Mimpi Sederhana Melanjutkan Hidup Sehari Lagi
Imbauan pembatasan sosial terus digaungkan di tengah pandemi Covid-19. Namun, imbauan itu rentan terabaikan saat sebagian orang terpaksa hidup dalam pengungsian dan bertarung di jalanan demi melanjutkan hidup.
Imbauan pembatasan sosial terus digaungkan di tengah pandemi Covid-19. Namun, imbauan itu rentan terabaikan saat sebagian orang terpaksa hidup dalam pengungsian dan bertarung di jalanan demi melanjutkan hidup.
Aula Desa Dayeuhkolot di Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kembali padat sesak manusia, Selasa (31/3/2020). Luapan Sungai Citarum membawa 174 warga setempat mengungsi ke sana.
Kondisinya tak ideal di tengah pandemi. Jarak antartempat tidur mereka kurang dari 1 meter. Rencana lari dari banjir sarat penyakit, mereka justru rentan tertular wabah berbahaya.
”Memang ada arahan membatasi interaksi. Tetapi, di sini kami tidak bisa apa-apa. Pergerakan terbatas. Apalagi kalau melihat orang tua, kasihan,” ujar Tita (46), koordinator pengungsian di Desa Dayeuhkolot.
Baca Juga: Citarum Kembali Rendam Lebih dari 10.000 Rumah di Kabupaten Bandung
Sebagian pengungsi lainnya mencoba mencari jarak. Mereka pilih menempati teras dan parkiran toko yang tutup di pinggir Jalan Raya Baleendah. Meskipun tidak seramai di pengungsian, pembatasan sosial hanya mimpi. Jarak antarkeluarga pengungsi hanya 1 meter, tak lebih.
Gun Gun Gunawan (33), warga Kampung Cilisung, Desa Dayeuhkolot, misalnya, tidur di lahan parkir salah satu toko di dekat kantor Kecamatan Dayeuhkolot. Mereka tidur hanya beralaskan terpal dan kasur gulung. Gun Gun mengungsi di lokasi itu sejak Senin (30/3/2020) malam. Dia khawatir banjir semakin besar dan menenggelamkan rumahnya.
”Ketinggian air sudah di atas 1 meter. Bingung mau bagaimana lagi. Di sini takut terpapar virus korona. Tetapi, kalau bertahan di rumah, takut anak sakit karena rumah lembab,” ujarnya.
Baca juga: Pasca-pembatasan Aktivitas Warga, Harga Bahan Pokok di Bandung Tetap Stabil
Hujan lebat, sejak Senin sore, menyebabkan banjir yang merendam lebih dari 10.000 rumah di tujuh kecamatan di Kabupaten Bandung. Tujuh kecamatan itu adalah Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Kutawaringin, Solokanjeruk, Ciparay, dan Cangkuang.
Ketinggian air mencapai di atas 2 meter. Banjir yang berdampak terhadap lebih dari 60.000 jiwa itu menjadi salah satu yang terparah sepanjang 2020. Sejumlah 1.600 warga mengungsi ke sejumlah tempat. Sebagian warga lainnya bertahan di loteng dan lantai dua rumah.
Masalah serupa
Akan tetapi, bahaya tak hanya di daerah rawan bencana. Kenyamanan ibu kota Provinsi Jabar tak membuat warganya lepas dari Covid-19. Penularannya juga mengancam warga Bandung yang bergantung hidup pada keramaian kota.
Keramaian ibarat pintu rezeki bagi Maman (38) untuk berjualan di sekitar Jalan IR H Djuanda, Selasa. Sudah delapan tahun ia bekerja di jalanan menjadi pedagang asongan.
Banjir merendam lebih dari 10.000 rumah di tujuh kecamatan di Kabupaten Bandung. Tujuh kecamatan itu adalah Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Kutawaringin, Solokanjeruk, Ciparay, dan Cangkuang.
Dia menjual rokok dan minuman ringan untuk sopir angkutan umum dan pengguna jalan lainnya. Siang itu, ia tak bermasker, tiada sarung tangan, apalagi cairan pembersih tangan. Virus bisa dengan mudah menghantamnya.
