Ketahanan dan kemandirian pangan sebuah negara diuji di tengah pandemi Covid-19. Kita diingatkan bahwa kita mesti mandiri dan melepaskan ketergantungan pada pangan impor.
Oleh
·6 menit baca
Pengantar Redaksi
Menyambut ulang tahun ke-100 RI pada 2045, harian Kompas yang akan berulang tahun ke-55 pada 28 Juni 2020 menyelenggarakan diskusi menuju Indonesia Emas. Laporan berikut adalah hasil diskusi ketiga pada pertengahan Maret lalu dengan topik ekonomi. Para panelis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia serta Ketua Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014 Emil Salim; Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri; Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 Rudiantara; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2016-2019 Ignasius Jonan; ekonom senior CORE Indonesia Hendri Saparini; serta Rektor IPB University Arif Satria. Laporan diskusi dirangkum Ninuk M Pambudy, M Fajar Marta, Mukhamad Kurniawan, Albertus Hendriyo Widi Ismanto, dan Aris Prasetyo, serta disajikan pada halaman 13 dan Kompas.id.
Ketika virus korona jenis baru telah menginfeksi lebih dari 860.000 orang di 203 negara, Rabu (1/4/2020) pukul 15.00 WIB, sejumlah bahan pangan pokok masih tersedia di rak-rak supermarket dan pasar tradisional di Indonesia. Namun, pandemi Covid-19 telah menekan perekonomian global sekaligus mengganggu rantai pasokan makanan.
Penutupan perbatasan, karantina, serta hambatan perdagangan dan pasar mengganggu rantai pasok pangan. Akses warga ke sumber makanan yang beragam, bergizi, dan cukup makin terbatas. Ketahanan dan kemandirian pangan sebuah negara diuji dalam situasi seperti ini.
Pangan merupakan kebutuhan penting yang menentukan kesehatan, kualitas generasi, dan keberlangsungan hidup. Oleh karena itu, pangan memiliki peran yang krusial untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara maju tahun 2045 sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024.
Pangan merupakan kebutuhan penting yang menentukan kesehatan, kualitas generasi, dan keberlangsungan hidup.
Salah satu ukuran yang digunakan adalah pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun serta produk domestik bruto (PDB) Rp 7 triliun dollar AS. Saat ini pendapatan per kapita masih berkisar Rp 56 juta per tahun dan PDB Rp 1 triliun dollar AS. Indonesia juga mesti menekan jumlah orang miskin hingga mendekati nol persen untuk menggapai posisi sebagai negara ekonomi terbesar kelima di dunia tahun 2045.
Akan tetapi, tantangannya tidak mudah, terutama di sektor pertanian yang menjadi kunci pemenuhan kebutuhan pangan serta sumber penghidupan jutaan rumah tangga. Kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional terus turun meski hingga kini masih menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyerap 34,58 juta tenaga kerja atau 27,33 persen dari total 126,51 juta penduduk bekerja pada Agustus 2019. Namun, kontribusi pertanian terhadap PDB hanya 12,7 persen pada tahun 2019. Artinya, ada problem produktivitas yang mesti dipacu agar sumbangannya terhadap perekonomian makin besar.
Selain produktivitas yang rendah, sumbangannya terhadap PDB juga terus turun. Pada tahun 2000, sektor pertanian berkontribusi 15,6 persen, lalu berangsur turun menjadi 12,81 persen (2018) dan 12,71 persen (2019). Laju pertumbuhan PDB sektor pertanian juga selalu di bawah laju pertumbuhan ekonomi, seperti tecermin tiga tahun terakhir, yakni pertumbuhan 3,92 persen di sektor pertanian dibandingkan 5,07 persen pertumbuhan ekonomi (tahun 2017); 3,89 persen dibandingkan 5,17 persen (2018); dan 3,64 persen dibandingkan 5,02 persen (2019).
Kedaulatan
Upaya mewujudkan mimpi tahun 2045 di sektor pertanian semestinya memuat prinsip berkelanjutan, kesejahteraan, keadilan, dan kedaulatan. Namun, segenap prinsip itu belum tecermin di sektor pertanian. Praktik paling kentara adalah soal harga produk pertanian. Lewat sederet regulasi, pemerintah mengatur harga jual komoditas pertanian terlalu ketat di hilir hingga berdampak menekan gerak produsen di hulu.
Komoditas beras, gula, bawang, daging dan telur ayam, serta daging sapi, misalnya, diatur harga acuannya. Ketika harga di tingkat konsumen melebihi acuan atau batas eceran tertinggi, demi stabilitas harga, pemerintah bergerak mengintervensi pasar lewat operasi. Dalam sejumlah kasus, intervensi harga di tingkat konsumen justru menekan harga di tingkat petani, anjlok hingga lebih rendah dibandingkan ongkos produksinya.
