Andong pernah menjadi moda transportasi penumpu aktivitas warga di Pulau Jawa. Seiring masa, putaran rodanya melambat, tersingkir di antara kencangnya moda-moda lain. Namun, para kusir beradaptasi agar terus bertahan.
Oleh
Regina Rukmorini/Erwin Edhi Prasetya/Aditya Putra Pradana/Nino Citra Anugrahanto
·5 menit baca
Sarjono (48) bersandar santai di jok andongnya sambil memandangi lalu lalang orang di depan Pasar Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (31/1/2020). Hingga tengah hari, ia belum sekali pun membawa penumpang. Tiga puluh tahun menjadi kusir, lamunannya terbang ke masa jaya andong.
”Tahun 1980-an sampai 1990-an, tiap hari saya kerja dari pukul tujuh pagi sampai menjelang sore enggak berhenti. Ngantar ibu-ibu pulang dari pasar bolak-balik,” tutur warga Desa Congkrang, Kecamatan Muntilan, itu penuh semangat.
Pada era 1990-an, pemilik sepeda motor di Muntilan sangat sedikit, apalagi mobil. Saingan andong saat itu hanya bus. Alhasil, penghasilan Sarjono sebagai kusir andong sangat mencukupi, bahkan bisa dibilang lebih. Hasil menarik andong pula yang digunakan untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Banyak kuda dijual dan diganti motor. Mereka ngojek dan kini jadi ojek online.
Banyak tetangga Sarjono kala itu bekerja sebagai kusir andong. Di desanya saja, ada sekitar 150 kusir. Selain di Pasar Muntilan, mereka juga mangkal di sekitar terminal. Seiring waktu, pilihan transportasi kian banyak. Zaman seperti menuntut aktivitas makin cepat.
Sarjono dan para kusir lain menjadi saksi perubahan peradaban transportasi itu. Saat andong tak lagi dilirik sebagai sarana transportasi harian, banyak kusir menyerah. Sekitar tahun 2010, warga Desa Congkrang yang masih bertahan menjadi kusir hanya 25 orang, termasuk Sarjono.
”Banyak kuda dijual dan diganti motor. Mereka ngojek dan kini jadi ojek online. Ada juga yang jadi petani, pedagang, atau buruh bangunan,” ujarnya.
Nasib sama dialami para kusir di daerah lain. Tukiyo (78), warga Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jateng, awalnya kusir gerobak barang yang ditarik kuda sejak 1973. Ia biasa mengangkut hasil bumi milik para juragan di Stasiun Jebres.
Kalah bersaing dengan kendaraan bak terbuka, ia beralih menjadi kusir andong sejak 1992 dan mangkal di Stasiun Balapan. ”Sehari saya bisa 3-4 kali angkatan mengantar penumpang,” ujarnya.
Lagi-lagi, andong Tukiyo tak mampu bersaing dengan mesin. Menjamurnya ojek dan taksi daring belakangan membuat andong kian tersisih. Betapa tidak, taksi daring menawarkan tarif yang jauh lebih murah ketimbang andongnya.
Untuk mengantar ke Pasar Klewer atau Keraton Surakarta, misalnya, Tukiyo memberi tarif Rp 40.000-Rp 50.000, sedangkan taksi daring bisa kurang dari Rp 20.000. ”Tahun 2014-2015 mulai sulit sekali dapat penumpang dari Stasiun Balapan,” katanya.
Wisata
Secara alami, para kusir andong seperti Tukiyo pun beradaptasi agar terus bertahan. Dari angkutan aktivitas harian, mereka pun menyasar pasar wisatawan dan minat khusus.
Tukiyo, misalnya, sejak 2015 bergeser tempat mangkal ke dekat pintu masuk Museum Keraton Surakarta. Ia menunggu wisatawan yang ingin diantar memutari kompleks keraton atau mengantar mereka ke area parkir bus wisata di Benteng Vastenberg.
Dengan sasaran wisatawan, ia bisa mematok harga lebih tinggi. Untuk paket komplet berkeliling Alun-alun Utara dan Selatan, misalnya, dia menawarkan tarif Rp 100.000. Namun, tarif akhir tetap ditentukan tawar-menawar dengan konsumen.
