Arahkan Kebijakan Komprehensif ke Bidang Kesehatan
›
Arahkan Kebijakan Komprehensif...
Iklan
Arahkan Kebijakan Komprehensif ke Bidang Kesehatan
Pandemi Covid-19 mengguncang banyak lini. Resesi ekonomi di depan mata. Namun, dampak pandemi ini bisa diperkecil jika pemerintah mengarahkan kebijakan ke bidang kesehatan.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 dan kemungkinan resesi global membayangi perekonomian negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia. Dalam laporan bertajuk Asia Timur dan Pasifik di saat Covid-19, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat cukup dalam ke level 2,1 persen pada 2020. Covid-19 memukul perekonomian dari berbagai lini, internal dan eksternal.
Pemerintah berupaya memperkecil dampak Covid-19 dengan sejumlah kebijakan. Untuk mendalami kondisi dan respons ekonomi Indonesia, Kompas mewawancarai Lead Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia, Frederico Gil Sander, melalui sambungan telepon dari Jakarta, Selasa (31/3/2020). Berikut petikannya.
Alokasi anggaran penanganan Covid-19, termasuk stimulus fiskal, di Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara. Apakah anggaran itu cukup untuk menangani masalah ini?
Sangat sulit membandingkan respons kebijakan fiskal antarnegara karena kebutuhan setiap negara berbeda. Namun, Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan pembiayaan berkelanjutan. Alokasi anggaran yang ada tidak mungkin cukup untuk membiayai penanganan Covid-19 dan menjamin penghidupan warga. Di satu sisi, pemerintah perlu memperlebar defisit APBN (di atas 3 persen produk domestik bruto). Namun, wacana yang didiskusikan justru relaksasi defisit APBN yang bersifat temporer. Pemangku kebijakan harus punya rencana jelas dan kredibel tentang sifat temporer itu. Risiko yang mesti dikhawatirkan bukan masalah defisit APBN di bawah atau di atas 3 persen PDB, melainkan harus ada perencanaan untuk meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah.
Di sisi lain, karena alokasi anggaran terbatas, pemerintah harus benar-benar memastikan penyalurannya tepat sasaran. Di Australia dan Denmark, misalnya, penyaluran stimulus fiskal bisa tepat sasaran dan mudah karena menggunakan sistem. Di Indonesia, saat ini, masalah masih berkutat di pendataan. Selain masalah data, stimulus fiskal berupa bantuan langsung tunai harus ditingkatkan kepastian dan cakupannya bukan dalam rangka merespons Covid-19 saja. Jaring pengaman sosial harus diperkuat untuk mengantisipasi guncangan yang lebih besar di masa depan serta mempercepat proses pemulihan. Target program sosial harus mulai diarahkan untuk penduduk rentan miskin yang mayoritas bekerja di sektor informal.
Di Indonesia, saat ini, masalah masih berkutat di pendataan.
Bagaimana dengan rencana Indonesia menerbitkan obligasi pemulihan (recovery bond) untuk mendukung fiskal dan membiayai penanganan Covid-19?
Saya belum mengetahui detail tentang recovery bond. Namun, secara umum Indonesia membutuhkan tambahan pembiayaan untuk melindungi warganya dari pandemi Covid-19. Tentu langkah itu disahkan, tambahan anggaran dibutuhkan untuk menjamin penghidupan dan ketersediaan likuiditas dalam negeri. Meski demikian, penerbitan obligasi adalah strategi jangka pendek yang perlu dibarengi respons kebijakan lebih jelas dan berkelanjutan. Apalagi, ketika krisis ekonomi dan pandemi Covid-19 ini berakhir. Pendapatan negara, terutama dari pajak, harus ditingkatkan. Indonesia juga perlu pendapatan negara yang tinggi untuk memulai reformasi ekonomi pada 2021. Sebelum ada Covid-19, relaksasi kebijakan dalam omnibus law diperkirakan menggerus penerimaan negara hingga 0,4 persen PDB. Di tengah pandemi Covid-19, penting bagi pemerintah mengumumkan kembali kebijakan berkelanjutan, bukan hanya kebijakan jangka pendek yang sifatnya temporer. Momentum pemulihan ekonomi akan dimulai pada 2021 dan 2022. Pemerintah harus memiliki pendapatan yang cukup untuk merealisasikan berbagai reformasi yang sudah digaungkan.
Bagaimana respons kebijakan moneter untuk memperkecil dampak Covid-19 terhadap perekonomian?
Hal terpenting saat ini adalah membagi respons kebijakan moneter dalam tahapan yang berbeda. Selama pandemi Covid-19, mayoritas penduduk memilih tinggal di rumah. Akibatnya, kegiatan konsumsi dan investasi melambat. Dengan demikian, kebijakan moneter sebaiknya diarahkan untuk menjaga ketersediaan likuiditas ketimbang memangkas suku bunga. Transmisi pemangkasan suku bunga acuan justru tidak berdampak signifikan karena aktivitas produksi dan konsumsi melambat cukup dalam. Arah kebijakan Bank sentral di sejumlah negara saat ini fokus menjaga likuiditas dalam negeri untuk memberikan penghidupan. Respons kebijakan juga diarahkan untuk memperkecil dampak arus modal keluar, terutama dari pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Langkah apa yang bisa diambil pemerintah untuk memperkecil dampak Covid-19?
Seluruh kebijakan sebaiknya diarahkan ke bidang kesehatan. Saat ini masalah perekonomian bersumber dari Covid-19. Respons kebijakan di bidang kesehatan mesti komprehensif. Alokasi belanja dan investasi untuk kesehatan harus ditingkatkan dalam jangka panjang. Beberapa negara kini mulai melirik investasi teknologi di bidang kesehatan untuk kebutuhan masa depan.
Aspek-aspek apa yang harus diperhatikan agar karantina wilayah berjalan efektif? Bagaimana contoh dari negara lain?
Skema dan keputusan karantina wilayah harus berdasarkan pakar di bidang kesehatan publik. Namun, dari sudut pandang ekonomi, pemerintah harus melindungi penghidupan warga selama karantina wilayah berlangsung, terutama pasokan bahan pokok, obat-obatan, dan peralatan medis. Karantina wilayah harus dibarengi pembangunan rantai pasok yang baik agar tidak menimbulkan konflik sosial. Oleh karena itu, usaha di sektor manufaktur dan jasa penting untuk tetap beroperasi. Jangan sampai karantina wilayah justru menimbulkan penyakit baru karena rantai pasok bahan pokok dan obat-obatan tersendat. Fasilitas umum, seperti supermarket dan rumah sakit, tetap beroperasi.