Harga masih menjadi motivasi terbesar bagi petani, peternak, atau pekebun untuk memacu produksi dan produktivitas. Oleh karena itu, ketika harga jual tak menguntungkan, petani akan beralih menanam komoditas lain. Namun, saat kerugian terus berulang, mereka akan menempuh pilihan ekstrem, yakni keluar dari sektor pertanian.
Situasi itu tergambar dari tren penurunan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, jumlah tenaga kerja di sektor itu tercatat 41,33 juta orang, tetapi berkurang menjadi 34,5 juta orang tahun 2019. Jumlah rumah tangga petani, menurut sensus pertanian BPS, berkurang dari 31,23 juta rumah tangga (2003) menjadi 26,14 juta rumah tangga (2013).
Pembangunan sektor pertanian mesti fokus pada peningkatan kesejahteraan dan kedaulatan petani untuk menjamin keberlanjutan produksi pangan. Visi kedaulatan semestinya juga tidak diterjemahkan sebatas mencapai target produksi, seperti target swasembada padi, jagung, dan kedelai pada periode 2014-2019, tetapi pada peningkatan kesejahteraan petani.
Dalam praktiknya, visi kedaulatan dalam pembangunan sektor pertanian kerap bias dengan ketahanan pangan yang menekankan akses semua orang ke pangan setiap saat, tak peduli dari mana asalnya, termasuk impor. Alih-alih swasembada, petani justru makin jauh dari sejahtera, sementara defisit neraca perdagangan pangan makin lebar. Defisit neraca perdagangan tanaman pangan, misalnya, bertambah dari sisi volumenya dari 18,8 juta ton tahun 2015 menjadi 21,5 juta ton tahun 2018.
Lahan
Faktor lain yang menopang pembangunan sektor pertanian adalah ketersediaan lahan. Lahan menjadi faktor produksi yang belum tergantikan. Sayangnya, seiring pertumbuhan penduduk, tekanan terhadap lahan pertanian bakal makin berat khususnya di Pulau Jawa yang hingga kini masih menjadi sentra sejumlah komoditas utama.
Peningkatan produksi pangan akan selalu berkejaran dengan alih fungsi, degradasi, dan persaingan memperebutkan lahan untuk keperluan non-pertanian. Oleh karena itu, komitmen melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan mesti kokoh, baik di tingkat pusat maupun daerah, dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya. Tanpa komitmen ini, lupakan cita-cita mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan.
Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 dan 2013 menunjukkan, 508.000 hektar lahan pertanian di Pulau Jawa beralih kepemilikan, dari rumah tangga petani ke nonpetani. Alih kepemilikan terbesar, yakni 204.318 hektar (40 persen), terjadi di lahan seluas kurang dari 0,1 hektar yang selama ini menjadi sumber pencarian petani gurem.
Selain alih fungsi dan alih kepemilikan, ketimpangan penguasaan menjadi problem lain terkait lahan pertanian. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang, indeks gini lahan pertanian mencapai 0,59, artinya 1 persen penduduk menguasai 59 persen aset lahan.
Sebanyak 56 persen rumah tangga tani menguasai 13,3 persen lahan pertanian. Luas kepemilikan rata-rata kurang dari 0,5 hektar. Dengan penguasaan lahan yang mini, upaya mendongkrak produksi pangan akan menghadapi tantangan berat. Oleh karena itu, pelaksanaan reforma agraria dinilai semakin urgen untuk mendongkrak produksi sekaligus mengejar kemandirian pangan.
Indeks gini lahan pertanian mencapai 0,59, artinya 1 persen penduduk menguasai 59 persen aset lahan.
Dampak pandemik Covid-19 bisa menjadi pelajaran. Ketika krisis kesehatan berkepanjangan, rantai pangan global berpotensi ”terinfeksi” kian serius. Saat lalu lintas perdagangan terhambat, ketahanan pangan semua negara diuji. Seperti halnya masker dan alat pelindung diri, sejumlah bahan pangan berpotensi diperebutkan oleh negara-negara pengimpor.
Di tengah kedaruratan itu, negara-negara produsen berpeluang makin proteksionis dan mengunci cadangan pangannya demi mengamankan kebutuhan dalam negeri. Ketika hal itu terjadi, kita kembali diingatkan bahwa kita mesti mandiri dan melepaskan ketergantungan pada pangan impor.