Untuk mengatasi dan memutus wabah Covid-19, pemerintah menyiapkan dana Rp 405,1 triliun. Namun, ironisnya, dana itu rentan dikorupsi. Hal itu karena kelonggaran penggunaannya. Hukuman mati pun perlu diterapkan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana penanggulangan bencana untuk penanganan Covid-19 rentan dikorupsi. Hal itu karena adanya kelonggaran dalam perencanaan dan penggunaannya akibat kondisi pandemi yang ditimbulkan oleh virus korona baru. Untuk itu, pendampingan dan pengawasan secara ketat oleh aparat pengawasan dibutuhkan untuk mencegah seseorang mencari keuntungan pribadi di tengah kesesakan situasi.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman, mengapresiasi pemerintah yang menganggarkan dana hingga Rp 405,1 triliun untuk penanganan Covid-19. Meskipun demikian, pengawasan secara ketat harus dilakukan sebab dana bencana rentan diselewengkan dan dikorupsi.
Zaenur mengungkapkan, potensi korupsi selalu ada dalam situasi bencana. Hal tersebut pernah terjadi pada saat bencana alam di Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, dan beberapa tempat lainnya.
Sejauh ini, berdasarkan pengalaman, masih rawan terjadi tindak pidana korupsi dalam penggunaan dana bencana. Hal tersebut terjadi karena ada kelonggaran dengan tujuan untuk mempercepat penanganan bencana.
”Sejauh ini, berdasarkan pengalaman, masih rawan terjadi tindak pidana korupsi dalam penggunaan dana bencana. Hal tersebut terjadi karena ada kelonggaran dengan tujuan untuk mempercepat penanganan bencana,” kata Zaenur saat dihubungi di Jakarta, Jumat (3/4/2020).
Ia menambahkan, dari sisi pengawasan juga relatif renggang. Selain itu, dari sisi pertanggungjawaban berbeda dari situasi normal sehingga berpotensi terjadi korupsi dalam penggunaan dana bencana.
Sejauh ini, korupsi penggunaan dana bencana tidak jauh berbeda dari korupsi pengadaan barang dan jasa. Dalam situasi tanggap darurat bencana, sangat dibutuhkan pengadaan barang dan jasa secara cepat. Salah satu modus yang dilakukan adalah dengan melakukan suap kepada penyelenggara negara oleh penyedia barang dan jasa saat pengadaan barang. Selanjutnya, para penyedia barang dan jasa akan menaikkan harga sehingga tidak terjadi penggelembungan harga.
Selain itu, ada pemotongan dana bantuan, khususnya di bidang sosial. Dalam situasi kalut, potensi untuk melakukan hal tersebut sangat terbuka dan mungkin terjadi.
Untuk mencegah terjadinya korupsi tersebut, sejak awal harus ada peringatan keras dari pemerintah terhadap seluruh pejabat serta penyedia barang dan jasa agar tidak bermain-main dengan dana bencana karena bisa dihukum dengan hukuman mati.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 Ayat 2 disebutkan, ada pemberatan untuk korupsi dalam keadaan tertentu, salah satunya saat terjadi bencana. Pelaku korupsi dalam keadaan bencana dapat diancam maksimal hukuman mati.
Ancaman tersebut diberikan karena korupsi dana bencana merupakan bentuk moral yang sangat buruk sebab mengambil keuntungan pribadi saat rakyat sedang kesusahan. Selain itu, korupsi akan menghambat penanganan bencana.
Pendampingan dari lembaga pengawas, khususnya di satuan pengawas internal pemerintah dan inspektorat, juga dibutuhkan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pihak eksternal dapat mendampingi untuk mencegah terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau aparat penegak hukum lainnya juga perlu mengawasi secara ketat penggunaan dan alokasi dana bantuan.
”Saya melihat dana penanggulangan bencana memang harus ada pelonggaran dalam penggunaannya dan itu sudah diatur dalam peraturan-peraturan pengadaan barang dan jasa. Meskipun demikian, tetap harus dihindari perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan untuk mencari keuntungan pribadi,” ujar Zaenur.
Komitmen pengawasan
Adapun usaha yang sedang dilakukan KPK adalah memperkuat komitmen pengawasan dalam penggunaan anggaran untuk penanganan Covid-19. Ketua KPK Firli Bahuri telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 Terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
Dari kajian yang pernah dilakukan maupun penanganan perkara, KPK mengidentifikasi sejumlah modus dan potensi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Di antaranya persekongkolan/kolusi dengan penyedia barang dan jasa, menerima pembayaran balik dari penyedia, penyuapan, gratifikasi, benturan kepentingan, perbuatan curang, berniat jahat memanfaatkan kondisi darurat, dan membiarkan terjadinya tindak pidana.
”Salah satu kegiatan penting saat ini adalah pengadaan barang dan jasa dalam penanganan Covid-19, seperti pengadaan APD (alat pelindung diri). Maka, KPK dalam upaya pencegahan korupsi, pemantauan, dan koordinasi membantu Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di tingkat nasional dan daerah terkait dengan pencegahan korupsi,” tutur Firli.
Salah satu kegiatan penting saat ini adalah pengadaan barang dan jasa dalam penanganan Covid-19, seperti pengadaan APD (alat pelindung diri). Maka, KPK dalam upaya pencegahan korupsi, pemantauan, dan koordinasi membantu Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di tingkat nasional dan daerah terkait dengan pencegahan korupsi.
Sebelumnya, ia mengingatkan, koruptor anggaran bencana serta proses pengadaan barang dan jasa dalam situasi darurat bencana diancam dengan hukuman mati. Hal tersebut sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi.
Selain menerbitkan surat edaran, KPK membentuk tim khusus untuk mengawal dan bekerja bersama satuan tugas di tingkat pusat dan daerah serta dengan pemangku kepentingan lainnya. Langkah ini sebagai respons KPK atas arahan Presiden agar KPK turut mengawasi proses percepatan penanganan Covid-19.
KPK juga mendorong keterlibatan aktif aparat pengawasan internal pemerintah serta BPKP untuk melakukan pengawalan dan pendampingan terkait proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Mereka dapat berkonsultasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).