Bapak tiga anak itu bukannya tidak khawatir ancaman Covid-19 yang tengah mewabah. Namun, dia lebih takut jika esok istri dan anak-anaknya tidak makan. ”Kecuali pemerintah mau mengganti penghasilan harian, saya pasti tinggal di rumah,” ujarnya.
Maman tidak sendiri. Di jalanan, masih banyak orang yang tetap bekerja. Sebagian besar dari mereka nyaris tanpa perlindungan kesehatan memadai. Beberapa pengemudi ojek daring tetap bekerja di tengah orderan yang semakin sepi.
Roni (30), pengemudi ojek daring di Jalan Asia Afrika, misalnya. Siang itu, hingga pukul 14.00, dia baru mendapat tiga orderan. Padahal, biasanya, ia telah mendapat tujuh orderan. Untuk melindungi diri dari penularan virus, Roni kerap menggunakan masker dan sarung tangan. Dia menyadari itu tidak menjamin dirinya bebas dari risiko penularan. Namun, dia tidak punya pilihan lain.
Dia menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Istrinya tidak bekerja.
”Kalau sampai lockdown (karantina total), matilah saya,” ujarnya.
Berada dekat dengan epsientrum Jakarta, Jabar menjadi daerah rawan penularan Covid-19. Hingga Selasa pukul 18.00, pasien positif Covid-19 di Jabar berjumlah 180 orang.
Baca juga: Ujian UMKM Menahan Korona
Sembilan pasien sembuh dan 20 pasien meninggal. Pasien dalam proses pengawasan berjumlah 723 orang, sementara 9.614 orang dalam proses pemantauan.
Untuk meminimalkan penularan, Pemprov Jabar menerapkan aturan karantina wilayah parsial. Dalam aturan ini, hanya tingkat RT, RW, desa/kelurahan, dan kecamatan dengan tingkat penyebaran Covid-19 cukup masif yang bisa melakukan pembatasan kegiatan.
Selama karantina, mobilitas orang akan dibatasi, kecuali untuk urusan pangan dan kesehatan. Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan bantuan bagi warga yang perekonomiannya terdampak Covid-19. Bantuan sebesar Rp 500.000 per keluarga itu akan diserahkan kepada 1 juta keluarga.
Bantuan diprioritaskan untuk warga rawan miskin baru. Sejumlah 2/3 dari bantuan tersebut akan disalurkan dalam bentuk bahan pangan. Sementara sisanya berbentuk uang tunai.
”Semoga minggu ini sudah ditemukan orang-orang kategori miskin baru atau rawan miskin yang akan mendapatkan bantuan,” ujarnya.
Total anggaran bantuan ini diperkirakan Rp 5 triliun yang diproyeksikan untuk dua bulan. Dananya bersumber dari penggeseran anggaran di APBD, seperti perjalanan dinas dan bantuan dana desa.
Semoga dalam minggu ini sudah ditemukan orang-orang kategori miskin baru atau rawan miskin yang akan mendapatkan bantuan.
Dari lantai dua rumah yang dibangun darurat untuk hidup di antara banjir bersama keluarga, Dadang (58) mencoba mematuhi aturan pemerintah itu. Bukan tak ingin pergi ke pengungsian, melainkan warga Bojong Asih, Dayeuhkolot, itu cemas tertimpa tangga dua kali, jadi korban banjir sekaligus rentan tertular Covid-19.
Akan tetapi, ia tak bisa memastikan bakal bertahan sampai kapan. Janji pemerintah memberikan bantuan hidup di tengah bencana, apalagi pandemi, belum ia dengar.
Apabila banjir semakin tinggi, persediaan logistik habis, atau cuaca dingin membuat anggota keluarganya sakit, ia bakal nekat keluar rumah dan bergabung dengan keramaian. Luapan air dan ancaman penyakit menular tak penting lagi baginya. Mimpinya sederhana, terus melanjutkan hidup sehari lagi.
Di tengah keadaan serba terbatas, jejak-jejak mereka yang terpinggirkan kerap terlupakan. Berulang kali bertahan hidup di tengah minimnya mitigasi jadi santapan ironi bagi mereka sehari-hari.