”Drone” di Ruang Gerak Manusia
”Drone” atau pesawat nirawak telah banyak dimanfaatkan untuk membantu aktivitas manusia. Teknologi di dalamnya mampu menggantikan peran manusia di kondisi penuh risiko.
”Drone” atau pesawat nirawak telah banyak dimanfaatkan untuk membantu aktivitas manusia. Teknologi di dalamnya mampu menggantikan peran manusia di kondisi penuh risiko. Salah satunya ketika isolasi mandiri di tengah antisipasi Covid-19 yang mempersempit ruang gerak manusia.
Penyemprotan disinfektan menjadi hal yang lazim terlihat akhir-akhir ini. Tujuannya untuk mencegah penyebaran virus korona baru yang masih mewabah di berbagai lokasi di Indonesia. Campuran cairan kimia pembentuk disinfektan disinyalir ampuh membasmi virus ini. Di sejumlah tempat, penyemprotan bahkan secara rutin dilakukan pemerintah dan masyarakat.
Di lapangan, disinfektan digunakan melalui berbagai cara. Mulai dari bilik penyemprot disinfektan yang dibuat mandiri oleh warga, petugas dengan alat penyemprot di punggung, hingga memakai mobil pemadam kebakaran. Namun, ada fenomena menarik lain, yakni ketika warga di sejumlah kota melakukan kegiatan ini dengan cara yang lebih canggih: menggunakan drone.
Baca juga: UN yang Terhapus karena Covid-19
Misalnya, di Jakarta Selatan yang melakukan uji coba penyemprotan disinfektan dengan drone di seputaran SCBD hingga Patung Pemuda pada 27 Maret 2020. Kegiatan ini dilakukan Pemerintah Kota Jakarta Selatan bekerja sama dengan TNI AU dan Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). Sebelum Jakarta Selatan, wilayah lain yang juga melakukan hal serupa di antaranya Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, dan Kota Malang.
Jenis drone yang digunakan Pemkot Jaksel yaitu DJI tipe Agras T-16 buatan produsen China, SZ DJI Technology Co, Ltd. Drone ini dikendalikan jarak jauh oleh seorang pilot yang terhubung melalui gelombang radio. Kapasitas tangki 16 liter ini diisi disinfektan dan dengan sekali terbang dapat mencakup wilayah 1,5 hektar dengan waktu operasi hanya 10 menit. Sangat efektif.
Baca juga: Ketika Semua Harus Dilakukan di Rumah
Pengganti peran
Penggunaan drone ini tentu saja menggantikan peran manusia dari kegiatan penuh risiko. Contohnya, potensi tertular Covid-19 ke petugas penyemprot disinfektan melalui virus yang tertempel di sejumlah panel fasilitas umum. Diketahui, virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) ini memiliki sifat tetap hidup dalam beberapa rentang waktu serta bergantung pada jenis panel dan permukaannya.
Selain itu, menghindarkan petugas dari bahaya yang disebabkan oleh cairan disinfektan itu sendiri. Cairan disinfektan pekat yang menempel pada tubuh seseorang dapat menyebabkan iritasi, apalagi jika terkena selaput lendir seperti mata, hidung, dan mulut.
Baca juga: Jiwa Raga Sehat, Covid-19 Lenyap
Penggunaan drone di lahan pertanian juga memiliki keuntungan, yaitu menghindarkan petani dari bahaya. Dari jurnal karya Sulistyoningrum berjudul ”Gangguan Kesehatan Akut Petani Pekerja akibat Pestisida di Desa Kedung Rejo, Kabupaten Jombang” tahun 2008, diketahui risiko pestisida yang terkena kulit secara langsung, terhirup, atau mengenai mata manusia.
Penyemprotan disinfektan dan pestisida hanya bagian contoh kecil dari aplikasi drone.
Dengan menggunakan drone, risiko kecelakaan petani dari penyemprotan pestisida secara manual dapat ditekan. Risiko itu berupa pusing ketika sedang menyemprot atau sesudahnya, muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit gatal, kejang-kejang, hingga pingsan. Selain itu, drone jenis ini juga menghemat waktu, tenaga, dan biaya pertanian.
Penyemprotan disinfektan dan pestisida hanya bagian contoh kecil dari aplikasi drone. Di luar itu sudah banyak drone yang dimanfaatkan untuk berbagai jenis bidang kegiatan. Menurut Gaurav Singhal dan kawan-kawan dalam jurnalnya tahun 2018 berjudul ”Unmanned Aerial Vehicle Classification, Applications and Challenges: A Review”, drone dibagi ke dalam tiga peruntukan.
Peruntukan itu adalah drone untuk sipil, lingkungan, dan militer atau pertahanan. Peruntukan pertama biasanya digunakan untuk fotografi, pengiriman paket, pertanian, hingga mitigasi bencana. Sementara untuk lingkungan berupa pemantauan kualitas air, air tanah, tanah, tanaman, hingga pengamatan luar angkasa. Di militer, drone banyak digunakan untuk kepentingan perang dan menjaga kedaulatan negara.
Keunggulan-keunggulan drone ini berhasil membantu mewujudkan sejumlah mimpi manusia. Salah satu contohnya yaitu pengiriman pasokan vaksin ke pulau terpencil, seperti di Pulau Erromango, Negara Kepulauan Vanuatu di Samudra Pasifik bagian selatan. Misi perdana ini dilakukan Pemerintah Vanuatu pada 2018, dengan menyewa drone dari perusahaan Swoop Aero dari Australia.
Vaksin dikirim dari Dillon’s Bay di sisi barat pulau ke Cook’s Bay di sisi timur pulau. Keduanya terpisah pegunungan berjarak sekitar 40 kilometer. Menggunakan drone, paket vaksin tiba hanya dalam waktu 25 menit. Padahal, sebelumnya warga harus berjalan kaki atau berperahu selama berjam-jam. Hal ini yang menyebabkan sekitar 20 persen anak di area terpencil di negara itu tidak mendapatkan imunisasi.
Contoh berikutnya yaitu drone ambulans yang pernah dikembangkan di Belanda, akhir 2014. Drone buatan mahasiswa lulusan Universitas Teknologi Delft Alec Momont ini membawa sejumlah peralatan layaknya mobil ambulans. Mulai dari alat pacu jantung, resusitasi jantung paru-paru (CPR), dan obat-obatan.
Drone ini juga dilengkapi kamera dan alat komunikasi guna menghubungkan petugas medis dengan orang di sekitar korban. Dalam kondisi darurat, drone tipe multirotor ini dapat menggapai korban lebih cepat. Sementara mobil ambulans kerap kali terlambat datang, salah satunya karena kemacetan lalu lintas. Melalui drone ini, upaya penyelamatan nyawa seseorang diklaim dapat meningkat hingga 80 persen.
”Drone” di Indonesia
Drone yang banyak beredar di Indonesia mayoritas produk buatan luar negeri. Misalnya, drone Mavic dan Phantom buatan SZ DJI Technology Co, Ltd; H520 dan Thyphoon H buatan perusahaan China, Yuneec; Karma buatan perusahaan Amerika Serikat, GoPro; Anafi dan Bepop 2 buatan perusahaan Perancis, Parrot; serta HS100 dan HS700 buatan perusahaan Taiwan, Holy Stone.
Meski marak produk drone dari negara tetangga, sejumlah drone buatan dalam negeri satu per satu mulai unjuk gigi. Salah satunya drone Motodoro Spraying Robot Indonesia (SRI) buatan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Pada 24 dan 26 Maret 2020, drone berbaling-baling enam ini berpartisipasi dalam penyemprotan disinfektan di Kabupaten dan Kota Malang.
Selain Motodoro SRI, UMM juga memiliki dua jenis drone lainnya. Mereka adalah Motodoro MX UAV dan Farm Mapper UAV. Keduanya tipe minidrone jenis fixed wing yang dapat digunakan untuk membuat foto udara dan pemetaan. Melalui laman resminya, motodoro.com, keduanya bahkan bisa dibeli secara individu dengan harga termurah Rp 50,4 juta.
Selain UMM, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, juga memiliki drone untuk mitigasi bencana bernama Amphibi UAV Gama V2. Drone ini dibuat untuk mengemban tugas penelitian, di antaranya memantau dan memetakan kondisi gunung berapi aktif di Indonesia. Pada 2015, drone jenis fixed wing ini pernah digunakan untuk mitigasi bencana di Gunung Merapi.
Selain tipe minidrone, RI juga telah memiliki prototipe drone pengangkut manusia. Pada 25 September 2019, Lapan bersama PT Aeroterrascan dan PT Chroma International meluncurkan Dadali. Drone ini dapat mengangkut beban 120 kilogram, 50 kg di antaranya untuk beban bagasi. Memiliki 16 baling-baling, Dadali dapat terbang hingga 40 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Selain Dadali, ada juga Frogs V.2 buatan perusahaan rintisan asal Bantul, Yogyakarta. Jika Dadali hanya dapat mengangkut satu penumpang, Frogs V.2 dapat membawa dua penumpang dengan beban maksimal 200 kg. Dengan delapan baling-baling, drone ini dapat terbang hingga 2.400 mdpl. Hingga awal Maret 2020, drone ini masih dalam tahap uji coba.
Setelah drone sipil, Indonesia juga memiliki sejumlah drone untuk kepentingan militer. Di antaranya Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) tipe Alap-alap PA-06D buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Drone tipe light jenis fixed wing ini telah melalui sejumlah uji coba hingga mendapatkan sertifikat dari Pusat Kelaikan Udara Kementerian Pertahanan sebagai produk militer pada 7 Desember 2018.
Selain Alap-alap, di pengujung 2019 Indonesia juga memperkenalkan drone canggih jenis medium-altitude long-endurance (MALE). Drone ini bernama Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) atau drone Elang Hitam Kombatan. Tercatat tujuh lembaga yang turut serta dalam pembuatan drone ini, yaitu BPPT, Kemenhan, TNI AU, ITB, PT Dirgantara Indonesia, PT Len Industri, dan Lapan.
Drone ini memiliki panjang pesawat 8,3 meter dengan bentang sayang 16 meter. Daya jelajah dan komunikasinya hingga 250 kkilometer. Ketinggian terbangnya mencapai 23.000 kaki (7 km) dan dapat terbang tanpa henti selama 24 jam.
Drone ini andal dalam banyak hal, salah satunya melacak illegal fishing. Kini, Elang Hitam Kombatan dalam proses uji coba sebelum diluncurkan tahun ini. Selain Elang Hitam, konsorsium Pesawat Terbang Tanpa Awal (PTTA MALE) ini juga sedang mengembangkan tiga jenis drone lainnya.
Ketiganya adalah PUNA MALE (PN)-2 yang akan dipasang radar apertur sintetis dan kamera untuk mendukung intelijen dan pengawasan. (PN)-3 untuk uji statis atau kekuatan struktur pesawat. (PN)-4 dengan kemampuan membawa muatan sekitar 300 kg yang dilengkapi dengan rudal.
Menengok perkembangan teknologi, baik di luar maupun di dalam negeri, sudah saatnya drone diberi panggung. Penyemprotan disinfektan melalui kontrol radio jarak jauh barangkali dapat menjadi pantikan kecil untuk terobosan nyata yang lebih besar. Meski wilayah Indonesia sangat luas, tidak sedikit penduduknya yang memiliki ruang gerak sempit karena masih berada di area terpencil. (LITBANG KOMPAS)