Rancangan peraturan menteri sebagai pelaksanaan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil ditargetkan rampung tepat waktu meski dalam kondisi bekerja dari rumah akibat pandemi Covid-19 akibat virus korona baru.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pertanian memastikan rancangan peraturan menteri sebagai pelaksanaan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil bisa diselesaikan tepat waktu meski dalam kondisi bekerja dari rumah akibat pandemi Covid-19. Sistem ISPO terbaru yang kini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 ini memiliki prinsip dan kewenangan lembaga baru yang harus disesuaikan dalam sistem yang telah berjalan sebelumnya.
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 atau Perpres tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan itu menggantikan aturan main sebelumnya, Peraturan Menteri Pertanian No 11/2015. Perpres mengamanatkan agar peraturan pelaksanaan selevel peraturan menteri teknis, yaitu Menteri Pertanian, segera terbit dalam waktu 30 hari sejak perpres diundangkan atau pada 16 April 2020.
Terkait kesiapan draf peraturan menteri pertanian ini, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi Junaedi, Jumat (3/4/2020), di Jakarta, mengatakan, penyesuaian aturan main ISPO baru tidak terlalu sulit. Sebab, sebelum Perpres No 44/2020 diterbitkan, Direktorat Jenderal Perkebunan telah menjalin kerja sama dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN) saat Hari Perkebunan di Bandung pada 10 Desember 2019.
”Ingin penguatan sertifikasi melalui sistem KAN Badan Standardisasi Nasional (BSN). Kita juga sudah on going untuk menyiapkan draf permentan sesuai sistem KAN,” katanya.
Dedi mengatakan, secara umum pelaksanaan ISPO pada Permentan No 11/2015 dengan Perpres No 44/2020 relatif tak berbeda. Sejumlah perbedaan mencolok adalah lembaga sertifikasi kini bisa menerbitkan sertifikasi. Aturan main sebelumnya, sertifikat diterbitkan Komite ISPO.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya menyatakan, kewenangan baru lembaga sertifikasi ISPO dapat mengeluarkan sertifikat ISPO secara langsung tanpa persetujuan Komite ISPO diharapkan membuat proses sertifikasi ISPO kini dapat menjadi lebih independen.
Ingin penguatan sertifikasi melalui sistem KAN Badan Standardisasi Nasional (BSN). Kita juga sudah on going untuk menyiapkan draf permentan sesuai sistem KAN.
Ia pun menanti implementasi prinsip baru ISPO, yaitu transparansi, untuk diterjemahkan. Prinsip baru yang diperjuangkan organisasi masyarakat sipil ini penting demi menunjukkan legitimasi produk sawit Indonesia bersertifikat ISPO.
Teguh Surya menambahkan, rentang waktu yang sangat singkat (batas waktu 16 April 2020 atau 30 hari sejak perpres diundangkan) dan di tengah keterbatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19 membuat prospek adanya pelibatan masyarakat sipil yang inklusif dalam perumusan kriteria dan indikator ISPO tampak suram.
”Kecuali jika pemerintah mengambil langkah-langkah khusus, seperti segera menerbitkan rancangan peraturan menteri (pertanian) tentang prinsip, kriteria, dan indikator ISPO, dan secara aktif mencari masukan dan memberikan waktu yang cukup untuk mengumpulkan masukan publik,” katanya.
Kesiapan
Dedi mengatakan, dalam pelaksanaan nanti akan dibentuk komisi sertifikasi ISPO di KAN. ”Kemarin kami sudah melakukan teleconference untuk membahasnya. Jadi, tidak banyak perubahan,” ujarnya.
Fandi dari Direktorat Perkebunan Yayasan Auriga Nusantara mengungkapkan, ISPO yang telah berjalan selama sembilan tahun terakhir tinggal ditingkatkan dengan aturan main baru dalam Perpres No 44/2020. ”Seharusnya tidak butuh waktu lama,” ujarnya.
Ia menyoroti, Perpres No 44/2020 ini mewajibkan semua pelaku usaha perkebunan mengikuti sertifikasi ISPO. Pekebun atau petani sawit swadaya wajib mengikuti sertifikasi paling lambat lima tahun mendatang atau 2025. Pemerintah mengenakan sanksi apabila para pelaku usaha tak mengikuti sistem ini.
Meski telah diwajibkan sejak tahun 2015, sertifikasi ISPO baru diikuti sebagian kecil pelaku usaha sawit. Sebagai catatan, sertifikasi ISPO sejak 2015 masih bersifat sukarela bagi petani swadaya, industri pengolahan energi terbarukan, dan pekebun swadaya. Dari 700 pebisnis sawit yang menjadi anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), misalnya, baru 403 anggota yang telah bersertifikat ISPO.
Fandi mengatakan, Perpres No 44/2020 ini akan membuat pengusaha sawit yang belum bersertifikat bakal berbondong-bondong mengajukan diri dalam proses sertifikasi. Ia meminta pemerintah dan lembaga sertifikasi mengantisipasi hal ini dengan menyiapkan jumlah auditor yang mencukupi dan berkualitas.
”Untuk sertifikasi itu ada penilikan dan belum tentu prosesnya selesai dalam 2-3 bulan. Tenaga auditor harus ditambah untuk mengejar sertifikasi wajib ini. Tetapi, jangan sampai auditor abal-abal dan hanya stempel agar perusahaan memenuhi sertifikasi,” katanya.