Semangat gotong royong serta kemandirian merupakan antibodi melawan berbagai krisis bangsa, termasuk serbuan korona. Virus ini harus dilawan serentak oleh semua orang.
Oleh
J Kristiadi
·3 menit baca
Kakak beradik yang mirip saudara kembar siam itu yang sulung bernama korona alias Covid-19, si bungsu dijuluki disintegrasi sosial. Dua ”makhluk” ganas yang mengancam eksistensi umat manusia. Si sulung mampu melumpuhkan ekonomi negara yang mengakibatkan naiknya angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial makmur-miskin, serta pupusnya harapan.
Berbagai patologi sosial merupakan lahan subur berkembangnya solidaritas negatif. Daya tularnya akan lebih mematikan kalau disertai rasa iri dan benci karena alasan ciri-ciri kodrati; asal-usul, ras, etnis, ataupun keyakinan. Penyakit masyarakat semacam ini amat mudah memicu kerusuhan sosial.
Kalau terlambat ditangani, Covid-19 dan disintegrasi sosial akan bersimaharajalela. Mereka akan mengamuk membabi buta tanpa tebang pilih sehingga dapat mengobrak-abrik tatanan masyarakat. Karakter mereka yang tumpang tindih dapat mengancam hidup dan kehidupan umat manusia.
Perlu kebijakan tepat menangkal amukan mereka. Minimum pada dua tataran kebijakan. Pertama, level ”makrokosmos” agar dapat mencegah amuk massa.
Memilih opsi kebijakan yang tepat tidak mudah mengingat kompleksnya permasalahan sehingga hampir semua pilihan selalu dilematis.
Akhirnya, setelah meramu berbagai pendapat publik, Presiden Jokowi menetapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan status kedaruratan kesehatan. Hal itu diharapkan menjadi pedoman aparat pemerintah di semua tingkatan. Polri berperan penting mendorong warga tetap di rumah kecuali mereka yang benar-benar memerlukan. TNI sebagai kekuatan pendukung harus selalu siap apabila diperlukan, antara lain memobilisasi personal dan alat angkutan.
Kedua, tataran ”mikrokosmos”, yakni kebijakan untuk mendeteksi gejala awal warga yang terinfeksi virus korona. Hal ini tidak sederhana karena ancaman itu tak kasatmata. Dalam jagat pewayangan, ngelmu atau senjata yang dapat melawan musuh yang tak kelihatan; demit, setan, dimiliki Arjuna, yakni minyak Jayeng Katon yang kalau diusapkan di pelupuk mata, berbagai makhluk halus akan tampak.
Dalam menghadapi krisis saat ini, sosok ”Arjuna” itu adalah dokter. Mereka ujung tombak perlawanan terhadap virus korona. Karena itu, pemerintah wajib menjamin garda depan melawan penyakit ganas ini tetap prima kesehatannya.
Masyarakat sebenarnya tak perlu cemas, pesimistis, dan ketakutan menghadapi ancaman itu. Sejarah politik Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini telah membuktikan, bangsa ini amat tangguh menghadapi berbagai krisis. Dalam perjalanan membangsa dan menegara, berbagai kemelut—mulai dari krisis ideologi menyusun falsafah bangsa dan konstitusi sampai setelah reformasi, khususnya anarki sosial dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019—semua dapat diatasi berkat nilai-nilai luhur yang disepakati pendiri bangsa.
Mengobarkan semangat gotong royong menjadi amat mendesak karena wabah korona mengancam semua orang. Karena itu, perlawanan harus dilakukan secara serentak oleh semua orang.
Konsensus mulia itu dalam kehidupan masyarakat sering disebut semangat gotong royong dan kemandirian. Namun, roh adiluhung itu belum sempat diserap sepenuhnya dalam mendesain manajemen politik kekuasaan negara dan pemerintahan karena keburu tergoda liberalisme, individualisme, persaingan bebas sebagai ideologi berburu kemakmuran. Akibatnya, bangsa yang belum punya antibodi tangguh belum bisa menahan gelombang ideologi yang penuh iming-iming kenikmatan ragawi.
Untungnya, antibodi itu adalah kultur otentik bangsa dan sudah jadi bagian dari ”DNA” nasion sehingga bangsa ini masih punya daya tahan yang cukup prima menghadapi berbagai krisis. Namun, karena kekebalan masih terbatas, ketangguhan itu sering kali jadi surut justru saat krisis mereda. Pengalaman menghadapi berbagai krisis, termasuk serbuan korona, harus menjadi pelajaran agar solidaritas rakyat terus-menerus dirawat karena ia adalah antibodi yang mustajab menghadapi berbagai krisis bangsa.
Mengobarkan semangat gotong royong menjadi amat mendesak karena wabah korona mengancam semua orang. Karena itu, perlawanan harus dilakukan secara serentak oleh semua orang. Solidaritas sosial harus dilakukan tanpa batas. Penanganan tidak mungkin dan tidak adil hanya diserahkan kepada negara. Tiap orang harus siap dan ikhlas membantu orang lain tanpa pandang bulu.
Kuasa solidaritas tanpa batas adalah senjata pamungkas menaklukkan serbuan virus ganas yang memproduksi patologi sosial. Perlawanan bisa dimulai dari unit sosial terkecil; keluarga, merambat ke tingkat RT, RW, kecamatan, dan nasional. Mereka yang hidup berkecukupan, apalagi yang telah berlebihan, wajib membantu.