Kepatuhan pelaku usaha dalam menyetorkan dana reklamasi ataupun menjalankan reklamasi pascatambang masih rendah. Hal itu mengancam kelestarian lingkungan dan membahayakan jiwa warga sekitar area tambang.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Kepatuhan pelaku usaha pertambangan untuk menempatkan dana jaminan reklamasi dan menjalankan reklamasi masih rendah. Pemerintah diharapkan tegas menagih dan menindak pelaku usaha pertambangan yang tak menyetor dana jaminan reklamasi ataupun belum menjalankan kewajiban penutupan lahan.
Ketidakpatuhan akan kewajiban reklamasi yang menimbulkan kerusakan lahan serta korban jiwa pada lubang-lubang tambang di sejumlah daerah pun agar diusut tuntas. Di sisi lain, sistem pengawasan agar diperkuat melalui inspektur tambang yang independen dan dibiayai negara.
Peningkatan pengawasan lain adalah memosisikan dana jaminan reklamasi sebagai keuangan negara sehingga akuntabilitas penggunaan dan peruntukan disesuaikan dengan anggaran belanja negara. Penempatan dana jaminan reklamasi seperti ini akan memperkuat pengawasan karena selama ini ”dana” ini hanya diketahui pemerintah sebagai pemberi izin dan pemilik izin usaha pertambangan.
Penempatan pada anggaran negara pun bisa meningkatkan status hukum penyalahgunaan ataupun ketidakpatuhan pada pembayaran/pelaksanaan reklamasi sebagai peristiwa koruptif.
Rekomendasi penempatan dana jaminan reklamasi dalam keuangan negara ini terdapat dalam laporan studi sejumlah organisasi masyarakat sipil berjudul ”Curang di Lubang Tambang”. Laporan ini juga menyoroti sejumlah proses perizinan yang tak mendukung dan mendorong pemilik izin untuk menjalankan reklamasi.
Ahmad Redi, pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta, Rabu (1/4/2020), dalam peluncuran laporan itu secara virtual, menyatakan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membuat perusahaan yang tidak menyetor jaminan reklamasi maupun tidak menjalankan reklamasi bisa dijerat tindak pidana korupsi.
Dasar hukum
Dasar hukum yang bisa digunakan adalah dana jaminan reklamasi dan pascatambang masuk ke dalam kas negara/daerah sehingga dalam UU No 17/2003 masuk dalam definisi ”penerimaan negara”.
”Dari sisi regulasi cukup bagus, permasalahan di pelaksanaannya,” ungkapnya. Beberapa regulasi yang baik tersebut, yaitu pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, perusahaan wajib melaporkan progres reklamasi pascatambang selama setahun sekali. Namun, kewajiban ini tidak dimasukkan sebagai persyaratan oleh pemerintah dalam pengesahan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).
Perusahaan yang tidak menyetor jaminan reklamasi maupun tidak menjalankan reklamasi bisa dijerat tindak pidana korupsi.
Padahal, pada PP No 78/2010 pun memberikan perintah kepada pemberi izin untuk memberitahukan keberhasilan reklamasi secara tertulis kepada penerima izin. Selain itu, pada Pasal 31, perusahaan diwajibkan menempatkan dana jaminan reklamasi 30 hari sejak rencananya disetujui.
Namun, mekanisme dalam regulasi ini tak berjalan di lapangan. Buktinya, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang diolah Koalisi Bersihkan Indonesia (penyusun studi laporan), dari 60 persen pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang dinyatakan clear and clean, belum mematuhi penempatan dana jaminan reklamasi. Pelaku usaha tersebut berupa 1.122 IUP mineral dan 447 IUP batubara.
Menurut Ahmad Redi, kegagalan pelaksanaan regulasi ini disebabkan antara lain dari proses hulu, yaitu proses pembuatan UU. Sejak awal pemikiran utama penyusunan UU No 4/2009 tak berpihak pada lingkungan.
Selain itu, pada UU No 4/2009 tentang Minerba tidak mengatur sanksi pidana jika perusahaan tidak lakukan reklamasi pascatambang. Padahal, jika hal itu tak dilakukan, UU No 32/2009 bisa mengategorikannya sebagai kerusakan lingkungan berujung pidana.
Hediansyah Hamza, dosen hukum Universitas Mulawarman, menyatakan, kerusakan lingkungan berupa lubang-lubang tambang akibat eksploitasi batubara menyebabkan 37 nyawa mati tenggelam di Kalimantan Timur. Dari deretan itu, hanya satu kasus yang maju ke pengadilan meski dengan vonis yang mengecewakan. Itu pun hanya menyeret pelaku lapangan. Padahal, kewajiban reklamasi berada pada pemegang izin.
Kehilangan nyawa akibat tenggelam di lubang tambang tersebut merupakan bentuk pidana berupa kelalaian pada Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. ”Perusahaan lalai dalam proses pascatambang. Kelalaian juga dalam aspek pelanggaran Ketentuan Menteri ESDM yang mewajibkan perusahaan memasang rambu dan pagar pembatas di sekitar lubang tambang,” katanya.
Iqbal Damanik, peneliti Yayasan Auriga Nusantara—bagian dari koalisi—mengatakan, akar kejadian nyawa melayang, bencana banjir, dan berbagai kerusakan lingkungan hidup akibat tambang merupakan dampak dari celah hukum dan pelaksanaan regulasi pertambangan yang tak implementatif. ”Hampir semua tahapan proses jaminan reklamasi dan pascatambang diatur oleh regulasi yang tidak andal,” ujarnya.
Disebutkannya, mulai dari tahapan mendapatkan izin, penyusunan rencana kerja dan anggaran biaya tahunan (RKAB tahunan), penyusunan rencana reklamasi dan pascatambang, dan implementasinya, hingga penunjukan pihak ketiga (dalam pelaksanaan reklamasi). Bahkan, tidak ada ketentuan yang mengatur jika dana yang tidak ditempatkan tidak mencukupi kebutuhan reklamasi dan pascatambang.
Tahapan yang paling rentan adalah pada penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang. Ia beralasan persetujuan RKAB tidak didahului dengan penempatan jaminan sehingga kegiatan pertambangan dapat berlangsung tanpa adanya kepatuhan tersebut.
Pengawasan pemerintah pun dinilai sangat lemah. Keberadaan inspektur tambang di Indonesia, kata Muhamad Jamil dari bagian advokasi dan hukum Jaringan Advokasi Tambang, pun dinilai sangat minim. Sebagai gambaran, satu inspektur tambang mengawasi lebih dari 10 izin usaha pertambangan.
”Sebagian besar lokasi tambang itu ada di tempat pelosok. Permasalahan lain saat pengawasan, inspektur difasilitasi perusahaan, gunakan kendaraan perusahaan, diberi makan oleh perusahaan, dan rute diarahkan perusahaan,” katanya.