Tanpa Dokumen SVLK, Produk Kayu Jadi Abal-abal?
Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 yang meniadakan syarat wajib dokumen V-Legal pada eksportir industri kehutanan. Sudah benarkah langkah tersebut?
Wiradadi Soeprayogo, pengusaha mebel, masih teringat kejadian pahit yang dialami koleganya sesama pengusaha mebel saat mengikuti pameran di Jerman, tiga tahun silam. Dari enam kontainer berisi barang-barang yang siap dipamerkan dan diharapkan laris diborong pembeli di sana, empat di antaranya malah terkatung-katung di pelabuhan.
Empat kontainer bernilai miliaran rupiah milik 18 pelaku usaha itu akhirnya tak bisa dipamerkan hingga ekshibisi selesai diselenggarakan. Biaya pengapalan, termasuk penilikan surveyor hingga berbagai administrasi, pun ditelan mentah-mentah oleh pengusaha itu.
”Ini contoh masalah nyata yang kami alami dan kami sampaikan ke Istana saat audiensi dengan Bapak Presiden,” kata Wiradadi, Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Bidang Organisasi dan Hubungan Antarlembaga, 19 Maret 2020.
Baca juga : HIMKI: Sejumlah Regulasi Hambat Pengembangan Industri Mebel
Awalnya, para pelaku usaha dengan percaya diri mengirimkan barang-barang itu ke Jerman, satu dari 28 negara anggota Uni Eropa (kini 27 negara setelah Inggris keluar), karena merasa telah mengikuti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Dengan status keikutsertaan dalam SVLK seperti ini, barang-barang tersebut bisa langsung masuk ke pelabuhan-pelabuhan Uni Eropa pada jalur hijau.
Namun, di lapangan, hal berbeda terjadi. Barang-barang dalam kontainer itu ditolak masuk. Wiradadi mengakui, dalam pengiriman itu ada kesalahan pencatatan penghitungan volume barang. ”Ada ketentuan dalam SVLK bahwa tidak boleh ada kesalahan dalam persentase volume,” ujarnya.
Persentase kesalahan ini bisa timbul mengingat satu kontainer bisa diisi berbagai produk yang dimiliki beberapa pengirim. Pengiriman bersama-sama dalam satu kontainer itu untuk menghemat biaya pengiriman.
Ada diskriminasi
Namun, yang lebih mengganggu nalarnya bukan karena aturan tersebut, melainkan ia melihat koleganya sesama pengusaha mebel dari negara lain—lebih tepat disebut pesaing—lancar mengirim produk-produk mereka ke Jerman. Padahal, hanya Indonesia negara yang menjalin kerja sama perjanjian FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement, Governance, and Trade-Voluntary Partnership Agreement) dengan Uni Eropa (UE) sejak tahun 2014.
”Jadi malah ada diskriminasi pada produk-produk dari Indonesia (ke Uni Eropa),” ungkapnya. Barang dari Indonesia harus memiliki dokumen V-Legal, tetapi tak wajib bagi produk negara lain, untuk memasuki Uni Eropa.
Kerja sama itu dieratkan Indonesia dengan Uni Eropa pada tahun 2016. ”Ini makin berat buat kami. Padahal, kita tahu, mebel Indonesia itu 85-90 persen tidak memakai produk kayu hutan alam. Pakai kayu yang ditanam, seperti mahoni, sengon, dan paling banter jati Perhutani. Tidak pernah pakai (kayu) bangkirai atau merbau (pohon hutan),” tuturnya.
Baca juga : Wibawa Indonesia Dipertaruhkan
Dengan bahan baku kategori risiko rendah karena sebagian bukan dari kawasan hutan, mereka meminta produk mereka tak diperlakukan seperti produk berisiko tinggi atau bahan baku dari areal hutan. Permintaan mereka ini kerap diartikan sebagian orang sebagai upaya menghilangkan SVLK. Padahal, pengusaha menginginkan SVLK tetap ada, tetapi dikhususkan bagi produk-produk kayu berbahan baku berisiko tinggi.
Namun, dengan dalih memberi kemudahan investasi dan memangkas perizinan, pada 23 Februari 2020 lalu, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menandatangani Peraturan Mendag Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan. Aturan yang diundangkan pada 27 Februari 2020 ini mulai berlaku tiga bulan mendatang atau 27 Mei 2020.
Peraturan itu mengeluarkan 360 HS code (kode perdagangan antarnegara) produk industri kehutanan dari larangan dan pembatasan. Apabila sebelumnya ekspor produk-produk industri kehutanan diwajibkan mengantongi dokumen V-Legal, kini tak dibutuhkan lagi.
Para pemangku kepentingan, khususnya penyusun SVLK ataupun aktivis dan organisasi masyarakat sipil lingkungan/kehutanan, memprotes keras regulasi itu. Mereka menilai regulasi itu mementahkan upaya membangun perbaikan tata kelola hutan Indonesia sejak SVLK dibangun 17 tahun lalu. Langkah ini pun melemahkan SVLK dan membuat Indonesia kembali dicap sebagai penghasil kayu ilegal di dunia.
