Penanganan Covid-19 yang lambat dan karut-marut akan memperburuk dampak pandemi ini terhadap perekonomian.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyiapkan langkah-langkah luar biasa untuk mencegah krisis kesehatan dan kemanusiaan akibat pandemi Covid-19 menjadi krisis ekonomi dan keuangan. Langkah itu mengombinasikan kebijakan fiskal, moneter, dan relaksasi sektor keuangan.
Sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) secara virtual, Rabu (1/4/2020), eskalasi pandemi Covid-19 yang sangat cepat membuat langkah penanganan belum memadai. Di dalam negeri, situasi ini menurunkan daya beli dan konsumsi masyarakat, penundaan dan penurunan investasi, penurunan ekspor-impor, penurunan keuntungan, serta kebangkrutan dunia usaha.
Pandemi global ini juga mengganggu stabilitas sektor keuangan Indonesia yang terefleksi pada volatilitas pasar saham, pasar surat berharga, depresiasi nilai tukar rupiah, peningkatan rasio kredit macet, persoalan likuiditas, dan risiko kepailitan (insolvency). Stabilitas sektor keuangan saat ini di level normal-siaga. ”Jika Covid-19 bisa diatasi dan situasi saat ini ditangani segera, tantangan sektor keuangan akan lebih rendah,” ujarnya.
Indonesia butuh amunisi untuk memerangi perlambatan yang menyeluruh di semua aspek.
Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko yang dimintai pendapat mengenai langkah pemerintah menyampaikan, semua negara di dunia melakukan langkah-langkah luar biasa untuk menyelamatkan perekonomian. Dalam situasi tidak normal seperti saat ini, diperlukan kebijakan nonkonvensional untuk memberikan stimulus lebih besar.
”Indonesia butuh amunisi untuk memerangi perlambatan yang menyeluruh di semua aspek. Situasi saat ini mesti direspons dengan relaksasi kebijakan secara maksimum,” katanya.
Dia menambahkan, langkah luar biasa yang ditempuh pemerintah juga harus didukung secara politik.
Namun, Prasetyantoko menekankan, relaksasi kebijakan tidak serta-merta dapat mengantisipasi krisis ekonomi dan keuangan. Episentrum permasalahan saat ini adalah Covid-19, sedangkan krisis ekonomi dan keuangan adalah dampak lanjutan jika Covid-19 gagal dimitigasi. ”Semakin karut-marut kebijakan kesehatan, penanganan lama, korban terus meningkat, maka kondisi ekonomi akan semakin parah,” ujarnya.
Dalam konferensi pers KSSK, Kementerian Keuangan menyebutkan skenario proyeksi ekonomi makro 2020. Pertumbuhan ekonomi dalam skenario moderat 2,3 persen, sedangkan skenario lebih buruk negatif 0,4 persen. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dibarengi lonjakan inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Langkah KSSK, yang terdiri dari Kemenkeu, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan, berlandaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, skenario paling buruk perekonomian Indonesia diantisipasi. Pemberian kewenangan bagi BI untuk membeli surat berharga negara di pasar perdana bukan sebagai pembeli utama, melainkan terakhir.
”BI tidak boleh membiayai defisit fiskal hanya berlaku dalam kondisi normal. Sekarang yang dihadapi adalah kondisi tidak normal,” kata Perry.
Pemerintah berencana menerbitkan pandemic bonds untuk membiayai defisit APBN yang diperkirakan 5,07 persen produk domestik bruto. Surat utang dalam denominasi rupiah ini dapat dibeli swasta dan BI di pasar perdana.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan, LPS bisa menerbitkan surat utang untuk restrukturisasi perbankan sesuai mekanisme pasar. ”Penerbitan surat utang bagian dari strategi LPS mencari dana,” katanya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso menambahkan, fokus kebijakan jasa keuangan saat ini menjaga kepercayaan masyarakat agar tidak memicu sentimen negatif di pasar.