Aktivitas Pabrik di Asia dan Eropa Lesu karena Covid-19
›
Aktivitas Pabrik di Asia dan...
Iklan
Aktivitas Pabrik di Asia dan Eropa Lesu karena Covid-19
Anjoknya permintaan global membuat aktivitas pabrik di Asia dan Eropa lesu. Kondisi resesi ekonomi siap-siap terjadi jika kelesuan itu berlanjut.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
LONDON, RABU — Aktivitas pabrik-pabrik di sebagian besar wilayah Asia dan Eropa cenderung lesu sepanjang Maret seiring dengan kian meluasnya pandemi Covid-19. Dampak yang segera terasa adalah lumpuhnya aneka aktivitas perekonomian. Jika kondisi seperti itu terus berlangsung, dunia akan berhadapan dengan hadirnya resesi.
Berdasarkan data survei Purchasing Managers’ Index (PMI), Rabu (1/4/2020), aktivitas manufaktur di negara-negara Eropa dan Asia jatuh. Dilaporkan telah terjadi peningkatan aktivitas industri yang moderat di China.
Namun, peningkatan itu dikhawatirkan tidak dapat mengonversi perlambatan tajam yang terjadi di sejumlah negara, terutama di negara-negara yang menjadikan ekspor sebagai basis pertumbuhan ekonomi mereka, seperti Jepang dan Jerman.
Pandemi Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 850.000 orang di seluruh dunia dan memaksa pabrik, toko, dan sekolah tutup. Penutupan itu dilakukan karena banyak negara telah menerapkan kebijakan penutupan wilayah untuk membendung laju pandemi Covid-19.
Di sisi lain, situasi itu telah membalikkan rantai pasokan dan menghancurkan permintaan barang. Konsumen khawatir tentang prospek pekerjaan mereka sehingga mereka mau tidak mau harus mengekang pengeluaran dan tetap tinggal di dalam rumah.
Di zona Euro, data manufaktur terbaru yang menggambarkan aktivitas sepanjang Maret–merujuk pada data IHS Markit–merosot ke level terendah sejak pertengahan 2012, ketika krisis utang melanda Eropa. Hasil produksi pabrik-pabrik Inggris menyusut, pada laju tercepat, sejak krisis utang. Hal itu sebagai akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan aneka penundaan produksi sekaligus memukul kepercayaan bisnis.
”Dengan konsumen menekan semua pengeluaran di tengah kondisi yang tidak pasti saat-saat ini, sektor manufaktur pasti akan tertekan lebih jauh,” kata Samuel Tombs dari lembaga Pantheon Macroeconomics.
Resesi
Para manajer dana-dana global yang disurvei Reuters menilai ekonomi dunia saat ini sudah dalam kondisi resesi. Penilaian ini juga serupa dengan jajak pendapat Reuters terhadap para ekonom sebelumnya. Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pandemi Covid-19 telah mendorong ekonomi global ke dalam resesi.
Lembaga itu pun menyerukan kepada negara-negara untuk merespons dengan pengeluaran ”sangat masif” untuk menghindari kebangkrutan dan gagal bayar utang di pasar negara-negara berkembang. Dalam analisis–yang menunjukkan kondisi resesi sudah semakin jelas tanda-tandanya–para investor di pasar keuangan pun menentukan sikapnya.
Mereka cenderung memindahkan aset mereka dan beralih ke surat-surat utang pemerintah, dollar AS, dan emas.
Para pembuat kebijakan di seluruh dunia telah mengumumkan langkah-langkah stimulus moneter dan fiskal besar-besaran untuk mengerem dampak buruk pandemi pada kinerja ekonomi. Stimulus juga diharapkan dapat menjaga peluang bisnis tetap terbuka sehingga pada akhirnya dapat menopang ketenagakerjaan.
Namun, langkah-langkah itu dinilai tidak mampu mengejar efek langsung sekaligus cepat yang sifatnya merusak, khususnya yang berpengaruh pada modal perusahaan-perusahaan. Pada saat yang sama, krisis utang pun diperkirakan dapat mengganggu bisnis perbankan.
Marjinal
Data menunjukkan aktivitas pabrik China meningkat sedikit lebih baik dari yang diperkirakan setelah jatuh pada sebulan sebelumnya. Namun, pertumbuhannya terlihat marjinal. Kondisi itu menunjukkan tekanan yang kuat di tengah belum pulihnya permintaan domestik dan sekaligus merosotnya ekspor karena anjloknya permintaan global. Di tengah kondisi yang belum pasti di China, aktivitas manufaktur di Korea Selatan menyusut cepat dalam 11 tahun terakhir.
Hal itu terjadi karena banyak mitra dagang Korsel memberlakukan langkah-langkah dramatis untuk mengekang penyebaran Covid-19. ”Jika Anda melihat angka-angka di Korsel, angka-angka itu cukup buruk. Kemungkinan masih akan makin buruk karena Korsel akan bergantung pada kondisi Eropa dan Amerika Serikat,” kata Rob Carnell, kepala ekonom Asia-Pasifik ING di Singapura.
Maret lalu, aktivitas pabrik di Jepang mengalami kontraksi tercepat dalam sekitar satu dekade. Kondisi ini menambah pandangan bahwa negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia itu kemungkinan sudah berada dalam kondisi resesi. Sebuah survei terpisah oleh Bank of Japan menunjukkan–dalam tempo tiga bulan, Januari hingga Maret–sentimen bisnis memburuk ke level terendah dalam kurun waktu tujuh tahun. Pandemi merongrong aneka sektor, dari perhotelan hingga otomotif. (REUTERS)