Yosep Anggi Noen: Berpikir Kreatif untuk Menjaga Antusiasme Penonton
›
Yosep Anggi Noen: Berpikir...
Iklan
Yosep Anggi Noen: Berpikir Kreatif untuk Menjaga Antusiasme Penonton
Sutradara Yosep Anggi Noen berbicara tentang industri perfilmaan yang harus kreatif menghadapi masa sulit di tengah merebaknya virus korona baru di Indonesia.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
April seharusnya menjadi bulan yang sibuk untuk sineas Yosep Anggi Noen. Setelah berkeliling di 20 negara, karyanya yang berjudul The Science of Fictions seharusnya mulai diputar di bioskop di Indonesia. Namun, rilis film itu harus ditunda karena wabah Covid-19.
”Soal detail waktu kami tidak bisa bilang, tetapi yang jelas ada penyesuaian rilis. Film ini sudah keliling dunia. Ketika sedang semangat-semangatnya rilis di Indonesia, malah ada situasi darurat ini,” kata Anggi Noen saat dikonfirmasi, Senin (30/3/2020).
Anggi merupakan lulusan dari Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Ia meraih Piala Citra untuk Sutradara Terbaik (2016). Beberapa karyanya pernah ditayangkan di festival film internasional, seperti International Film Festival Rotterdam (Hujan Tak Jadi Datang), Locarno Film Festival (Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya), dan Vancouver International Film Festival 2013 (berhasil mendapatkan Special Mention Award untuk Vakansi).
Anggi kemudian mendapatkan ide untuk memproduksi kisah The Science of Fictions yang bercerita tentang Siman (diperankan Gunawan Maryanto), seorang pria pendiam yang tak sengaja menyaksikan shooting pendaratan di Bulan oleh para kru asing. Siman ditangkap oleh para penjaga dan lidahnya dipotong agar tak menyebarkan rekayasa pendaratan di Bulan. Dalam film ini, Anggi menyoroti fenomena tentang bagaimana kebohongan direproduksi dan sejauh mana kita mengimaninya sebagai kebenaran.
The Science of Fictions tayang perdana pada tingkat Asia dalam Busan International Film Festival 2019 dan juga ditayangkan di festival Locarno Film Festival ke-72 di Locarno, Swiss, Agustus tahun lalu. Penundaan penayangan film di Indonesia, menurut Anggi, sangat mengganggu karena The Science of Fictions bukanlah film dengan budget promosi terbatas.
Berikut petikan wawancara bersama Yosep Anggi Noen.
Halo Anggi, apa kabar? Apa kegiatan akhir-akhir ini?
Kabar baik. Seharusnya bulan ini fokus pemutaran film The Science of Fictions. Tetapi, karena ditunda, memang tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan. Paling hanya persiapan riset untuk produksi film selanjutnya, tetapi masih lama karena produksi masih tahun depan.
Di tengah peringatan Hari Film Nasional, industri film nasional menghadapi tantangan akibat Covid-19. Apa dampak dari Covid-19 yang paling terasa?
Dampak yang paling terasa untuk saya tentu saja tertundanya rilis film The Science of Fictions. Film ini saya buat bukan dengan uang banyak untuk biaya promosi. Sekarang, saya harus berpikir kreatif untuk menjaga ingatan orang-orang yang sempat menonton film ini. Selama beberapa bulan terakhir, film ini sudah traveling ke seluruh dunia. Bisa dikatakan, dengan penundaan penayangan di Indonesia, amunisi promosi sudah habis. Tetapi, ini kembali mengingatkan bahwa saya bekerja di industri kreatif, jadi harus berpikiran kreatif untuk menyiasati situasi ini. Jangan malah jadi mandek (berhenti).
Apa yang dilakukan untuk menjaga ingatan dan antusiasme penonton?
Saya paling suka dengan adanya inisiatif untuk diskusi secara virtual menjabarkan proses kreatif di balik produksi film. Diskusi kreatif bersama sejumlah sutradara besar ini ibaratnya menjaga umat film masing-masing. Setiap sutradara, kan, mempunyai umatnya. Nah, dengan diskusi ini bisa menjaga antusiasme dari penonton. Diskusi juga membuat orang bisa belajar dari pihak-pihak yang terlibat dalam industri film. (Catatan Redaksi: Dalam rangka peringatan Hari Film Nasional 2020, Anggi Noen bersama sutradara Angga Dwimas Sasongko akan berbicara secara virtual melalui Instagam Ifdclub pada Jumat, 3 April 2020.)
Selain itu, saya juga membagikan tautan film lama saya kepada masyarakat yang sekarang banyak bekerja di rumah. Menonton film secara digital banyak dilakukan masyarakat, hal itu saya manfaatkan. Ini penting untuk menjaga umat menonton film. (Catatan Redaksi: Melalui Twitter, pada Sabtu (28/3/2020), Anggi berkicau mengenai film pendek berjudul Rumah yang produksi di Okinawa, Jepang).
Apa yang dipelajari dari munculnya wabah Covid-19 yang memengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat, termasuk industri perfilman?
Situasi ini membuat saya merenung secara profesional bahwa hal paling berharga adalah kesehatan dan manusia. Film dibuat oleh manusia untuk manusia. Setelah semua ini berlalu, kita semua harus berpikir nantinya saat bangkit lagi bagaimana proses mengembangkan industri ini agar manusiawi? Jangan sampai kita melanjutkan kebiasaan memproduksi film selama 20 jam per hari. Ini sistem bekerja yang buruk dan membuat orang tidak bisa istirahat. Situasi ini terjadi karena pengaturan budget tidak seimbang atau penekanan budget. Harapan saya begitu industri film ini bangkit, kita bisa mengembangkan industri yang berpihak pada kemanusiaan dan mengutamakan kesehatan semua orang yang terlibat.
Apa antisipasinya apabila wabah Covid-19 terjadi berkepanjangan?
Saya tidak tahu ini akan terjadi seberapa lama. Kalau memang sangat lama, tentu jalan keluarnya tidak bisa sendirian karena ini merupakan industri, harus ada kebijakan yang saling berkesinambungan. Ada banyak hal yang terjadi di depan, itu yang tidak kita tahu. Hal yang saya tahu, kita semua harus berpikir kreatif menyiasati situasi ini. Membicarakan virus korona saja sudah menjadi misteri dan ada banyak perasaan yang muncul, orang jadi bersedih dan bumi seperti calm down, ini saja memunculkan pertanyaan untuk selanjutnya saya akan membuat film seperti apa. Wabah ini sesuatu yang besar sekali, yang ternyata semua orang mengalaminya. Saya jadi berpikir, apa yang bisa kita lakukan untuk mencatat hari ini?