Iran Diduga Bersiap Menyerang Obyek Vital AS di Irak
›
Iran Diduga Bersiap Menyerang ...
Iklan
Iran Diduga Bersiap Menyerang Obyek Vital AS di Irak
Pangkalan dan kedutaan asing di Baghad, Iran, khususnya misi AS, telah menjadi sasaran lebih dari dua lusin serangan roket sejak akhir Oktober 2019. Itu sebabnya AS terus memperkuat pertahanannya di Irak.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON DC, KAMIS — Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan menyerang secara terbuka jika militer Iran atau kelompok militer yang didukungnya kembali menyerang instalasi vital AS di Irak. Menurut laporan intelijen yang diterima Trump, Iran akan terus menyerang pangkalan dan personel militer AS di negara tetangga Iran itu.
Sebaliknya, Presiden Iran Hassan Rouhani menilai kesempatan telah tertutup bagi Pemerintah AS untuk mengangkat berbagai sanksi kepada Iran yang dinilai banyak pihak tidak adil, tidak manusiawi, khususnya ketika Iran tengah berjuang untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Ancaman itu disampaikan Trump, Rabu (1/4/2020) atau Kamis waktu WIB. ”Kami tidak ingin bermusuhan. Namun, kalau mereka melakukan tindakan permusuhan kepada kami, mereka akan menyesalinya, seperti menyesali tindakan mereka terdahulu,” kata Trump.
Selama beberapa hari terakhir, Washington melakukan tekanan verbal terhadap Teheran, baik dilakukan langsung oleh Trump maupun melalui Menteri Luar Negeri Mike Pompeo.
Tekanan verbal itu dilakukan Pemerintah AS setelah memperoleh informasi intelijen, yang diyakini cukup sahih bahwa Kementerian Intelijen dan Keamanan Iran terlibat pembunuhan pembangkang Iran, Masoud Molavi, 14 November 2019, di Istanbul, Turki. Pembunuhan itu dilakukan dua perwira intelijen di Konsulat Iran di Istanbul.
Pompeo, dalam cuitannya pada Rabu malam, mengatakan, laporan yang menyebutkan bahwa ”diplomat” Iran melakukan pembunuhan sangat mengganggunya.
Ketegangan di antara musuh bebuyutan ini meningkat setelah Washington secara sepihak memutuskan keluar dari kesepakatan perjanjian nuklir (JCPOA) pada 8 Mei 2018. Keterangan terus memanas setelah AS membunuh pejabat militer penting Iran Mayor Jenderal Qasem Soleimani lewat serangan pesawat nirawak di dekat bandara Baghdad awal Januari lalu. Tindakan AS ini hampir berujung pada perang terbuka kedua negara.
Sekitar 7.500 tentara asing berada di Irak sebagai bagian dari koalisi pimpinan-AS yang membantu militer negara tersebut memerangi kelompok-kelompok pemberontak. Namun, secara bertahap, keberadaan pasukan koalisi pimpinan AS itu mulai berkurang secara signifikan bulan ini.
Pangkalan-pangkalan dan kedutaan asing di Baghdad, khususnya misi AS, telah menjadi sasaran lebih dari dua lusin serangan roket sejak akhir Oktober.
Serangan demi serangan yang terjadi ke pangkalan militer pasukan koalisi pimpinan AS, yang sempat menewaskan beberapa prajurit AS dan Inggris, membuat AS memutuskan memperkuat pertahanannya di Irak.
Sistem pertahanan antirudal Patriot milik AS mulai dipersiapkan di beberapa pangkalan militer, yaitu pangkalan militer Ain Al-Asad di bagian barat Irak. Satu lagi dipasang di pangkalan militer Arbil, wilayah otonomi Kurdi.
Iran menganggap bahwa pemasangan sistem antirudal Patriot milik Washington bisa membawa kawasan Timur Tengah menjadi medan peperangan kembali. Apalagi Washington belum menerima lampu hijau untuk memasang sistem pertahanan antirudal Patriot ini dari pemerintah Irak.
”Keberadaan peralatan dan kegiatan miiter AS di wilayah ini akan memicu ketidakstabilan kawasan dan bencana,” kata Pemerintah Iran dalam pernyataannya.
Pelaksana tugas Perdana Menteri Irak, Adel Abdel Mahdi, Senin lalu, menolak adanya kemungkinan serangan militer ofensif tanpa persetujuan Baghdad. Dia tidak merujuk secara khusus kemungkinan itu terhadap Pemerintah AS.
Kehilangan kesempatan
Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan, tindakan Washington melakukan teror verbal hingga menempatkan sistem pertahanan antirudal milik mereka di Irak sebagai langkah yang tidak tepat.
Begitu juga dengan penerapan sanksi atas Iran yang terus berlangsung, yang membuat Iran tidak memiliki sumber daya untuk memerangi wabah Covid-19 di negara tersebut.
”Ini adalah saat tepat bagi Amerika karena telah mengambil jalan yang salah dan juga kesempatan untuk menjelaskan kepada rakyat Amerika bahwa mereka tidak bermusuhan dengan rakyat Iran,” kata Rouhani.
Dia menilai Pemerintah AS tidak pernah belajar dari kesalahan yang pernah dibuatnya di masa lampau.
Dia juga mengatakan, negara lain akan memberikan penghormatan kepada AS apabila mundur dari kawasan ini. ”Tidak akan ada yang menyalahkan mereka kalau mereka menarik pasukannya. Ini adalah masalah kemanusiaan,” katanya.
Iran, seperti halnya banyak pemerintahan di dunia saat ini, berperang dengan pandemi global Covid-19. Hingga saat ini, menurut Kementerian Kesehatan Iran, warga yang meninggal akibat penyakit Covid-19 di Iran telah melebihi angka 3.000 orang.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Iran, Kianoush Jahanpour, mengatakan, terdapat 2.987 kasus baru dalam 24 jam terakhir sehingga total kasus aktif yang ditangani Iran saat ini berjumlah 47.593. Dari jumlah tersebut, 15.473 pasien yang menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Pemerintah Iran kesulitan mendapatkan suplai alat-alat kesehatan untuk menunjang kerja tenaga kesehatan mengobati para pasien. Beberapa negara, seperti Azerbaijan, Inggris, China, Perancis, Jerman, Jepang, Qatar, Rusia serta Uni Emirat Arab, telah mengirimkan suplai alat kesehatan untuk membantu Iran.
Perancis, Jerman, dan Inggris adalah tiga negara Eropa yang menginsiasi penerapan mekanisme Instrument in Support of Trade Exchange (Instex) untuk mengekspor barang-barang medis ke Iran. Melalui Instex, perdagangan dengan Iran tidak perlu menggunakan dollar AS. (AP/AFP/REUTERS)