Regulasi itu mementahkan upaya membangun perbaikan tata kelola hutan Indonesia sejak SVLK dibangun 17 tahun lalu.
Tudingan pelemahan SVLK ini dibantah pemerintah. Asisten Deputi Pengembangan Investasi Kementerian Koordinator Perekonomian Ichsan Zulkarnaen menyatakan, permendag tersebut hanya memperbaiki peletakan tugas dan kewenangan. Pemberian persyaratan dokumen V-Legal tersebut bukan merupakan tugas Kementerian Perdagangan.
”Kalau mau atur legalitas kayu, letaknya bukan di Kementerian Perdagangan, tetapi di KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Kementerian Perdagangan itu fungsinya mendorong ekspor. Jadi, jangan tempatkan legalitas kayu sebagai syarat kepabeanan. Harusnya diletakkan pada KLHK,” katanya.
Dokumen V-Legal yang diterbitkan Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu akan tetap disediakan pemerintah bagi pengusaha yang membutuhkannya sebagai persyaratan untuk ekspor ke negara yang meminta bukti legalitas tersebut. Meski demikian, dokumen V-Legal diminta atau tidak oleh negara yang dituju, pemerintah tetap menjaga legalitas kayu.
Dalih pemerintah ini dinilai tak masuk akal oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), satu dari enam organisasi masyarakat sipil yang mengirim surat meminta Presiden memerintahkan pencabutan Permendag Nomor 15 Tahun 2020. Menurut Muhammad Ichwan, juru kampanye JPIK, tata kelola kayu di Indonesia kompleks dan minim pengawasan. Ketiadaan kewajiban dokumen V-Legal pada hilir itu hanya ideal pada kondisi tata kelola hutan dan pengawasan hutan yang telah baik.
Di Indonesia, rembesan kayu ilegal disinyalir masih sangat banyak dan rentan bercampur dengan kayu-kayu legal. Hal itu dibuktikan dengan berbagai kasus pembalakan liar yang masih berulang kali terjadi di Indonesia, bahkan pada hutan-hutan konservasi yang idealnya tak boleh satu ranting pun dipatahkan.
Karena itu, penerapan legalitas mengedepankan penelusuran dan pelacakan secara hulu-hilir atau sejak pohon ditebang, diolah, dan dipasarkan. Apabila satu bagian terputus, mekanisme penelusuran akan menemui jalan buntu dan rentan terjadi kongkalingkong. Legalitas yang diklaim pemerintah tersebut hanya akan menjadi sekadar persyaratan administratif.
Kehilangan kredibilitas
Dampak selanjutnya, SVLK Indonesia yang sedang dicontoh sejumlah negara di ASEAN dan Afrika menjadi kehilangan kredibilitasnya. Negara-negara yang mewajibkan kayu ”halal” akan menghindari produk dari Indonesia.
Padahal, data dari FLEGT Independent Monitor 2020 menunjukkan, nilai ekspor mebel kayu Indonesia bergantung pada pasar yang meminta legalitas. Artinya, SVLK menjadi kunci meningkatkan nilai ekspor. Pada tahun 2019, dari nilai ekspor mebel kayu Indonesia 1,4 miliar dollar AS, sebesar 1,2 miliar dollar AS berasal dari negara yang meminta jaminan legalitas.
Data Pemerintah Kabupaten Jepara di Jawa Tengah menunjukan, sejumlah 41 persen mebel kayu dari Kabupaten Jepara diekspor ke Eropa dan 33,2 persen ke negara yang terus mendorong penguatan legalitas kayu yang mereka impor.
Data ini menunjukkan, penghilangan kewajiban dokumen V-Legal/SVLK pada proses ekspor produk kayu Indonesia akan melemahkan daya saing produk ekspor Indonesia dan bukan stimulus yang tepat. Pasar yang mewajibkan legalitas kayu tersebut bisa dikuasai oleh pesaing, seperti Vietnam, yang awalnya belajar dari Indonesia.
Hal yang mungkin bisa dilakukan antara lain menurunkan tarif pengurusan dokumen V-Legal yang menurut Wiradadi mencapai Rp 250.000-Rp 300.000 per lembar. Keberpihakan bagi pelaku usaha kategori industri kecil menengah bisa ditunjukkan dengan tarif gratis serta melanjutkan pembiayaan sertifikasi gratis dari pemerintah.
Sebagai langkah mendesak lain yang dituntut sejumlah pemangku kepentingan, Presiden agar memerintahkan pencabutan Permendag No 15 Tahun 2020. Selain dinilai berlawanan dengan sejumlah regulasi di atasnya, permendag ini pun bisa membawa Indonesia kembali ke citra buruk masa lalu sebagai penghasil kayu ilegal alias abal-abal.