Imbasnya, Tukiyo tak setiap hari dapat pelanggan. ”Kalau hari biasa, ya, sepi. Kadang dapat, kadang tidak. Kalau musim liburan, bisa 1-2 kali putaran. Tidak banyak juga karena kalau liburan, ada 15-an andong di sini (keraton). Jadi, harus antre giliran terima penumpang,” tuturnya dalam bahasa Jawa.
Sukamto (67), kusir andong yang sejak 1975 mangkal di depan Stasiun Ambarawa, Kabupaten Semarang, berkisah, dulu andong menjadi moda transportasi andalan penumpang kereta api. Saat itu, jalur menuju Stasiun Kedungjati melintasi Stasiun Ambarawa masih aktif.
Banyak orang berdagang membawa kayu, daun jati, dan buah-buahan menaiki andong. Namun, kini, ia hanya mengandalkan pengunjung stasiun yang juga merupakan museum wisata. Hal senada terjadi di Jalan Malioboro, jantung Kota Yogyakarta.
Para kusir andong dalam 4-5 tahun terakhir praktis hanya mengandalkan geliat wisata. Padahal, hingga awal 2000-an, andong masih diandalkan pedagang dan pembeli di Pasar Beringharjo. Jumar (70), salah satu kusir andong di Jalan Malioboro, sudah biasa dengan hal ini. ”Hari biasa bisa mengangkut penumpang satu kali saja sudah untung. Tidak jarang saya pulang enggak bawa uang,” ujarnya.
Penumpang biasanya ramai hanya saat musim libur sekolah atau perayaan hari besar agama. Saat-saat seperti itu, ia bisa mendapat Rp 300.000-Rp 400.000 per hari. ”Kalau pas ramai, sedikit-sedikit disimpan buat kebutuhan jika sedang sepi di hari lain,” ucap Jumar. Ia mengatakan, seiring usia lanjut, dirinya hanya bisa menarik andong maksimal enam jam sehari.
Hari biasa bisa mengangkut penumpang satu kali saja sudah untung. Tidak jarang saya pulang enggak bawa uang.
Padahal, pengeluaran untuk perawatan andong cukup banyak. Setiap hari, sedikitnya Rp 50.000 harus disisihkan untuk pakan kuda. Belum lagi tapal kuda harus diganti setiap 7-10 hari sekali sebesar Rp 100.000.
Andong memang sudah tak relevan diposisikan sebagai angkutan yang membantu pergerakan manusia. Kepala Seksi Angkutan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta Dany Kistiarto berujar, dalam konteks terkini, andong hendaknya diposisikan sebagai angkutan wisata.
”Ini terkait pelestarian. Andong adalah angkutan yang dilestarikan sebagai salah satu ikon daerah,” ujarnya. Hal serupa disampaikan Kepala Dinas Perhubungan Solo Hari Prihatno. Pemerintah Kota Solo memberi ruang bagi andong dan bendi untuk wisata sebagai salah satu kekhasan daerah.
Andong juga diizinkan masuk ke area car free day atau hari tanpa kendaraan sebagai sarana wisata warga. Bahkan, di Yogyakarta, pengoperasian andong diatur dalam Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 25 Tahun 2010 tentang Kendaraan Tidak Bermotor dan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2016 tentang Moda Transportasi Tradisional Becak dan Andong.
Regulasi daerah itu mengharuskan kondisi kuda sehat, sedangkan andong mesti dilengkapi bel dan lampu serta dijaga kebersihannya. Jiakar Dahlan (55), pelancong asal Kalimantan Tengah, mengatakan begitu menikmati perjalanan dari Tamansari ke Malioboro dengan andong.
”Saya sengaja ingin menikmati suasana Yogya. Naik andong, kan, pelan, jadi lebih santai. Lebih bisa menikmati semua hal,” katanya. Bertarung di zaman yang menawarkan kepraktisan dan kecepatan, sejumlah kusir andong tetap bertahan di jalanan.
Walau perannya tak sevital dulu, mereka yakin kebersahajaan perjalanan yang ditawarkan angkutan andong akan selalu dirindukan.