Masa karantina mandiri di rumah dapat dimanfaatkan untuk berkontemplasi. Hal tersebut penting untuk menjaga kesehatan mental di masa serba sulit ini.
Oleh
sekar gandhawangi
·4 menit baca
Karantina mandiri tidak selamanya buruk. Ketika beberapa orang mengeluh bosan terkurung di rumah, beberapa yang lain memanfaatkan masa ini untuk mengenal diri lebih jauh. Kontemplasi dilakukan untuk menjaga kewarasan saat dunia sedang kacau.
Dalam film Escape Plan 2: Hades (2018), Ray Breslin (Sylvester Stallone) menekankan pentingnya berpikir jernih kepada Shu (Xiaoming Huang). Logika harus dikedepankan. Hal itu berlaku walaupun Shu terjebak di penjara dengan sistem keamanan yang nyaris mustahil ditembus, Hades.
Ray yang seorang ahli di bidang keamanan mengajarkan tiga hal penting untuk kabur dari penjara. Pertama, kenali tata letak penjara. Kedua, pelajari rutinitas yang terjadi. Ketiga, cari bala bantuan.
Sebelum menjalankan itu semua, Shu meneguhkan batinnya terlebih dulu. Ia bermeditasi di dalam sel agar pikirannya tetap jernih. Ia tahu bahwa masa awal di penjara adalah masa sulit. Itu merupakan saat ketika pihak penjara berusaha menghancurkan mentalnya.
Sikap Shu di film ini merupakan contoh bagus untuk diadaptasi di kehidupan nyata. Saat kondisi sedang kacau dan tampak tidak ada harapan, kewarasan adalah modal utama untuk selamat. Ini juga berlaku di masa pandemi Covid-19.
Mahasiswa tingkat akhir Nia (24) mulanya mengandalkan gawai dan media sosial untuk menghabiskan waktu selama wabah berlangsung. Kamar indekos seluas sekitar enam meter persegi yang ia tempati membatasinya melakukan aktivitas lain. Kondisi ini sempat membuatnya sesak karena ia terbiasa beraktivitas di luar ruangan.
”Sudah dua minggu aku ada di indekos. Lumayan takjub sama diri sendiri karena bisa bertahan sendirian di dalam kamar selama itu. Sebenarnya, aku bosan banget,” kata Nia, Rabu (1/4/2020).
Ketika jengah dengan ponselnya, Nia akan diam dan berinteraksi dengan suara di dalam kepalanya (inner voice). Ia berbicara dengan diri sendiri (self-talk), kemudian merefleksikan kehidupannya di masa lalu, masa kini, dan masa depan.
”Selama ini aku sudah melakukan apa saja, ya? Apa aku senang menjalaninya? Apa yang mau dilakukan nanti saat lulus? Lebih kurang itu yang aku pikirkan ketika self-talk,” katanya.
Selama ini aku sudah melakukan apa saja, ya? Apa aku senang menjalaninya? Apa yang mau dilakukan nanti saat lulus? Lebih kurang itu yang aku pikirkan ketika self-talk.
Berbicara dengan diri sendiri tidak rutin dilakukan mahasiswa fakultas teknik itu. Waktunya lebih sering dihabiskan dengan menyibukkan diri. Masa karantina memberinya waktu untuk lebih mengenal diri sendiri.
Penerimaan diri
Self-talk membawa perubahan positif bagi Nia. Ia kini bisa berdamai dengan hal-hal yang memberatkannya di masa lalu. Spiritualitasnya meningkat dengan self-talk. ”Aku belajar bahwa ada pelajaran di segala hal yang kualami,” katanya.
Jihan (23) juga melakukan self-talk sejak bertahun-tahun lalu. Hal itu ia lakukan di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Biasanya, kebiasaan ini muncul secara tiba-tiba. Berbicara dengan diri sendiri ia yakini sebagai cara untuk tetap berpikir dengan jernih.
Dengan self-talk, Jihan dapat mengomando diri untuk bijak mengolah emosi. Berdialog dengan diri sendiri membuatnya tahu kapan harus menyalurkan emosi negatif dan positif.
Profesor di bidang psikologi Universitas Michigan, Ethan Kross, seperti dikutip dari New York Times, mengatakan, berbicara dengan diri sendiri membuat kita dapat melihat segala hal secara obyektif. Hal ini berguna bagi kebaikan kondisi psikologis manusia. Sebab, bahasa memfasilitasi setiap orang untuk berjarak dengan pengalamannya sendiri saat berkontemplasi.
Ada dua tipe self-talk yang umumnya dilakukan. Keduanya adalah dialog dengan diri sendiri bernada motivasi dan instruksi. Ada pula orang yang membahasakan dirinya sebagai orang kedua atau ketiga ketika berdialog.
”Contoh self-talk motivasi adalah, ’Aku bisa melakukannya’. Ini terdengar klise, tapi motivasi seperti ini bisa berhasil,” kata Kross.
Merangsang otak
Menurut psikolog Tika Bisono, mengobrol dengan diri sendiri merupakan cara merangsang otak untuk melakukan apa yang kita kehendaki. Hal ini termasuk memerintahkan otak agar bijak memproduksi hormon yang memengaruhi emosi individu.
Beberapa hormon tersebut antara lain endorfin (berperan menciptakan kebahagiaan dan mengurangi rasa sakit), oksitosin (ketenangan, cinta, dan stabilitas emosi), serta kortisol (stres dan adrenalin).
”Orang yang terbiasa melakukan positive self-talk akan terlihat dari perilakunya yang tenang dan positif. Perilaku ini menular bagi lingkungan sekitarnya, sama seperti Covid-19. Ini penting agar orang-orang terdorong berpikir dan melakukan hal positif,” kata Tika.
Pemikiran positif seperti ini merupakan modal untuk berdamai dengan kondisi sekarang, seperti imbauan untuk diam di rumah. Kondisi mental seperti ini juga dapat membuat individu tidak sekadar takut terpapar Covid-19. Kondisi ini turut membuat mereka lebih waspada, tetapi tetap tenang.
”Self-talk adalah salah satu obat di tengah pandemi. Pikiran yang tenang dan positif diperlukan semua orang,” kata Tika.