Narapidana korupsi harus dikecualikan dari keputusan percepatan pembebasan narapidana guna mencegah penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Narapidana korupsi harus dikecualikan dari keputusan percepatan pembebasan narapidana guna mencegah penyebaran coronavirus disease 2019 atau Covid-19 di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan. Selain melemahkan upaya pemberantasan korupsi, potensi narapidana korupsi tertular Covid-19 tidak setinggi seperti narapidana kasus tindak pidana lainnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memperkirakan bisa melepas 30.000 hingga 35.000 narapidana (napi) untuk mengurangi kepadatan di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan) untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19. Namun, hal itu terkendala Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
PP tersebut mengatur tentang pengecualian pemberian potongan hukuman, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi napi korupsi, terorisme, dan narkotika. Desakan untuk merevisi PP itu pun muncul dalam rapat dengar pendapat antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Komisi III DPR (Kompas, 2/4/2020).
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz dalam diskusi yang diselenggarakan ICW untuk membahas wacana revisi itu, di Jakarta, Kamis (2/4/2020), mengatakan, upaya untuk merevisi PP itu bertentangan dengan prinsip korupsi sebagai sebuah kejahatan yang luar biasa. Percepatan pembebasan napi korupsi tak pelak berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
ICW melihat, alasan membebaskan para koruptor karena Covid-19 semata-mata akal-akalan. Sebab, keinginan untuk merevisi PP tersebut sudah muncul pada 2015, 2016, 2017, dan terakhir pada 2019 dengan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan. Karena itu, ICW mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak revisi PP tersebut.
Peneliti Divisi Hukum ICW, Kurnia Ramadhana, menambahkan, dalih penghuni lapas atau rutan melebihi kapasitas tidak dapat dijadikan alasan untuk melepaskan napi korupsi. Sebab, sel mereka di lapas atau rutan dibedakan dengan pelaku kejahatan lainnya.
Jumlah napi korupsi juga tidak sebanding dengan napi kejahatan lainnya. Berdasarkan data Kemenkumham pada 2018, jumlah napi korupsi hanya 1,8 persen dari total napi yang ada di lapas. Karena itu, akan lebih baik jika pemerintah membebaskan napi kejahatan lainnya, seperti narkoba atau tindak pidana umum lainnya, yang secara kuantitas jauh lebih banyak dibandingkan dengan koruptor.
Jika revisi PP dilakukan, dan napi korupsi yang berusia di atas 60 tahun dilepaskan, beberapa koruptor kelas kakap bisa keluar dari lapas, di antaranya OC Kaligis (77), Patrialis Akbar (61), dan Setya Novanto (64).
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur mencontohkan napi korupsi di Lapas Sukamiskin yang tinggal sendiri di sel dan terisolasi. Dengan demikian, risiko mereka tertular Covid-19 tidak setinggi napi kasus tindak pidana lainnya.
Jika melihat data terakhir dari Sistem Database Pemasyarakatan, jumlah tahanan dan napi di Lapas Kelas I Sukamiskin sebanyak 454 orang. Adapun kapasitas lapas tersebut yakni 560 orang.
Contoh lain di Rutan KPK. Menurut Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, berdasarkan informasi dari kepala Rutan KPK, rutan tidak kelebihan penghuni. Saat ini, jumlah tahanan yang ada 47 orang, sedangkan kapasitas rutan tersebut mencapai 87 orang.
Ali menegaskan, KPK mendorong revisi PP tersebut khusus untuk pemberian remisi terutama pengguna narkoba, diversi pengguna narkoba, dan mencegah adanya napi yang dipenjara melebihi masa tahanan.
Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Bambang Wiyono mengatakan, saat ini mereka masih membutuhkan pertimbangan dan kajian yang mendalam terkait rencana revisi PP No 99/2012 agar apa yang diputuskan tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku dan akan menimbulkan polemik.