Tambang ilegal di kawasan hijau Waduk Samboja, di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, masih beroperasi meski pengelola waduk sudah melaporkan berkali-kali ke kepolisian. Akibatnya, kualitas air waduk terus menurun.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
TENGGARONG, KOMPAS — Penambangan batubara ilegal di kawasan hijau Waduk Samboja, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, masih beroperasi. Sekelompok warga sempat menghentikan secara paksa aktivitas itu. Mereka cemas, penambangan itu bakal mencemari sumber air bersih.
Tambang batubara ilegal di sekitar Waduk Samboja sudah ada sejak 2016 meski kala itu belum memasuki kawasan konservasi. Penambangan mulai masuk kawasan hijau waduk pada 2018.
Pada Oktober 2019, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Wilayah (BWS) Sungai Kalimantan III, pengelola Waduk Samboja, mendapati aktivitas tambang ilegal di kawasan hijau sisi barat Waduk Samboja. Sempat terhenti pada November 2019, aktivitas tambang berlanjut hingga kini.
Kepala BWS Sungai Kalimantan III Anang Muchlis mengatakan,wilayah yang ditambang semakin melebar hingga ke bibir waduk. Kawasan hijau yang sebelumnya ditambang seluas 3 hektar, kini meluas hampir 5 hektar.
Para petambang ilegal itu juga merusak pagar pembatas bendungan sepanjang 200 meter. Selain itu, galian lubang sudah sampai ke bibir waduk. Bahkan, buangan limbah tambang langsung dialirkan ke waduk.
”Akibatnya, kadar asam air di tampungan waduk semakin tinggi. Saat ini pH berkisar 3-4. Sementara ukuran baku mutu kualitas air normal pH-nya 6-9,” kata Anang di Samarinda ketika dihubungi, Kamis (2/4/2020).
Kondisi itu berdampak kepada kehidupan ribuan masyarakat yang memanfaatkan air waduk untuk minum ternak, mandi, cuci, dan irigasi lahan pertanian. Saat ini ada empat desa yang bergantung dari aliran air Waduk Samboja, yakni Desa Karya Jaya, Wonotirto, Rawa Guna, dan Desa Tanjung Harapan.
Pihak BWS Kalimantan III sudah enam kali melaporkan aktivitas tambang batubara ilegal itu ke berbagai instansi, termasuk ke kepolisian. Laporan ke Polda Kaltim terbaru dibuat tanggal 1 April 2020. Namun, aktivitas tambang di salah satu waduk tertua di Kaltim itu terus berulang dan belum ada penindakan terhadap penambang ilegal itu.
Penghentian paksa
Pada Selasa (31/3/2020), Anang mendapat laporan sekitar 30 warga mendatangi lokasi tambang ilegal itu. Warga bahkan membakar satu dari 10 alat berat yang dioperasikan saat itu.
Kepala Desa Karya Jaya Wahidin mengatakan, setelah kejadian itu, salah satu tokoh masyarakat di Karya Jaya diancam melalui pesan singkat. Diduga, ancaman itu dilakukan oleh orang yang terlibat penambangan ilegal itu.
”Saat ini, warga bergiliran menjaga setiap pintu masuk desa. Selain memantau orang yang keluar masuk sebagai antisipasi Covid-19, kami juga antisipasi jika ada konflik horizontal setelah aksi penghentian aktivitas tambang ilegal itu,” kata Wahidin.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, reaksi itu adalah buntut kekecewaan masyarakat akibat tidak adanya penertiban atau penghentian tambang ilegal. Masyarakat takut tambang ilegal itu akan berdampak luas terhadap kehidupan mereka.
”Ini kekosongan negara dalam penegakan hukum. Tambang batubara ilegal ini mata rantai, ada pemodal, pemasok alat, sampai yang membeli batubara. Itu semua harus diusut agar aktivitas itu tidak terus berjalan,” kata Rupang.
Pradarma mengatakan, reaksi warga itu adalah bentuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut pidana atau digugat perdata.
”Peran waduk sangat vital bagi warga. Kekecewaan warga sudah memuncak karena tidak ada tindakan. Bahkan, temuan kami, ada 61 titik tambang ilegal dalam radius 5 kilometer dari Waduk Samboja,” kata Rupang.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kaltim Komisaris Besar Budi Suryanto mengatakan belum menerima laporan tentang penambangan ilegal di Waduk Samboja. Ia mengatakan akan mengecek informasi itu. ”Nanti kami cek. Saya belum terima laporan itu,” kata Budi ketika dihubungi.