Pemerintah Kuba mengerahkan mahasiswa kedokteran untuk turut menangani pandemi Covid-19. Mereka mendatangi warga untuk memeriksa kemungkinan penularan penyakit tersebut.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Salah satu cara untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan tes cepat dan melacak jejak perjalanan virus. Untuk melacak jejaknya, satu per satu warga harus ditanya seperti ini, misalnya, ”Berapa jumlah orang tinggal satu rumah”, ”Pernah berinteraksi dengan orang asing”, dan ”Apakah tahu prosedur kesehatan yang harus diikuti”.
Sederet pertanyaan terkait Covid-19 itulah yang dilakukan oleh 28.000 mahasiswa kedokteran di seluruh Kuba dengan mendatangi satu per satu rumah dengan berpakaian alat pelindung diri yang lengkap. Di daerah Vedado, Havana, dokter Liz Caballero Gonzalez (46) menemani dua mahasiswanya yang mendapat tugas mengetuk 300 rumah.
”Kami tidak mempunyai teknologi seperti yang dimiliki negara kaya lainnya. Tetapi, kami punya mahasiswa yang bisa diandalkan, punya solidaritas tinggi, dan tidak memikirkan diri sendiri,” kata Gonzalez.
Kuba yang selama 60 tahun tertekan sanksi Amerika Serikat itu menjadi negara terakhir di Amerika Latin yang baru saja menutup perbatasannya. Ini karena selama ini Kuba hanya bergantung pada sektor pariwisata untuk bisa hidup. Akhirnya pemerintah memutuskan menutup diri sejak 24 Maret lalu setelah jumlah kasus Covid-19 mencapai 212 kasus dan 6 di antaranya tewas. Di rumah sakit dilaporkan ada 2.800 orang yang tengah dipantau.
Untuk menangani pandemi ini, Kuba dinilai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak akan kesulitan menangani Covid-19 karena perbandingan 82 dokter menangani 10.000 pasien dibandingkan dengan Rusia yang 40 dokter untuk 10.000 pasien, AS 26 dokter, dan China 18 dokter.
Layanan kesehatan dari rumah ke rumah bukan hal baru bagi Kuba karena dokter sering dipanggil ke rumah. Karena itu, apa yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa kedokteran secara sukarela itu bukan hal aneh bagi warga. Pendataan warga itu sudah dilakukan sejak dua pekan lalu. Kuba beruntung banyak mahasiswa kedokteran termasuk ribuan mahasiswa asing yang tertarik belajar di 25 fakultas kedokteran yang ada dan Sekolah Kedokteran Amerika Latin (ELAM) yang dikenal prestisius.
”Kami sudah terbiasa datang rumah ke rumah. Rutin di bulan September-Oktober kami ke rumah-rumah untuk mengecek demam berdarah. Ketika Covid-19 makin banyak, kampus minta kami keliling,” kata Susana Diaz (19), mahasiswa tingkat dua itu.
Jika ada warga yang sakit, misalnya batuk dan demam, harus segera dilaporkan ke klinik terdekat. ”Banyak yang berterima kasih karena sudah didatangi,” kata Diaz.
Peduli warga
Profesi dokter di Kuba, kata salah satu warga, Matia Perez (30), yang didatangi, dicintai warga. ”Saya senang mereka peduli pada kesehatan kami,” ujarnya.
Perez serius memperhatikan kesehatan keluarganya dengan disiplin membersihkan badan dan rumahnya. Lap pel dan kain basah tersedia di depan pintu untuk membersihkan sepatu dan semua barang yang ia bawa keluar rumah dan langsung mencuci bajunya. Ia juga selalu memakai masker. ”Yang buat saya sulit itu tidak boleh peluk dan cium. Saya ingin memeluk dan mencium ibu saya, tetapi, kan, tidak boleh,” ujarnya.
Bagi Carlos Lagos (83), ia merasa beruntung didatangi dokter dan mahasiswa yang selalu mengingatkan dirinya untuk selalu memperhatikan kesehatan. ”Mereka bilang kalau saya merasa tidak enak badan atau saya demam itu harus apa. Mereka memberi tahu bagaimana harus merawat diri sendiri kalau sakit,” ujarnya.
Pelayanan kesehatan bagi orang tua penting di Kuba karena 20 persen dari total penduduknya berusia di atas 60 tahun. ”Sejauh ini, saya merasa baik-baik saja meski tidak boleh ke mana-mana. Saya juga diberi masker,” kata Dolores Garcia (82) dari balik pagar rumahnya.
Warga Kuba selama ini terbiasa tidak memakai masker atau cairan pembersih tangan. Bahkan, terkadang mandi tidak memakai sabun. Karena kesulitan mendapatkan cairan pembersih tangan atau hidroalkohol, warga memakai klorin sebagai pengganti untuk cuci tangan.
Karena kekurangan masker juga, banyak warga yang membuat sendiri memakai kain yang mereka punya, termasuk Marina Ibanez (56), guru taman kanak-kanak. Ia sudah membuat 50 masker yang ia bagi-bagikan ke tetangga-tetangganya. ”Saya lihat banyak orang tidak pakai masker, lalu saya buatkan saja. Gampang kok,” ujarnya. (AFP)