yang bisa tambah kecil? Dan apakah ada oksimoron lain yang lucu dalam bahasa Indonesia? Pasti ada.