Pasal 27 Perppu Kebijakan Keuangan Atasi Covid-19 Bisa Rusak Sistem Perimbangan Kekuasaan
›
Pasal 27 Perppu Kebijakan...
Iklan
Pasal 27 Perppu Kebijakan Keuangan Atasi Covid-19 Bisa Rusak Sistem Perimbangan Kekuasaan
Pasal 27 Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dikritik. Pasal ”imunitas” itu dinilai bisa merusak sistem perimbangan kekuasaan di Indonesia.
Oleh
Ingki Rinaldi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dinilai jadi preseden buruk sistem ketatanegaraan. Selain bertentangan dengan sejumlah undang-undang, pengaturan itu juga bisa menganggu tata kelola pemerintahan yang baik.
Pasal 27 Ayat (1) Perppu No 1/2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020 itu berbunyi, ”biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan atau lembaga anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara, termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”.
Pasal 27 Ayat (2) juga mengatur anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota Sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan perppu ini tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat 3 dari pasal itu menegaskan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasar perppu ini bukan merupakan obyek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, saat dihubungi, Kamis (2/4/2020), menyebutkan, pengaturan di Pasal 27 menyebabkan mekanisme checks and balances tidak ada. Ia mengatakan, hal itu menyusul tafsir Pasal 27 yang titik beratnya lebih berada pada pihak eksekutif.
”(Ini) bermakna bahwa kekuasaan eksekutif yang dipegang presiden lebih tinggi kedudukannya dibanding cabang kekuasaan negara lain sehingga cenderung terjadi dominasi presiden terhadap pejabat tinggi lain,” ucap Radian.
Ia menambahkan, ketiadaan aspek checks and balances menyusul berhentinya proses pengawasan oleh DPR menyusul ditandatanganinya perppu tersebut.
Selain itu, penegak hukum juga tidak bisa melakukan tindakan jika terdapat dugaan pelanggaran hukum. Ia mengatakan, dalam hal ini, presiden bisa menggunakan kekuasaan penuh. Hal ini yang membuat pengawasan terhenti.
”Karena sudah dikunci di Pasal 27,” lanjut Radian.
Rusak ketatanegaraan
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Antoni Putra, menambahkan bahwa pengaturan dalam Pasal 27 mengarah pada sistem yang otoriter dan rawan disalahgunakan. Pasalnya, tidak ada tolok ukur jelas menerjemahkan frasa ”itikad baik”.
Sementara menurut Antoni, frasa ”itikad baik” bisa saja menjadi alasan pembenar pengambil kebijakan jika ia melakukan kesalahan. Ini misalnya dalam hal terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Hal tersebut bisa saja disebutkan oleh pengambil kebijakan saat ia dimintai pertanggungjawaban. Alasan telah memiliki itikad baik untuk bisa lepas dari jeratan hukum akan relatif mudah diutarakan.
Menurut Antoni, hal tersebut dapat mengarah pada sistem yang otoriter. Pasalnya, pengambil kebijakan diberi imunitas kuat dalam mengambil kebijakan yang berpotensi disalahgunakan.
”Apalagi, dalam pasal ini juga dibunyikan (frasa) ’itikad baik’ yang bisa dijadikan alasan untuk lepas dari jeratan hukum,” ujar Antoni.
Selain itu, lanjutnya, Pasal 27 juga bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebab, dalam UU Tipikor, tindak pidana korupsi di masa bencana diancam hukuman lebih berat hingga hukuman mati.
Perppu No 1/2020 mengatur tentang keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Presiden Joko Widodo juga sudah menetapkan status kedaruratan kesehatan nasional yang menjadi basis penerapan pembatasan sosial berskala besar.
Adapun dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengaturan tentang tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana diatur dalam Pasal 2 Ayat 2. Bunyinya adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pada bagian penjelasan Ayat 2 disebutkan bahwa frasa ”keadaan tertentu” dimaksudkan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
”(Tapi) kalau dalam Perppu (Nomor 1/2020), pengambil kebijakannya tidak bisa dituntut perdata maupun pidana,” kata Antoni.
Anggota Komisi XI DPR, Kamrussamad, menyebutkan, pengaturan di Pasal 27 Perppu No1/2020 berpotensi mengubah sistem ketatanegaraan. Selain Ayat 2 dan 3, ia menilai Ayat 1 juga punya potensi tersebut. Pasalnya, dalam ayat tersebut disebutkan bahwa biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK merupakan bagian dari biaya untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan kerugian negara.
Potensi rusaknya sistem ketatanegaraan itu menyusul fungsi-fungsi legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang bisa jadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, di tingkatan mikro, ia mengingatkan bahwa potensi moral hazard pejabat di KSSK menjadi tidak bisa dikur menyusul keberadaan Pasal 27.
”Sebaiknya pemerintah me-review kembali. Pasal 27 Ayat 1, 2, 3 berpotensi membuat clean and good governance (tata kelola yang bersih dan baik) tidak ada lagi di Indonesia,” ujar Kamrussamad.
Ia mengingatkan, jika hal tersebut terjadi, investor bakal semakin tidak percaya dengan tata kelola birokrasi di Indonesia. Menurut dia, pengelolaan negara saat ini menggunakan instrumen pandemi Covid-19 pada sebuah sistem kekuasaan dan menjadikannya kebal terhadap hukum.
Sementara itu, saat mengumumkan penandatanganan Perppu No 1/2020, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa perppu itu memberikan fondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan, dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan.