Gelombang tsunami pasien Covid-19 tak terbendung. Namun, hal itu belum diimbangi dengan kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang memadai sehingga penanganan medis tidak bisa optimal.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Sebaran Covid-19 di Indonesia semakin sulit dibendung. Selain menutup daerah-daerah yang belum terinfeksi, penguatan kapasitas rumah sakit dan layanan medis menjadi sangat penting untuk meminimalkan jumlah korban.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (2/4/2020), mengatakan, saat ini Indonesia telah memasuki fase darurat kesehatan. ”Masyarakat menjadi garda terdepan untuk mengenali risiko dan mampu melakukan pencegahan agar tidak tertular. Kalau tidak, lonjakan pasien akan menyebabkan layanan kesehatan kesulitan,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan di Kompas.id, Jumat (3/4/2020), Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo dalam rapat kerja tanpa tatap muka Komisi IX DPR, Kamis (2/4/2020), di Jakarta menyampaikan, berdasarkan skenario Badan Intelijen Negara, 10 provinsi kekurangan fasilitas kesehatan dalam penanggulangan Covid-19. Provinsi itu antara lain Jawa Barat, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Bali, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Maluku.
”Kekurangan fasilitas kesehatan ini termasuk tenaga kesehatan, ruang isolasi tak memadai, jumlah tes kit, dan APD (alat pelindung diri),” ujarnya. Dari skenario itu juga dilaporkan ada 50 kabupaten/kota yang masuk prioritas dengan risiko tinggi penularan Covid-19. Daerah itu antara lain DKI Jakarta, Kota Surabaya, Kota Semarang, Kota Makassar, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Tangerang, dan Kota Bandung.
Masyarakat menjadi garda terdepan untuk mengenali risiko dan mampu melakukan pencegahan agar tidak tertular. Kalau tidak, lonjakan pasien akan menyebabkan layanan kesehatan kesulitan.
DKI Jakarta memiliki kapasitas maksimal 276 ruang isolasi dengan 828 tempat tidur, Banten punya 63 ruang isolasi dan 189 tempat tidur, serta Jabar ada 183 ruang isolasi dengan 549 tempat tidur. Menurut Doni, jumlah kumulatif kasus Covid-19 dalam tiga bulan diperkirakan 594.907 orang. Namun, kapasitas maksimal ruang isolasi di Indonesia saat ini hanya 2.136 ruang.
Ledakan jumlah pasien
Sementara itu, epidemiolog Indonesia kandidat doktor dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, mengatakan, dengan belum dikerjakannya pemeriksaan massal dan penelusuran kontak, Indonesia harus mengantisipasi ledakan jumlah pasien. Dari kajiannya, kapasitas kesehatan di Indonesia tidak akan mampu menampung pasien.
Menurut dia, untuk antisipasi ledakan Covid-19 yang diperkirakan terjadi pada pertengahan hingga akhir April nanti, Indonesia masih butuh 78.409 tempat tidur pasien, 67.137 ICU, dan 53.710 ventilator. ”Saat ini kondisinya saja sudah kewalahan di Jakarta, apalagi di daerah,” katanya.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas, sejumlah dokter dan rumah sakit di daerah harus menangani pasien korona dengan peralatan dan alat pelindung diri (APD) yang minim. Seorang dokter di sebuah rumah sakit umum daerah (RSUD) di Jawa Barat, misalnya, mengoperasi hernia terhadap pasien dalam pengawasan tanpa ADP standar.
”Kami memakai masker tidak standar, tetapi karena darurat harus dilakukan. Semoga dia tidak positif, saat ini masih menunggu hasil tes,” kata dokter yang tak mau disebut namanya.
Sejumlah dokter dan rumah sakit saat ini menggalang bantuan untuk meminta APD. Bahkan, sebagian tenaga medis membuat masker sendiri dari kain dan hazmat buatan sendiri, seperti dilakukan Tri Maharani, dokter spesialis emergensi di RSUD di Kediri, Jawa Timur. ”Kami tahu ini tidak memenuhi standar, tetapi APD terbatas. Kami juga tahu banyak dokter meninggal, sudah 18 orang sampai hari ini, tetapi kami tetap harus bertugas,” tuturnya.
Pembatasan sosial
Membacakan pernyataan sikap organisasinya, Ede menyebutkan, penerapan darurat kesehatan dan pembatasan sosial berskala besar harus dilaksanakan dengan tegas. ”Kegiatan di luar rumah harus benar-benar ditiadakan, kecuali hal yang sangat penting untuk logistik, kesehatan, sampah, tetapi itu juga harus tetap jaga jarak fisik,” ungkapnya.
Pembatasan ini merupakan tanggung jawab pemerintah dan juga masyarakat. ”Oleh karena itu, kami menyerukan semua pihak untuk bahu-membahu mencegah dampak Covid-19,” ujarnya.
Menurut Sekretaris Umum IAKMI Husein Habsyi, hingga kini anjuran pemerintah untuk menjaga jarak fisik tidak berjalan mulus. ”Masih ada orang berkerumun. Di jalan juga masih ramai, anak-anak bermain di luar. Dengan tidak ada ketegasan sanksi, peran pimpinan di komunitas menjadi sangat penting. Kami mendorong terbentuknya gugus tugas di tingkat rukun tetangga agar ada kontrol di komunitas,” katanya.
Kelambatan tes
IAKMI juga menyoroti kelambatan tes dan kebutuhan alat pengaman diri medis yang menjadi persoalan di banyak daerah. ”Kami mengingatkan pemerintah agar lebih serius dan segera menemukan kasus. Memperluas tes massal dengan PCR secara merata di Indonesia. Jaminan medis bagi yang membutuhkan dan kelengkapan kesehatan, termasuk APD,” katanya.
Budi Haryanto, epidemiolog Universitas Indonesia, mengatakan, saat ini banyak sekali warga butuh dites korona, tetapi kesulitan mendapatkannya. Di sisi lain, para pejabat dan anggota DPR meminta prioritas. ”Prosedurnya secara epidemologis, tes ini dilakukan kepada mereka yang pernah kontak dengan yang sudah positif. Karena itu, harus ada penelusuran kontaknya dengan siapa saja. Mereka yang harus jadi prioritas,” tuturnya.
Penelusuran kontak ini menjadi kunci untuk mencegah wabah meluas. ”Dia (orang yang terinfeksi) pernah ke mana saja dan berhenti di mana selama masa inkubasi harus ditelusuri. Ini berhasil dilakukan di Singapura dengan bantuan detektif kepolisian. Dari satu kasus positif saja, bisa mendapatkan 900 orang yang pernah kontak dan kemudian dilakukan tes. Di Indonesia, ini belum dilakukan dengan baik,” tutur Budi.