PP No 99/2012 Disebut Jadi Kendala Pelepasan 30.000 Napi
›
PP No 99/2012 Disebut Jadi...
Iklan
PP No 99/2012 Disebut Jadi Kendala Pelepasan 30.000 Napi
DPR mendesak pemerintah mencabut PP No 99/2012 karena dinilai menghalangi upaya pelepasan narapidana sebagai upaya mengurangi kepadatan LP/rutan. Pelepasan napi ini untuk mencegah penyebaran Covid-19 di LP/rutan
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memperkirakan bisa melepas 30.000-35.000 warga binaan untuk mengurangi kepadatan di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan sebagai upaya mengurangi risiko penyebaran penyakit Covid-19. Namun, kebijakan itu tidak bisa diberlakukan untuk seluruh narapidana karena terkendala pengecualian terhadap hak-hak napi yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
PP No 99/2012 mengatur tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan mengecualikan pemberian remisi kepada tiga jenis kejahatan luar biasa, yakni narkoba, korupsi, dan terorisme. Kalaupun para pelaku diberi remisi, mereka harus berstatus justice collabolator, yakni orang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap jaringan kejahatannya.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR secara virtual, Rabu (1/4/2020), Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengemukakan sejumlah upaya yang telah dilakukannya untuk mengurangi kepadatan penghuni di lapas dan rutan, yang saat ini melebihi kapasitas. Upaya pengurangan kepadatan itu dilakukan guna memperkecil risiko penularan Covid-19 di dalam LP dan rutan yang padat penghuni. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Golkar Adies Kadir dan diikuti 42 anggota komisi.
Menurut Yasonna, secara umum pihaknya berupaya membatasi interaksi antarmanusia dan mematuhi pembatasan sosial (social distancing) sebagaimana imbauan pemerintah. Dalam upaya itu, pengurangan napi dan tahanan di dalam LP atau rutan penting dilakukan mengingat saat ini LP dan rutan sudah kelebihan penghuni (overcrowding). Pegawai Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga melakukan antisipasi, termasuk dengan meniadakan besuk napi dan siaga dalam mengawasi napi yang menunjukkan gejala Covid-19 untuk segera ditangani di fasilitas kesehatan terdekat.
Terkait upaya pelepasan napi, Yasonna mengatakan, hal itu bisa dilakukan melalui penerbitan Permenkumham No 10/2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Napi dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Melalui peraturan itu, sedikitnya 30.000-35.000 napi akan bisa dikeluarkan dari LP dan rutan.
”Namun, ada beberapa jenis pidana yang tidak bisa kami terobos karena ada PP No 99/2012,” katanya.
Sejumlah anggota Komisi III DPR bereaksi terhadap pengecualian pembebasan napi di dalam Permenkumham No 10/2020 yang tidak menyertakan tiga pelaku kejahatan luar biasa yang diatur di dalam PP No 99/2012. Mereka melihat peraturan itu diskriminatif sehingga sebaiknya direvisi atau mencabut PP No 99/2012.
”Saya melihat Permenkumham No 10/2020 juga diskriminatif karena napi-napi kasus korupsi tidak dimasukkan. Apakah menteri bisa yakin bahwa mereka napi korupsi ini tidak akan kena korona?” kata Nasir Djamil dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Menurut Nasir, karena permenkumham ini dikeluarkan di tengah wabah Covid-19, sebaiknya Pemenkumham No 10/2020 juga memasukkan napi korupsi. ”Tidak boleh PP No 99/2012 menghambat menteri menyasar napi korupsi. Apalagi PP No 99/2012 ini lebih merupakan produk politik daripada produk hukum,” katanya.
Taufik Basari dari Fraksi Nasdem juga mendesak agar PP No 99/2012 dicabut dalam waktu dekat karena dinilai menghambat upaya penyelamatan nyawa manusia di dalam LP dan rutan. ”Kalau bisa dalam ratas (rapat terbatas) dibahas dan seminggu setelah itu dilakukan pencabutan PP No 99/2012. Karena ini akan menjadi masalah kalau kita ingin melakukan upaya-upaya penyelamatan nyawa di dalam LP,” katanya.
Dorongan pencabutan PP No 99/2012 juga mengemuka dari Muhammad Syafii dari Fraksi Gerindra. Menurut dia, upaya pembatasan pelepasan napi karena alasan PP No 99/2012 tidak sesuai karena penanganan Covid-19 mengedepankan upaya penyelamatan nyawa manusia.
”Bukan hanya PP yang dilanggar sebab shalat Jumat saja bisa dilanggar. Ada haji juga bisa ditunda. Karena ini bukan hanya soal hukum, ini persoalan nyawa. Jadi pembebasan napi itu de facto karena wabah virus korona. Diskriminasi karena alasan PP (PP No 99/2012) itu kurang tepat,” ujarnya.
Tidak dikecualikan
Menanggapi dorongan pencabutan PP No 99/2012, Yasonna mengatakan, permenkumham tidak bisa menyalahi PP yang kedudukannya lebih tinggi dari peraturan menteri. Kemenkumham tiga tahun lalu juga mengusulkan agar PP tersebut dicabut, tetapi belum bisa direalisasikan. Sekalipun tiga jenis kejahatan itu dikecualikan dari Permenkumham No 10/2020, ia mengupayakan aturan itu tidak lagi berlaku bagi napi yang usianya di atas 60 tahun, napi difabel, dan napi yang sakit terus-menerus.
”Saya sudah melaporkan ke presiden saat ratas. Dengan izin beliau, kami sedang membuat exercise-exercise (percobaan-percobaan) menyiapkan hal ini. Tentunya ada prinsip kehati-hatian bahwa yang pasti umur 60 tahun, sakit berkelanjutan, atau lansia, napi penyandang disabilitas, itu semuanya masuk ke dalam kriteria, tanpa memandang apakah itu korupsi, narkoba, dan terorisme, tentunya setelah mendapatkan assessment dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),” katanya.
Di sisi lain, ia mengatakan, pencabutan PP No 99/2012 tidak perlu dilakukan saat ini karena norma di dalamnya bisa diubah melalui pembahasan di dalam Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan. Pemerintah siap membahas RUU Pemasyarakatan dengan DPR, yang merupakan RUU carry over (lanjutan) dari DPR periode sebelumnya.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan, penanganan persoalan di LP tidak bisa disederhanakan dengan mencabut PP No 99/2012. Usulan itu rentan ditunggangi kepentingan lain.
”Harus dipahami, penyebab kepadatan LP ialah kasus narkoba. Kalau mau mengurangi kepadatan, pemerintah harus mendata detail kasus narkoba, mana saja yang bisa dikategorikan bandar, pengedar, pemakai, sehingga dari sana bisa dipilih mana yang bisa diberi kemudahan remisi dan asimilasi. Oleh karena itu, tidak bisa tiba-tiba mau cabut PP No 99/2012,” ujarnya.
Jumlah napi korupsi, dan terorisme, menurut Oce, tidak sebanyak kasus narkoba. Jadi daripada berisiko merusak komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi, sebaiknya Kemenkumham fokus pada upaya mengurangi napi narkoba. ”Pengambilan kebijakan harus berbasis data,” ujarnya.