Pascapembatalan ujian nasional, Presiden Joko Widodo meminta para menteri untuk mengevaluasi sistem pendidikan nasional secara menyeluruh. Evaluasi dilakukan karena UN selama ini jadi standar pendidikan di Indonesia.
Oleh
FX Laksana Agung Saputra
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meminta para menteri untuk mengevaluasi sistem pendidikan nasional secara menyeluruh. Salah satunya adalah evaluasi terhadap ujian nasional yang selama ini menjadi sistem evaluasi standar pendidikan di Indonesia.
”Pada rapat terbatas 23 Maret lalu, kita telah memutuskan untuk membatalkan UN 2020. Saya lihat ini menjadi momentum untuk merumuskan ulang sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional, apakah dalam pengendalian mutu pendidikan secara nasional hanya menggunakan UN atau kita juga bisa menggunakan standar internasional seperti PISA,” kata Presiden dalam pengantar rapat terbatas di Istana Bogor, Jumat (3/4/2020).
Rapat terbatas melalui konferensi video itu membahas peningkatan peringkat Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Tersambung dari kantor masing-masing antara lain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate.
Pada rapat terbatas 23 Maret lalu, kita telah memutuskan untuk membatalkan UN 2020. Saya lihat ini menjadi momentum untuk merumuskan ulang sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional, apakah dalam pengendalian mutu pendidikan secara nasional hanya menggunakan UN atau kita juga bisa menggunakan standar internasional seperti PISA.
PISA adalah program ujian siswa usia 15 tahun berkala internasional dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains. Tujuannya adalah untuk mengukur kualitas pendidikan di suatu negara sekaligus menjadi bahan evaluasi kebijakan pemerintah terhadap sistem pendidikan nasional masing-masing. Sejauh ini, program yang digelar Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tersebut diikuti oleh 79 negara.
Indonesia telah berpartisipasi pada PISA sejak 2000. PISA dari tahun ke tahun, menurut Presiden, menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia telah berubah menjadi lebih inklusif, terbuka, dan lebih luas aksesnya selama 18 tahun terakhir.
Meski demikian, Presiden secara spesifik mengangkat turunnya skor rata-rata PISA 2018 agar menjadi perhatian pemerintah. PISA 2018 diikuti oleh 600.000 siswa di 79 negara, mewakili 32 juta siswa di seluruh dunia.
Pada PISA 2018, rentang skor Indonesia di ketiga bidang yang diujikan adalah 371-396 alias di bawah rata-rata global, yakni 500. Untuk kemampuan membaca, Indonesia menorehkan skor 371 sehingga berada di peringkat ke-74. Untuk kemampuan matematika, Indonesia mencatatkan skor 379 sehinga berada di peringkat ke-73. Adapun untuk kemampuan sains, Indonesia memiliki skor 396 sehingga berada di peringkat ke-71.
Hasil ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-66 dari 79 negara. Pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 70 negara.
Masih mengacu hasil PISA 2018, Presiden melanjutkan, Indonesia juga menghadapi tiga permaslahan utama yang harus segera diatasi. Permasalahan pertama adalah besarnya persentase siswa berprestasi rendah.
”Meskipun Indonesia berhasil meningkatkan akses anak usia 15 tahun terhadap sistem sekolah, masih diperlukan upaya lebih besar agar target siswa berprestasi rendah ditekan hingga 15-20 persen di 2030,” kata Presiden Jokowi.
Permasalahan kedua adalah tingginya persentase siswa tinggal kelas, yakni 16 persen. Angka ini 5 persen lebih tinggi ketimbang rata-rata negara-negara OECD. Sementara permasalahan ketiga adalah tingginya ketidahkadiran siswa di kelas.
Selanjutnya, merujuk rekomendasi OECD, Presiden Jokowi menekankan perlunya langkah-langkah perbaikan menyeluruh, mulai dari peraturan, anggaran, infrastruktur, manajemen sekolah, kualitas guru, dan beban administrasi guru.
”Ini yang berkali-kali saya tekankan megenai ini, beban administrasi guru. Jadi, guru tidak fokus pada kegiatan belajar-mengajar, tetapi (waktunya) lebih banyak dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan adminsitrasi. Ini tolong digarisbawahi,” kata Presiden.
Perbaiki proses belajar-mengajar
Presiden Jokowi juga meminta para menteri terkait bidang pendidikan untuk memperbaiki proses belajar-mengajar. Hal ini terutama merujuk pada penggunaaan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan serta perbaikan lingkungan belajar siswa, termasuk motivasi belajar, dan menekan tindakan perundungan di sekolah.
Hasil survei PISA dan evaluasi UN menyebutkan, terdapat hubungan yang kuat antara kondisi sosial-ekonomi siswa dan capaian hasil UN siswa atau skor PISA.
”Hasil survei PISA dan evaluasi UN menyebutkan, terdapat hubungan yang kuat antara kondisi sosial-ekonomi siswa dan capaian hasil UN siswa atau skor PISA,” kata Presiden.
Dosen Universitas Islam Negeri Jakarta, Tati D Wardi, dalam opininya di harian Kompas (15/2/2020) menyatakan, Nadiem Makarim telah mencanangkan program Merdeka Belajar. Program ini menonjolkan literasi baca sebagai fokus pengembangan sumber daya manusia Indonesia.
Hal ini sejalan dengan PISA yang menempatkan kemampuan baca sebagai ukuran tingkat literasi siswa. Sebelumnya, masih menurut Tati, PISA sudah menjadi salah satu rujukan kebijakan pendidikan nasional, hanya saja tidak resmi. Sementara program Merdeka Belajar secara eksplisit mencantumkan PISA sebagai tolok ukur resmi sehingga menjadikan konsepsi literasi baca PISA sebagai acuan utama.